Tampilkan postingan dengan label filsafat-motivasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filsafat-motivasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 09 Februari 2014

Surga itu simpel: ketika tiada lagi daratan untuk ikan


          Kali pertama ungkapan ini terdengar adalah dari salah satu buku Sankara, seorang tokoh berpengaruh dalam Hindu di India, yang menempatkan Tuhan sebagai objek kajian utamanya dalam bukunya tersebut. Di dalamnya, ungkapan di atas diletakkan di bagian paling depan di bab terdepan. Lebih tepatnya, itu berada dalam sebuah pembahasan tentang bagaimana seseorang berpotensi menggapai Tuhan secara live tanpa embel-embel apapun. Dan tersangkut di dalamnya juga surge dan neraka yang notabenya tak lain hanyalah sebagai reward atau balasan dari apapun yang pernah dilakukannya di dunia. Sehingga kesimpulan simpelnya: jika seseorang sudah berhasil mendekati Tuhan—dengan cara apapun itu—pasti reward dari kehidupannya itu juga akan turut terkatrol.
Kedua kalinya, ketika ungkapan itu dipahami, tidak ada sedikitpun yang istimewa darinya kecuali sebuah kenyataan kalau memang ikan itu tidak membutuhkan sebuah daratan. Namun, jika kita kupas lebih teliti lagi, maka ada sebuah pengertian yang baru tentang surga di dalamnya. Dan mungkin pengertian itulah yang menjadi alasan utama mengapa tulisan ini harus ada.
Selama ini, surga dipandang dan dibayangkan hanyalah sebagai sebuah tempat tanpa penderitaan, tanpa kesedihan, tanpa hawa nafsu, dan tanpa lain-lainnya. Minimal, menurut pendapat yang lebih bisa dipertanggung jawabkan, surga itu adalah sebuah tempat yang ada sungai mengalir di setiap sudutnya meskipun tidak ada yang tahu bagaimanakah penafsiran yang baik tentang sungai yang mengalir tersebut. Namun, ketika dalam memaknai surga dengan berkaca pada ungkapan ini, surga bukan lagi sesuatu yang butuh pada penafsiran yang disama-samakan dengan apapun yang paling diinginkan di dunia.
Lebih detailnya, itu tertulis: ketika tiada lagi daratan untuk ikan. Dalam arti, ketika memang semuanya hanya tinggal laut, tiada daratan, dan tiada lagi kehidupan makhluk darat, maka satu-satunya yang berkuasa adalah ikan karena memang hanya kelompok merekalah yang masih hidup. Begitu juga dengan surga, akan lebih tepat jika surga dibayangkan sebatas ketika hanya seorang itulah yang memilikinya. Boleh jadi, hal itu juga disebut sebagai simbol keserakahan manusia. Sebab, sesuatu yang terbayangkan adalah apapun dan dimanapun itu miliknya. Surga itu keserakahan meskipun statusnya adalah sebagai reward.zev050214


   

Rabu, 05 Februari 2014

Dosa itu Simpel: ketika melakukannya, hati tidak tenang dan tidak ingin orang lain mengetahuinya


Kali pertama saya membaca kalimat tersebut secara sekilas dengan tanpa mengulanginya kembali, ada kesimpulan yang berbeda tentang kalimat tersebut dengan redaksi aslinya. Adalah mengenai ketenangan hati. Dalam redaksi hadist yang asli tertulis bahwa dosa itu adalah apapun yang terbesit dalam hatimu dan kamu tidak ingin orang lain mengetahuinya. Akan tetapi, karena hal itu dirasa cukup rumit pula, saya membahasakannya berbeda: dosa adalah apapun yang membuat hati kita tidak tenang dan kita tidak ingin orang lain melihatnya.
Tanpa banyak disadari, teori yang bagi saya luar biasa ini, terselip dalam salah satu ayat al-Quran (6:120). Sebenarnya, dalam ayat itu sendiri, teori ini tidak tertulis dengan jelas dan eksplisit. Akan tetapi, itu ada hanya sebagai alat bantu untuk memahami ayat tersebut karena isinya yang terkait dengan larangan melakukan dosa, baik itu tersembunyi atau sebaliknya. Sehingga, jika kedua hal tersebut—ayat terkait dengan hadist terkait—dikaitkan, maka siapapun akan merasa mudah dalam memahami ayat itu umumnya atau pengertian dosa itu khususnya.

