Tampilkan postingan dengan label Pemikiran Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemikiran Islam. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Agustus 2014

Al-Quran menjelaskan segalanya, benarkah?




Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.
.
Pram

                Selama ini di dunia ide para mahsiswa, diskusi adalah cara efisien untuk mendapatkan inti sebuah pengetahuan atau bahkan ilmu pengetahuan. Iya, diskusi sering dikaitkan dengan membaca, menulis, dan nongkrong. Diskusi memungkinkan seseorang mendapat inti dari satu buku penuh dalam waktu satu jam atau bahkan hanya lima belas menit. Diskusi tidak lebihnya adalah rar dari hasil ekstrak membaca atau menulis seseorang yang dibagi kepada rekan-rekan nongkrongnya. Selain memiliki manfaat intelektual, diskusi juga memberikan manfaat sosial. Diskusi memiliki manfaat yang begitu efisien. Seandainya itu bisa dialihtempatkan, diskusi bisa menjadi solusi jitu terhadap permasalahan BBM yang akhir-akhir ini kembali diperbincangkan rakyat.
            Akan tetapi, bukan itu yang menjadi pandangan terfokus. Melainkan kepada siapa yang berdiskusi dan apa yang seharusnya harus dikaitkan dalam berdiskusi. Dalam hal ini, saya mempertanyakan kembali tentang identitas kita sebagai warga Indonesia yang muslim. Pertanyaannya: seberapa sering kita menyangkutkan Quran dalam setiap kegiatan diskusi kita mengetahui itu adalah keajaiban luar biasa kita? Jarang sekali. Dan itulah yang sebenarnya perlu diresahkan. Dunia sekarang sedang krisis interpretasi Quran terkait hal-hal kecil. Di tengah diskusi, nongkrong, apalagi ditemani secangkir kopi, pasti sangat bermanfaat jika kita mau menyinggung Quran dan melibatkannya dalam diskusi kita. Bagaimana Quran akan merespon hal seperti ini. Apakah memang hal-hal kecil seperti ini ada dalam Quran ataukah hanya interpretasi seseorang saja yang mencoba mengaitkan. Lantas, kalau seperti itu, benarkan kalau Quran itu menjelaskan segalanya ataukah itu hanya interpretasinya saja, dan lain sebagainya. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi ketika hal itu benar-benar dilakukan dalam warung kopi di Indonesia. Ini pasti akan memberi citra yang positif buat Islam Indonesia: Islam yang mencintai kitab sucinya, Islam yang mencintai pengetahuan, Islam yang mencintai diskusi, Islam yang saling menghargai tanah airnya, dan sebagainya. Hingga akhirnya kita tahu bahwa Quran itu simpel, yang menyeluruh hanyalah interpretasi-interpretasi akannya. Kita sadar, kita berani mendiskusikan. Kita cinta, kita berani mengaitkannya dan menemukan keajaibannya.poenk100814