Dalam satu sisi, teori di atas berhasil memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa dan bagaimana dosa itu. Hal itu disebabkan dengan banyaknya asumsi yang memandang bahwa dosa adalah sesuatu yang abstrak dan seakan itu hanyalah hak paten Tuhan untuk menentukan kalau ini dosa  

Selasa, 31 Desember 2013

Natural Itu Tidak Baik (As The Suitable Response to The Pragmatisme)

Semalaman kemarin, saya dipertemukan dengan seorang cowok berpenampilan necis dan sangat tidak kelihatan betapa cakap cowok tersebut. Iya, dia adalah salah satu senior di KPMRT, namanya pak Zubair. Saya bertemu dengannya ketika diajak ngobrol-ngobrol oleh pak David dan pak Ihsan di Red kafe, daerah Tuban, Jawa Timur. Dan sepertinya tanpa banyak saya sadari, ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari C.O. Indosat cabang daerah Tuban ini.
Dari semua hal yang menurut saya luar biasa itu, ada beberapa yang sampai saat ini membuat otak saya selalu berfikir akan itu. Adalah tentang bagaimana kita memandang arti kata natural. Kali pertama hal itu dikatakan olehnya apapun yang natural itu tidak baik. Meskipun hal itu memang terkesan jujur dan apa adanya, tetapi sulit dirasa jika hanya dengan natural, seseorang bisa melesat dan berproses di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin berwajah majemuk ini. Jadi, untuk bisa menjadi seseorang yang maju dalam hal gerak, respon, dan pikiran tidak cukup hanya dengan modal apa adanya. Dalam arti, semua itu harus membutuhkan strategi. Dan di titik inilah natural menjadi bencana besar karena strategi yang paling baik adalah strategi yang ada maunya atau tidak natural dan apa adanya. Bisa juga, hal itu disebut sebagai manifestasi dari pragmatisme masyarakat dewasa ini.
Lebih dalam lagi, berbincang tentang pragmatis—karena pola pikir masyarakat kebanyakan dewasa ini adalah pragmatis—apapun yang sedang dan akan mereka lakukan pasti mempunyai tujuan tempat mereka bisa memperoleh keuntungan tersendiri. Mudahnya, seseorang tidak akan melakukan sesuatu jika dia tidak bisa memperoleh keuntungan apapun dari hal tersebut. Selanjutnya, ketika hal itu dihubungkan dengan natural, hasilnya sudah jelas: tidak sinkron. Natural menuntut seseorang untuk apa adanya, tanpa ada maunya, dan pasrah, sedangkan pragmatisme menuntut seseorang untuk meraih sesuatu dan ada maunya. Sehingga, bagaimanapun juga—jika dilihat dari konteks masa kini—seseorang akan menjadi sangat bodoh ketika dia masih berbuat natural. Natural itu tidak baik.
Seperti halnya itu, jika kita amati secara luas, sesungguhnya manusia sejak dulu sudah diajari untuk tidak natural. Adalah tentang alasan mengapa manusia sampai saat ini masih mengenakan pakaian. Iya, jawabannya sudahlah jelas: itulah salah satu bahwa manusia tidak bisa hidup natural. Darinya, bisa dibayangkan: bagaimana jadinya jika semua manusia itu natural dan tidak mengenakan pakaiannya, pasti semua itu akan terlihat sangat saru, bahkan hal itu sulit untuk disebut sebagai human being. Selain itu, dampak lain yang terasa dengan hadirnya naturalisasi adalah kerancauan dalam memahami keindahan. Hal itu bisa dilihat dari contoh sebelumnya tadi: apakah manusia akan kelihatan indah jika tidak mengenakan sehelai kain pun? Kemudian, apakah mobil avanza akan terlihat sama ketika sudah dimodif dengan ban sport, racing necis, dan sebagainya? Seorang yang jiwanya masih indah, pasti akan menjawab tidak. Jadi, dengan menjadi tidak natural—dalam lebih banyak hal—pasti berdampak kepada sesuatu yang lebih baik.