Minggu, 03 Agustus 2014

Barakah dengan ISSABA




          Sajian keagamaan yang disampaikan di acara ISSABA begitu mengalir damai di telinga. Beberapa contoh terkait barakah tersampaikan dengan baik dan bisa langsung diterima oleh teman-teman santri. Salah satu darinya adalah tentang santri yang bodoh, miskin, dan jelek yang masuk surga hanya gara-gara menghafal daftar belanjaan kiyai yang diserahkan kepadanya. Dia masuk surga karena barakah dari kiyai. Sebuah contoh yang langsung bisa diterima oleh telinga-telinga awam dengan baik. Contoh yang secara tidak langsung ingin menjelaskan kepada teman-teman bahwa bagaimanapun keadaannya, guru itu adalah dewa. Corak motivasi yang baik.
          Terkait itu, meskipun hal tersebut baik, pasti akan lebih baik kalau konsep barakah itu dijelaskan dengan corak yang lebih bisa diterima oleh akal telanjang. Sebab, sepertinya pemikiran teman-teman sudahlah penuh dengan harapan-harapan yang utopis seperti itu. Karenanya, tidak salah juga kalau dulu, Marx memutuskan untuk membenci agama dari pada harus tenggelam dengan motivasi-motivasi yang sulit diterima. Saya kira hal yang menyebabkan seperti itu terletak pada kuantitas penyampaian. Masyarakat Marx yang miskin dan terbodohi ketika itu terlalu banyak dan sering mengumbar hal-hal semacam itu. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan hal serupa akan terjadi kalau Pesantren, lebih-lebih ISSABA, selalu dicekoki hal-hal seperti itu. Dan pastinya tidak ada yang berharap demikian.
Semisalnya tentang sedekah. Sebisa mungkin kita harus memandang bahwa Dengan sedekah, selain kita telah membantu orang lain keluar dari kesulitannya, secara tidak langsung pula kita sudah membuat ikatan persaudaraan dengan mereka. Yang kedepannya, kita pasti bisa lebih akrab dengannya, tersenyum bersamanya, dan bisa jadi dia juga tidak enggan untuk membantu kita, entah itu secara materi maupun lainnya. Atau selain itu, minimal kita bisa mendapat kepuasaan hati. Sebuah kebanggaan karena tanpa kita sadari dengan hal itu kita sudah menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain. Itulah poinnya. Itulah barakah. Barakah yang memiliki nilai yang nyata.
          Saya teringat Soekarno dulu ketika masih miskin bersama Inggih Garnasih. Soekarno pernah berhutang mentraktir secangkir kopi terhadap sahabatnya. Dan ketika sahabatnya mengunjungi rumahnya dengan niat mengajak ngopi bersama sembari membahas PNI, Soekarno bingung karena tidak memiliki uang sepeserpun. Namun karena sungkan—sebab sudah berkali-kali tertunda—Soekarno tetap menyanggupi ajakan sahabatnya. dan kebetulan ketika di warung kopi ada wartawan sedang bingung mencari tulisan. Akhirnya dengan beberapa penawaran, Soekarno mau menulis untuk wartawan dengan imbalan beberapa rupiah. Tidak sampai 15 menit tulisan selesai dan Soekarno bisa mentraktri kopi sahabatnya dan Inggit. Bisa dilihat bersama, begitulah kebiasaan sedekah di antara dua sahabat yang berani mentraktir sahabatnya meski tidak punya uang. Dari sedekah itu muncullah suatu keakraban. Dari sedekah muncullah suatu kebahagiaan yang nyata, senyuman yang nyata, dan ketulusan yang terbuktikan. Sekali lagi saya katakana: that’s the point. Barakah tidak harus dengan materi. Tidak harus juga menunggu hari setelah kematian.
          Selain itu pula, secara prinsip, sedekah itu adalah ibadah sosial. Dan yang namanya sosial itu poinnya adalah kepada kenyamanan orang lain bukan kenyamanan diri sendiri. Ketika pemikiran seseorang masih saja terbelenggu dengan doktrin-doktrin kalau sedekah itu hanya bermanfaat untuk membuat kaya dirinya, itu bukanlah sedekah tetapi serakah. Sebab sekali lagi, titik tekan dalam hal ini adalah orang lain bukan diri sendiri. Barakah harus dikonsepsikan berbeda. Barakah itu benar-benar barakah ketika yang bersangkutan tahu, mengapa dia menyebutnya barakah.
          Dengan demikian, untuk ISSABA kedepan, alangkah lebih baik dan indahnya kalau teman-teman santri sedini mungkin sudah diajari ngalap barakah dengan cara yang berbeda, pandangan yang berbeda, dan kepuasaan yang berbeda. Tidak cukup rasanya hanya dengan menjadi robot guru. Barakah itu menemukan alasan bukan sebagai alasan.poenk30814   

Senin, 17 Februari 2014

Landasan Naif diwajibkannya khitan perempuan


Dalam peta hukum khitan perempuan,  salah satu poinnya—menurut beberapa pendapat—adalah dihukumi wajib. Pendapat itu berangkat dari salah satu hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari tentang kewajiban mandi peska bertemunya dua khitan. Dalam matan hadist tersebut, tertulis bertemunya dua khitan, antara khitan laki-laki dan perempuan. Hadist adalah salah satu jendela untuk mengetahui bagaimana keadaan kultur orang-orang Arab—yang dekat dengan Muhammad—beberapa abad silam. Kemudian, hadist di atas secara tersirat—dalam titik focus lainnya—bisa dipahami bahwa perempuan juga dikhitan dengan mempertimbangkan kalimat bertemunya dua khitan. Dengan demikian, dalam hal ini, pendapat di atas tidak salah ketika menjadikan hadist ini dasar akan diwajibkannya khitan bagi perempuan dengan mempertimbangkan adanya kultur yang pernah ada di masa Muhammad.
Akan tetapi, jika kita amati lebih dalam lagi, terlihat ada beberapa keganjilan di dalamnya. Pertama adalah tentang titik fokusnya. Bagaimanapun juga, ketika hadist itu dijadikan dasar tentang diwajibkannya khitan perempuan, maka hadist tersebut akan kehilangan titik fokusnya yang pertama: tentang kewajiban mandi besar. Kedua adalah tentang ketimpangan makna yang dihasilkan. Ketika hadist tersebut bertitik focus majemuk—diwajibkannya khitan dan mandi besar—maka ada salah satu darinya yang akan keluar dari rel yang sebenarnya. Salah satu yang mewajibkan mandi besar adalah ketika sudah bersetubuh atau paska bertemunya dua kelamin, baik itu sudah dikhitan atau belum. Itu adalah kesimpulan pertama dari hadist di atas sebelum makna khitan dijadikan titik focus lainnya. Kemudian, ketika kata khitan tersebut dijadikan sebuah landasan diwajibkannya khitan bagi perempuan, maka ada perubahan yang jelas dari pemahaman hadistnya. Dan darinya—seandainya hadist ini dijadikan landasan wajib  khitan bagi perempuan—kewajiban mandi besar untuk muslim hanya wajib dilakukan ketika antara laki-laki dan perempuannya sudah dikhitan dan seandainya belum, maka tidaklah wajib mandi. Satu unsur yang  melahirkan unsur lain yang jauh berbeda bahkan bertentangan.
Dengan demikian, bagaimanapun juga sepertinya kurang tepat jika hadist itu dijadikan landasan utama diwajibkannya khitan perempuan. Selain itu, cukup naïf juga jika tanpa melakukan pertimbangan-pertimbangan yang serius—dan hanya mengandalkan kajian pustaka—khitan perempuan bisa diwajibkan. Alangkah lebih baiknya, baik itu mengenai kajian pustaka ataupun empirik, kesimpulan untuk hukum khitan perempuan ini lebih focus kepada pertimbangan manfaat dan mala yang akan dilahirkan jika memang salah satu kultur Islam tersebut dipraktekkan.zev170214


Minggu, 16 Februari 2014

Metafisis, mengapa tidak bisa dinalar?