Di sisi lain, di dalam Islam, sering sekali saya mendengar tentang anjuran untuk tidak mencukur jenggot, menyemir rambut dengan semir hitam, dan sebagainya karena sebuah alasan yang cukup klasik: pencitraan Islam. Jika itu dilihat dengan seksama, ada garis linier antara hal itu dengan perihal di paragraf-paragraf sebelumnya. Adalah tentang naturalisasi. Seandainya waktu itu Rasul apa adanya, pasti Rasul tidak mengucapkan beberapa patah kata tersebut dan tidak berharap Islam harus berbeda dengan Nasrani. Akan tetapi, kenyataannya, ucapan Rasul itu sampai sekarang terbingkai dalam hadist sohih menurut Imam Bukhori. Dengan demikian, hal itu bisa disimpulkan: sejak dulu pun untuk mencapai sebuah tujuan yang baik, bukan berarti tidak natural adalah sesuatu yang tidak baik dan sangat mungkin justru dengan natural itulah semuanya akan menjadi tidak baik. Natural itu gelap. Zev311213

Kamis, 21 November 2013

Apa itu Nabi, Apa itu Rasul, dan Kapan itu Hadist


Selama ini, jauh dari kesadaran, saya memandang adanya suatu kerancauan dalam pemahaman beberapa istilah yang sangat familiar di kalangan orang-orang beragama. Adalah tentang Nabi dan Rasul. Sejauh ini, kedua istilah tersebut—banyak dipahami—memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu tentang diwajibkannya menyampaikan dan sebaliknya. Jika Nabi, maka tidak ada kewajiban apapun untuk menyampaikan wahyu yang didapat. Sedangkan Rasul: memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada kaumnya. Keduanya berbeda dalam hal yang sangat fundamental, dilarang tidaknya sebuah dakwah.
Saya teringat salah satu ayat dalam Quran (2:61) yang menceritakan bagaimana teganya kaum Israel membunuh nabi-nabinya sendiri. Darinya, bukan mengenai kejamnya kaum Israel yang akan ditekankan dalam paragraf ini, tetapi tentang alasan mengapa nabi-nabi ketika itu banyak dibantai oleh kaumnya sendiri. Jika direnungkan lebih dalam, hal itu tidak akan terjadi ketika para nabi hanya diam dan tidak menyampaikan wahyunya seperti pengertian di awal tadi. Akan tetapi karena mereka menyampaikan wahyu dan mendakwahkannya kepada kaum Israel, maka terjadilah pembunuhan itu. Dan boleh jadi, hal itu disebabkan adanya ketidakcocokan pemikiran antara nabi-nabi dan kaum Israel atau ketidaksukaan kaum Israel terhadap cara menyampaikan wahyu itu.
Pada akhirnya, dari kenyataan di atas, pengertian mengenai nabi dan rasul yang selama ini banyak dipahami, kuranglah tepat. Karena ternyata nabi pun juga menyampaikan apa yang dia peroleh dari Tuhannya—wahyu—sehingga mereka terbunuh dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan demikian antara nabi dan rasul adalah dua istilah yang sama-sama mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu dan berdakwah tentang monoteisme kepada kaumnya.
Namun, dari pengertian yang baru tersebut bukan berarti keduanya tidak mempunyai perbedaan. Keduanya memiliki itu, yaitu mengenai sesuatu yang disampaikannya. Jika Rasul, maka sesuatu yang disampaikan adalah ajaran yang baru dan yang berbeda dengan ajaran rasul sebelumnya. Dengan demikian, ketika disebut rasul itu berjumlah ratusan ribu, maka ajaran-ajaran Tuhan juga berjumlah sedemikian banyaknya. Ajaran monoteisme lebih berjumlah ratusan ribu.
Kemudian nabi, sesuatu yang disampaikan nabi bukanlah ajaran baru seperti halnya rasul, tetapi ajaran yang sebelumnya pernah disampaikan oleh rasul yang hidup sebelumnya. Mudahnya, itu bisa dipahami bahwa nabi hanyalah sebagai penerus bukan penggagas. Dan di sinilah titik perbedaan keduanya itu tertambat. Rasul yang bertugas sebagai penggagas dan penyampai berbeda dengan nabi yang hanya bertugas sebagai penerus sekaligus penyampai untuk kali keduanya.
Masih terkait dengan itu adalah tentang hadist. Beberapa pertanyaan muncul dari semua pendapat di atas: sejak kapan apapun tentang Muhammad—perkataan, perilaku, dan ketetapan—itu disebut sebagai hadist dan sunnah? Apakah ketika berumur 40 tahun? Atukah ketika masih 25 Tahun? Kemudian, kapan juga Muhammad berperan sebagai nabi dan meneruskan dakwah rasul sebelumnya? Dan apakah peran Muhammad sebagai nabi dan rasul itu dimulai bersamaan? Jawabannya pasti sangat majemuk. Entahlah.
Namun, dari semua tanda tanya itu, ada beberapa kesimpulan baru yang saya dapat. Pertama, hal itu membuktikan bahwa Islam sangatlah luar biasa karena Islam bisa merubah kebudayaan yang buta moral hanya dalam waktu 22 tahun: islam baru ada paska diturunkannya wahyu di umur Muhammad yang ke—40. Kedua, itu membuktikan bahwa di antara Muhammad menjadi rasul dan manusia biasa, lebih lama Muhammad menjadi manusia biasa. Selama 40 Tahun lamanya, Muhammad harus bersabar dengan ketidaktahunnya tentang apapun dan hanya dengan akhlak yang luar biasa hebatnya Muhammad bisa menjalani semua itu dengan istimewa. Sehingga, darinya juga bisa tersimpulkan bahwa keputusan Muhammad untuk hanya menikahi Khodijah adalah murni dari hatinya. Dan itu berbeda dengan keputusan Muhammad untuk poligami—paska 40 tahun—yang sudah terkontaminasi dengan wahyu. Hadist terkover setelah Muhammad berumur 40 tahun.zev201113


Selasa, 19 November 2013

Farabi, Avicena: bayangan dan bendanya itu tidak bisa dibedakan (Kajian Teori Emanasi)[1]


Jika benda bergerak ke kanan, maka bayangnya pun bergerak ke kanan. Hal itu juga membuat sebuah kereta bisa berjalan karena adanya rel. Seandainya kereta api tidak mempunyai rel, maka adanya itu tidak mungkin karena sama dengan ketiadaannya. Begitu juga dengan bayangan, bayangan tanpa sumber bayangan itu juga ketidakmungkinan. Dengan demikian di antara keduanya itu satu. Satu dalam suatu masa dan entitas yang sama.
Dan masih satu inti dengan itu, begitu juga dengan Tuhan. Menurut al-Farabi dan Avicena dengan teori emanasinya—teori pemancaran—Adanya Tuhan itu tidak lepas dari zaman dan dzat. Teori tersebut bercabang ganda: satu, mengenai kekodiman Tuhan yang hanya pada dzatnya saja dan dua, mengenai dzat dan zaman. Dan di dalam kedua pendapat tersebut menurut saya memiliki core yang sama tempat alam ini dipandang qodim, sama halnya dengan Tuhan.
Lebih detailnya, pendapat pertama dijelaskan bahwa kodimnya Tuhan itu hanya pada dzatnya saja, sedangkan zamannya tidak. Hal tersebut disebabkan adanya sebuah keharusan kebersamaan antara Tuhan dan zamannya. Tuhan ada tanpa adanya sebuah masa adalah ketidakmungkinan—seperti bayangan dan bendanya tadi—sehingga bagaimanapun juga dzat Tuhan yang kodim pasti bersamaan dengan zamannya. Kemudian jika keduanya bersama,itu menimbulkan kemungkinan ganda: pertama, keduanya sama-sama hadist atau baru dan kedua, keduanya qodim. Dan karena dzat Tuhan tidaklah mungkin baru, maka kesimpulan yang paling tepat adalah kesimpulan yang pertama, yaitu antara Tuhan zamannya—alam ini—adalah sesuatu yang sama-sama qodim.
Berlanjut kepada pendapat yang kedua, yaitu Tuhan itu kodim secara dzat dan zaman. Hal itu menimbulkan suatu kesimpulan bahwa Tuhan itu lebih dulu dari alam ini dari segi zamannya. Ini berarti bahwa sebelum ada zaman, telah ada suatu zaman lain—zaman al-adam—dan hal ini adalah ketidakmungkinan. Bagaimapun juga sebelum ada zaman untuk alam ini sudahlah ada suatu zaman untuk Tuhan, dan apapun nama zaman itu masihlah juga dinamakan sebuah waktu atau zaman. Dengan demikian, kesimpulan untuk paragraf ini tidaklah jauh dengan kesimpulan pargarf sebelumnya: Tuhan qodim dengan zamannya yang kodim. Alam ini Kodim.
Masih dalam ruangan ini, Ghozali memberikan suatu corak lain yang bergerak berlawanan dengan pemikiran di atas. Itu adalah tentang pembedaan antara zaman untuk alam ini dan zaman untuk Tuhan. Zaman untuk Tuhan itu satu dengan Tuhan itu sendiri—sama dengan kalam Tuhan yang satu dengan-Nya—sehingga hal itu dirasa kurang tepat jika dipandang adanya kesamaan antara zaman untuk alam ini dna zaman untuk Tuhan.
Dan sekarang, untuk hari ini, saya memikirkan, alangkah lebih baiknya jika pendapat yang mengatakan: bagaimanapun juga Tuhan pasti terikat dengan zaman, itu dihilangkan. Sehingga—mengutip bahasanya Pak Muhdlir—semua ini rampung. Tuhan itu tidak mempunyai waktu dan tempat, keadaannya karena ke-Tuhanannya itu sendiri bukan karena perluanya zaman yang menaungi ataupun tempat. Dalam wilayah lain, jika Tuhan dipandang masih bersama zaman, maka pandangan yang harus diambil juga adalah bahwa Tuhan bersama tempat. Dan hal itu adalah mustahil. Dengan demikian Tuhan dengan zaman juga mustahil.zev171113