Dalam kajian Linguistik, ada tiga unsur yang paling penting: langue, langage, dan parole.  Ketiganya berfungsi menurut masing-masing tempatnya. Yang pertama merupakan tempat untuk mengetahui kalau sebuah bahasa pasti tersistem atau mudahnya, setiap bahasa itu memiliki grammatika masing-masing yang pastinya berbeda satu dengan lainnya. Yang kedua adalah tempat untuk membedakan antara bahasa manusia—sebagai makhluk yang  tersistem dengan pemikiran yang ilmiahnya—dengan bahasa hewan—sebagai makhluk hidup tanpa pemikiran tersistem—yang pastinya hanya bahasa manusia lah yang masuk dalam kajian ilmu linguistik ini. Selanjutnya adalah parole: keadaan yang menempatkan bahasa menurut fungsi utamanya, yaitu sebagai alat komunikasi dengan baik dan teratur.
Masih berkenaan dengan itu, hewan yang posisinya juga sebagai makhluk hidup pasti memiliki bahasa sendiri-sendiri untuk berinteraksi satu sama lain. Meskipun hal itu tidak bisa dijangkau oleh kemampuan manusia biasa, tetap saja mereka memiliki konstruksi bahasa mereka sendiri. Dalam hal kesetiaan merpati misalnya, pasti sebelum merpati cowok dilepas meninggalkan yang cewek lalu kembali pada dekapan si cewek, ada komunikasi-komunikasi tertentu yang terjadi di antara keduanya. Selain itu, dalam kehidupan makhluk-makhluk lain seperti jin dan teman-temannya. Bagaimanapun juga karena mereka juga eksis dalam kehidupan mereka sendiri, mereka pasti memiliki bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran mereka masing-masing. Pastinya, itu juga sudah tersistem menurut system yang ada dalam kehidupan mereka. Kemudian—dari hewan dan jin di atas—persoalannya adalah ketika bahasa tersebut dibenturkan dengan struktur dalam paragraph pertama tadi: apakah masih bagiannya darinya atau tidak, toh mereka juga berkomunikasi. Dan jawaban yang paling mendekati tentang itu adalah adanya perbedaan dimensi. Keduanya—hewan dan jin—tidak masuk pada tataran apapun yang bisa dinalar. Dengan demikian, bagaimanapun juga meski mereka memiliki bahasa yang rapi, itu masuk dalam nalar di dunia mereka sendiri, tidak dunia kita.

Di wilayah lain, masih bersinggunggan dengan itu, dalam surat al-A’raf:52, dengan jelas tertulis bahwa Quran itu dijelaskan atas dasar pengetahuan yang ilmiah. Dan jika ditarik beberapa surat sebelumnya, tepatnya al-Baqarah: 3, tertera bahwa orang-orang yang takwa adalah siapa saja yang percaya kepada hal-hal gaib, mau bersembahyang, dan berinfak. Di sini, satu hal yang unik: kalimat tentang percaya terhadap hal-hal ghaib diletakkan lebih awal sendiri dari pada lainnya. Selain itu, kalimat tersebut juga berada di posisi awal dalam surat kedua dari Quran. Al-Quran—seperti dikatakan sebelumnya—adalah sesuatu yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dan di dalam Quran dijelaskan bahwa mempercayai hal ghaib—termasuk di dalamnya jin dan lainnya—merupakan salah satu syarat terpenting untuk bisa meraih derajat takwa. Dengan demikian, jika ditarik kesimpulan dari kedua premis di atas, maka hasilnya: jin itu juga ilmiah. Dalam arti, hal itu bisa dinalar, tetapi mungkin permasalahannya tergantung kepada bagaimana kita menalar jin tersebut. Dan dalam hal ini termasuk juga mengenai ilmu linguistic yang tadi dikata hanya berlaku untuk manusia dengan alasan ilmiah. Jin—dari uraian singkat di atas—dalam menurut Quran adalah sesuatu yang ilmiah, jadi dalam konteks langage, sepertinya tidak ada salahnya jika bahasa keseharian mereka dimasukkan dalam tataran linguistic.zev160214