[1] Abuddin Nata, 1993, ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN TASAWUF, Jakarta Utara: RajaGrafindo Persada, hlm. 97.

Rabu, 25 September 2013

Kesalahan, Ketakwaan, dan Kemanusiaan




          Untuk kali kesekian, banyak sekali jendela yang terbuka dalam pikiran saya mengenai kata takwa dalam arti yang sebenarnya. Masih segar dalam ingatan saya mengenai: bagaimana saya dulu menganggap betapa dominannya kata takwa itu dengan ritual-ritual islami. Seolah takwa itu sebatas sembahyang dluha 8 rakaat, tahajjud 4 rakaat, berpuasa senin-kamis setiap minggu, cuek dengan urusan-urusan dunia, dan kawan-kawannya. Saya dulu menganggap takwa hanya ada dalam pesantren yang sarat akan syariat. Makna takwa tersempitkan dalam ruang pikir saya lalu. Akan tetapi, sekarang berbeda.
          Takwa mempunyai yang lebih dari majemuk. Di setiap maknanya melibatkan dimensi-dimensi yang berbeda. Dalam catatan saya kemarin, takwa melibatkan dua dimensi sekaligus secara seimbang. Adalah antara hubungan kita dengan manusia dan hubungan kita dengan Tuhan. Bukan hanya usaha pendekatan diri di waktu pra subuh saja yang perlu dilakukan, tetapi konsisten pada ucapan kita dalam penetapan janji juga 50% sebanding dengan yang pertama. Bentuk praksis takwa sangatlah luas dan mendasar.
          Di bagian ayat lainnya, saya baru tahu jika Tuhan menitik beratkan takwa pada zona horisontal, zona kemanusiaan. Dalam ayat ini (3.134) sungguh jelas bagaimana takwa diformulasikan dengan begitu simpel. Siapapun bisa menjadi takwa melalui jalur ini. Yaitu mengenai sedekah. Seorang muslim bisa jadi adalah seorang yang takwa kalau sudah bisa konsisten untuk sedekah dalam keadaan apapun, baik ketika susah maupun senang. Tidak mudah marah dan hobi memaafkan kesalahan orang lain, juga terlibat dalam ruangan ini. Dari ayat tersebut, saya berani menyimpulkan tentang pentingnya mengalah dalam berhubungan dengan manusia. Kita hidup di zona kemanusiaan bukan zona ketuhanan. Jadi saya kira poin-poin dalam ayat tersebut lebih penting dan simpel untuk dijadikan parameter seseorang disebut takwa, bukan pada betapa hitamnya dahi mereka sebab sujud-sujud yang terlalu lama.
          Secara tersirat, ayat itu melukiskan betapa perhatiannya Tuhan pada hambanya yang tidak mampu. Sedekah ada karena ada seorang yang membutuhkan. Dan lewat ayat ini Tuhan mengekspresikan bentuk intervensi-Nya pada hambanya yang tidak mampu, melalui hamba lainnya yang lebih mampu. Pun, yang membuat saya heran, ternyata bukan dalam keadaan kaya saja seseorang dianjurkan untuk sedekah. Dalam keadaan dlorro’ (susah) pun, kita dianjurkan untuk sedekah. Satu bukti betapa vitalnya berbagi dengan sesama. Dan jika saya hubungkan dengan ayat yang terpaut tentang takwa dalam surat al-Baqoroh, aplikasi ini sangat direkomendasikan untuk keluarga yang dekat. Sedekah pada keluarga yang terdekat memiliki value yang lebih.
          Dan yang membuat saya gumun adalah keterkaitannya kata salah, jelek, buruk, dan lainnya dalam takwa. Hipotesis saya selama ini menganggap takwa itu bersih dari kata-kata itu. Seorang yang dikata takwa sudahlah jauh meninggalkan sesuatu yang yang berbau khilaf seperti itu. Akan tetapi berbeda dengan ayat ke 134 surat Ali Imran. Dalam pengamatan saya, kekhilafan atau kesalahan seseorang sangat mungkin sekali menjadi bagian terpenting disebutnya yang bersangkutan sebagai seorang yang takwa. Dalam paragraf ini makna takwa sungguh relatif. Dikatakan seorang yang usai berbuat salah lalu sadar dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya, sudah pantas disebut takwa. Dalam satu sudut.
          Melalui kacamata yang berbeda, saya memandang keluwesan Quran terhadap takwa sedikit berbeda dengan paragraf sebelum ini. Dalam lain wilayah, ketika sudah jelas terbaca bahwa perilaku negatif juga termasuk bagian dari takwa, seakan tersirat motivasi yang istimewa dari Tuhan. Adalah tentang trial and error. Bisa jadi melalui ayat ini Tuhan bilang: mencobalah selalu, salahlah, dan temukanlah. Kata yang sangat bijak. Pun itu adalah bagian dari makna takwa. Takwa itu simpel: saat yang lainnya istikomah dalam kelurusan orang lain, kita jatuh bangun mencari-cari kelurusan kita sendiri.
          Darinya, saya juga teringat kisah Lincoln. Presiden hebat AS yang hidupnya penuh dengan kata “trial and error”. Satu kalimat yang sudah paten harus ada dalam setiap kehidupan calon manusia-manusia istimewa (takwa).zev250913
         