Selasa, 11 Februari 2014

Islam Bukanlah Pemberi Harapan-Harapan Palsu


Selama ini, menurut beberapa kalangan, Islam adalah salah satu institusi yang syarat dengan ilusi-ilusi dan harapan-harapan yang menggiurkan. Salah satu contoh simpelnya adalah hadiah yang luar biasa yang akan diberikan untuk setiap muslim yang telah menunaikan sholat fajar. Adalah hadiah dunia dan seisinya. Secara nalar—bukan secara simbolis—hal itu cukup mengeherankan: bagaimana seseorang dengan hanya sholat dua rakaat prasubuh bisa mendapat dunia seisinya. Dan bisa jadi,andai ketika dulu marx masih tau mengenai hal tersebut, pasti teori tentang agamanya—yang sangat menipu—akan lebih heboh dari yang sudah ada sekarang ini.
Menilik keadaan masyarakat tempat Marx dulu hidup yang kebanyakan orang-orang miskinnya adalah orang-orang yang taat beragama, hal di atas cukuplah masuk akal. Dalam arti dengan harapan dan janji-janji yang sangat menggiurkan tersebut, seseorang akan merasa cukup dengan beribadah saja tanpa perlu memikirkan bagaimana janji-janji yang dikoarkan tadi bisa benar-benar terealisasikan. Sehinga dampak yang ada cukup jelas dan nyata: kebanyakan dari mereka tidak mau bekerja dan berjuang demi nasib mereka. Dan andai agama yang berkembang pada saat itu adalah Islam, para muslim ketika itu hanyalah sholat dluha dan dluha tanpa harus diimbangi dengan bekerja, belajar, dan melihat peluang. Kira-kira seperti itulah gambaran mengenai betapa menipunya janji-janji yang diberikan sebuah  agama tempo itu.
Namun, jika hal di atas dilihat dari perspektif lainnya, kesimpulan yang dilahirkan pasti akan berbeda. Itu bisa dibuktikan dengan sejenak merenung tentang hukum timbal balik. Sudah banyak diketahui bahwa—dari hukum ini—apapun yang baik pasti akan dibalas dengan baik, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, dari idealitas tersebut muncul beberapa permasalahan-permasalahan yang ternyata tidak cukup jika hanya menggunakan nalar secara materi saja. Adalah tentang ketidaksesuaiannya kenyataan dengan harapan-harapan yang sudah terbungkus dengan usaha yang baik. Dan di sinilah letak permasalahannya: mengapa masih saja hasilnya tidak sesuai dengan harapan, padahal semua usaha-usaha yang baik dan luar biasa sudah dilakukan. Dengan demikian, kelihatannya dari keadaan yang seperti ini, fungsi agama yang tadi dikatakan hanyalah sebuah ilusi mulai nampak.
Masih mengenai itu, di dalam Islam, lebih tepatnya dalam Quran surat al-a’raf: 40—42 dijelaskan bagaimana sebuah kejahatan pasti akan dibalas dengan kejahatan—baik itu terjadi di alam ini ataupun tidak—begitu juga sebaliknya, kalau memang hasil dari sesuatu yang sudah diusahakan dengan  masihlah jelek, maka hasil yang lebih baik pasti akan didapat di alam selanjutnya atau berupa kebaikan lainnya yang setara dengan semua usaha-usaha yang pernah dilakukan. Jadi, ketika dipandang dari sudut pandang ini, meski sekilas memang terkesan ilusi, fungsi agama sangatlah besar untuk menjawab kegundahan jiwa manusia yang notabennya adalah manusia yang lemah dan rapus. Minimal, dengan adanya hal ini, siapa saja yang telah berusaha sekuat tenaga dan masih saja tidak menghasilkan apapun, mereka masih bisa tenang dan nyaman. Sebab mereka masih memiliki harapan dan keyakinan kalau pasti semuanya akan terbalas. Dan kira-kira itulah fungsi hebat dari sesuatu yang dulu pernah dikata hanyalah sebuah ilusi belaka. Zev110214


Senin, 10 Februari 2014

Ikhlas Tanda Impas


Boleh jadi, salah satu alasan munculnya isu tentang pendekatan dengan Tuhan tanpa agama atau yang lebih familier disebut god without religion adalah pupusnya rasa ikhlas dalam setiap hati orang-orang yang beragama. Sebab, dengan keadaan seperti itu—tanpa adanya ketulusan—seseorang akan menganggap ritual-ritual yang merupakan bagian dari kewajiban mereka itu hanyalah sebagai alat penggugur kewajiban. kemudian, bersama asumsi tersebut, pihak yang diuntungkan bukanlah mereka tapi agama mereka. Dan ketika yang diuntungkan agamanya bukan pemeluknya, maka tidaklah salah jika dikata: agama hanyalah peruwet dari kehidupan. Hal itu disebabkan oleh absennya timbal balik yang didapat pemeluknya paska menyempurnakan ritual-ritual keagamaannya. Sehingga, bagaimanapun juga salah satu hal vital dalam beragama dan untuk mengagamakan agama adalah dengan men-set hati setulus mungkin dalam setiap ritual yang terjalani.
Dipercaya atau tidak, segala sesuatu yang dijalankan secara ikhlas pasti akan mengundang manfaat tersendiri dalam benak masing-masing pelakunya. Hal itu juga tidak berhenti sampai kepada ritual-ritual dalam beragama. Sholat misalnya, jika hal itu dijalankan secara ikhlas pasti manfaat yang didapat tidak sebatas kepada agamanya saja, namun juga kepada pihak yang bersangkutan (7:29). Minimal, dengannya seseorang pasti akan mendapat kepuasan rohani yang tidak akan didapat ketika semua itu dijalankan dengan terpaksa. Dengan demikian, dalam hal ini agama bukan lagi sebagai peruwet kehidupan, tetapi sebaliknya: agama sebagai sesuatu yang bisa mencerahkan, bisa memberi, dan bisa diandalkan.
Di lain wilayah, jika hal di atas dikaitkan dengan pragmatisme, sebenarnya semuanya masihlah baik-baik saja. Justru, kalau memang mereka benar-benar pragmatis, tidak ada alasan yang lebih masuk akal bagi mereka untuk meninggalkan ritual-ritual keberagamaan mereka. Sebab, sebegaimana tertulis sebelumnya: semua pasti akan terbalas impas jika dijalani dengan ikhlas. Contoh lainnya adalah konsep pengabdian yang sudah lama berkembang dalam Islam. Lebih khususnya, hal itu berkembang di pesantren yang hampir semuanya ditata dengan konsep pengabdian. Di dalamnya, ketika memang pengabdian ini dijalankan dengan ikhlas, pasti ada manfaat yang luar biasa yang akan didapat. Itu tidak berbeda jauh dengan teori karma atau timbal balik: barang siapa membantu pasti dibantu. Begitu juga dengan pengabdian yang posisinya adalah membantu secara total instansi yang menaungi mereka. Minimal—meski dirasa sulit juga untuk mempercayai hal-hal yang nyata tapi masih belum berupa manfaat materi yang jelas—hanya dengan itulah mereka bisa berbangga diri dan puas batin karena mereka telah berhasil untuk menjadi sosok-sosok yang bermanfaat bagi orang lain. Khoiru an-nas man anfa’uhu li an-nas. Zev100214



Minggu, 09 Februari 2014

Surga itu simpel: ketika tiada lagi daratan untuk ikan


          Kali pertama ungkapan ini terdengar adalah dari salah satu buku Sankara, seorang tokoh berpengaruh dalam Hindu di India, yang menempatkan Tuhan sebagai objek kajian utamanya dalam bukunya tersebut. Di dalamnya, ungkapan di atas diletakkan di bagian paling depan di bab terdepan. Lebih tepatnya, itu berada dalam sebuah pembahasan tentang bagaimana seseorang berpotensi menggapai Tuhan secara live tanpa embel-embel apapun. Dan tersangkut di dalamnya juga surge dan neraka yang notabenya tak lain hanyalah sebagai reward atau balasan dari apapun yang pernah dilakukannya di dunia. Sehingga kesimpulan simpelnya: jika seseorang sudah berhasil mendekati Tuhan—dengan cara apapun itu—pasti reward dari kehidupannya itu juga akan turut terkatrol.
Kedua kalinya, ketika ungkapan itu dipahami, tidak ada sedikitpun yang istimewa darinya kecuali sebuah kenyataan kalau memang ikan itu tidak membutuhkan sebuah daratan. Namun, jika kita kupas lebih teliti lagi, maka ada sebuah pengertian yang baru tentang surga di dalamnya. Dan mungkin pengertian itulah yang menjadi alasan utama mengapa tulisan ini harus ada.
Selama ini, surga dipandang dan dibayangkan hanyalah sebagai sebuah tempat tanpa penderitaan, tanpa kesedihan, tanpa hawa nafsu, dan tanpa lain-lainnya. Minimal, menurut pendapat yang lebih bisa dipertanggung jawabkan, surga itu adalah sebuah tempat yang ada sungai mengalir di setiap sudutnya meskipun tidak ada yang tahu bagaimanakah penafsiran yang baik tentang sungai yang mengalir tersebut. Namun, ketika dalam memaknai surga dengan berkaca pada ungkapan ini, surga bukan lagi sesuatu yang butuh pada penafsiran yang disama-samakan dengan apapun yang paling diinginkan di dunia.
Lebih detailnya, itu tertulis: ketika tiada lagi daratan untuk ikan. Dalam arti, ketika memang semuanya hanya tinggal laut, tiada daratan, dan tiada lagi kehidupan makhluk darat, maka satu-satunya yang berkuasa adalah ikan karena memang hanya kelompok merekalah yang masih hidup. Begitu juga dengan surga, akan lebih tepat jika surga dibayangkan sebatas ketika hanya seorang itulah yang memilikinya. Boleh jadi, hal itu juga disebut sebagai simbol keserakahan manusia. Sebab, sesuatu yang terbayangkan adalah apapun dan dimanapun itu miliknya. Surga itu keserakahan meskipun statusnya adalah sebagai reward.zev050214