Kamis, 14 Februari 2013

PESONA PROBLEMA DITINGKAT DEWA



          Malam ini kembali kutermenenung dalam pikiranku yang sedari tadi terselimuti oleh bayangan vital hati. Dan untuk keduanya ku kembali menulis, menulis tentang dewa yang mana dalam hal ini tak salah kalau orang-orang yang tak terselebung dalam kehidupannya terdapat aktifitas jam-an yang konsis, yaitu berfikir.

          Ujung yang mengawal dalam tulisan ini, adalah tentang sebuah permasalahan yang tidak menyenangkan pastinya. Banyak diantara manusia manusia yang gundah, sedih, kecewa, dan menderita hatinya karena satu kata ini “masalah”. Pun sampai sampai Ayu ting ting turun tangan dengan iklan “anti galaunya” dalam m3, yang seakan melukiskan ini adalah sesuatu yang berstadium untuk dibahas.
          “Aku tak mengerti, apa salahku, dan mungkin jika aku bandingkan kerjaku dengan rekan yang lain aku lebih disiplin dan aktif, namun mengapa beliau kok hanya memarahi aku. Iya sih aku tahu mungkin aku tidak sepinter mereka dalam hal apapun, background aku pun tak selurus mereka, its fine…but kenapa sih kok mesti aku dan aku yang disalahkan. Bahkan tak jarang ku lihat rekan-rekanku, berbuat yang tak senonoh, but what happen, no action, seakan gag ada papa. Pun ketika dalam tugas pasti aku dan aku yang berada di posisi bawah, aku tak pernah dianggap oleh beliau. Ntah, kenapa kok sampai bisa seperti itu. Ya akhirnya tak taulah, aku hanya bisa membingkai rasa ini dengan senyum di depan mereka”. Satu contoh curhat diatas misalnya. Didalamnya melukiskan betapa mengeluh dan sedihnya dia, saat ada hal yang tidak menyenangkan menyapa dia dalam hitungan lebih dari satu, dua. Dalam satu nafas tak masalah lah, kita mengeluh, toh kita juga manusia yang tak bisa luput dari masalah, dengan catatan tak haruslah semua itu lebih dari satu jam dalam sehari.
          Tapi, kala kita mau berfikir lebih lanjut tentang satu ayat Quran “ la’in syakartum la’azidannakum”, sesungguhnya posisi yang paling tepat dan pas untuk membalas semua itu adalah posisi yang seperti itu. Posisi dimana berjalan disamping kita hal-hal yang sangat tidak menyenangkan dan kita bisa sabar sembari berfikir dan merenung. Kata syukur dalam ayat diatas itu ada karena telah diturunkannya sesuatu yang menyenangkan kepada kita, lalu ketika kita bersyukur akan hal itu, pasti Tuhan akan menambahnya. Dari situ jika kita putar 60 derajat kedepan, jika kita bisa mensyukuri semua hal-hal yang tidak menyenangkan diatas  sudah pastilah bukanlah hanya menambah yang akan dilakukan Tuhan pada kita, namun lebih dari itu, karena secara tersirat cobaan-cobaan yang telah diberikan kepada kita itu adalah sebuah nikmat yang terbungkus special buat hamba-hambanya yang mau berfikir dan bersabar. Dan semua itu sungguhlah masuk akal, toh bersyukur pada nikmat yang dhohir atau menyenangkan saja Tuhan berjanji menambahnya, apalagi mensyukuri nikmat yang menyiksa hati.
          Dari situ, sungguhlah masuk akal dan mungkin melebihi logikanya para filosof, jika para sufi itu lebih memilih anti dunia atau bahasa akrabnya zuhud dan uzlah  dari pada mengejar nominal-nominal yang tiada berarti didalamnya. Sebab alur pemikiran mereka dengan semua ketidaknyamanan ini mereka bisa meraih sesuatu yang lebih dari segalanya. Fitrah mereka sebagai manusia yang ingin selalu mendapat sesuatu yang lebih begitu mereka tonjolkan dalam konsep berfikir mereka, dan itu sungguhlah masuk akal. Karena tak ada manusia yang tak ingin lebih. Jadi sangatlah salah jika kita mengatakan mereka itu tak waras atau apalah yang tak doyan barang dunia, bukan. Namun semua itu tak lebihnya adalah sebagai usaha mereka secara logis untuk meraih sesuatu yang selain mereka mustahil untuk mendapatkannya, yang dalam hal ini adalah  “rizqun nadlor ila wajhikal karim”.  
          Dan akhirnya, para manusia-manusia dewa itulah yang menang dan bisa merasakan pesona indahnya sebuah problema, dengan kekuatan akal dan hatinya yang selalu bisa menganggap apapun masalah yang menghadang mereka adalah sebuah rezeki dan nikmat seta kesempatan untuk menjadi berarti buat orang lain. Toh pastinya masalah tak akan tercipta tanpa sebuah jalan dan sebuah kemenangan.
“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(QS. Al-Insyiroh; 5-6)

CARA DAN TRIK :
          Seusai membaca uraian diatas, pastilah terngiang-ngiang di awan pikiran kita tentang bagaimanakah memunculkan hasrat yang siap untuk mensyukuri setiap musibah yang silih berganti menyapa kita. Jawabannya tak sulit, cukup dengan mendatangkan sebuah perbandingan yang seolah tidak masuk akal dalam kerangka pemikiran kita. Konsep perbandingan begitulah saya menyebutnya.
          Saat sesuatu yang sulit datang kepada anda, cobalah untuk membandingkannya dengan sesuatu yang lebih sulit dan berat dari padanya. Lalu, berfikirlah sekali lagi dan merenunglah, serta bayangkanlah saat ini anda sedang tertimpa musibah yang kedua tadi. Perlahan dan terus berimajinasi sampai seakan itu adalah nyata akan terjadi pada diri anda. Dan sampai pada saatnya terjadi, ternyata Tuhan mengubah planning musibah tadi yang asalanya kepala anda yang akan pecah terlindas truck diganti menjadi hape anda yang jatuh dan rusak. Sampai akhirnya, rasa syukur itu dapat kita rasakan.
          Jadi, finalnya, menuruti contoh diatas, saat kita terkena musibah hape kita jatuh dan pecah, bukannya sedih dan galau yang akan kita rasakan, tapi malah terima kasih, karena hanya sepintas hape yang pecah tidak sampai pada kepala. Dan itulah fungsi real dari konsep perbandingan. /…z_v9213