   

Kamis, 06 Februari 2014

Tuhan Mayat dan Tuhan Manusia peribadah


19 januari kemarin, sepertinya bukan hanya saya yang menjadikan hari itu sebagai hari yang sangat disayangkan. Iya, dalam pemakaman Najib, teman dekat saya selama di pesantren, tidak saja dihadiri oleh sekelompok teman yang dari blok saya saja, namun dari blok teman-teman seangkatannya juga tampak berduyun-duyun turut merasakan kehilangan di rumah duka. Dan mungkin, itulah alasan saya mengatakan kalau hari kemarin itu adalah hari tersayang bersama.
Dari hal itu, di sisi lain, ada sesuatu yang terpikirkan tepat ketika saya harus melihat Najib—dari jarak satu meter—dikebumikan. Itu adalah bayangan betapa mengerikannya sebuah kematian. Seakan, di waktu yang sama, bayangan kematian mengubah persepsi seseorang terhadap Tuhan. Dan hal itu memungkinkan seseorang untuk memandang Tuhan sebagai sesuatu yang mengerikan dan lebih mengerikan. Sehingga, andai mayat bisa berkomentar, banyak kemungkinan dia akan ketakutan saat tahu dia akan dikebumikan. Dan dari sini, seakan Tuhan tampil berbeda dihadapan makhluknya.
Selepas pemakaman, saya beranjak ke Masjid dan menunaikan sholat Dhuhur. Dalam jangka  waktu yang relatif singkat—setelah pemakaman Najib—saya merasa ada sesuatu yang berbeda. Adalah tentang pandangan terhadap Tuhan. Tadi, tepat ketika saya melihat Najib dikebumikan—tanpa tersadar—saya menjumpai Tuhan sebagai  sesosok yang mengerikan, jahat, dan penyiksa. Akan tetapi, sejenak kemudian, di saat sholat, spontan Tuhan menjadi sesosok yang jauh berbeda: penyayang, perhatian, dan sangat dibutuhkan. Dan hal ini sangatlah berbeda jika disejajarkan dengan pandangan mayat terhadap Tuhan. Satu memandang-Nya sebagai Yang Maha penyayang sedangkan yang satunya memandang-Nya sebagai Yang Maha penyiksa. 

Rabu, 05 Februari 2014

Dosa itu Simpel: ketika melakukannya, hati tidak tenang dan tidak ingin orang lain mengetahuinya


Kali pertama saya membaca kalimat tersebut secara sekilas dengan tanpa mengulanginya kembali, ada kesimpulan yang berbeda tentang kalimat tersebut dengan redaksi aslinya. Adalah mengenai ketenangan hati. Dalam redaksi hadist yang asli tertulis bahwa dosa itu adalah apapun yang terbesit dalam hatimu dan kamu tidak ingin orang lain mengetahuinya. Akan tetapi, karena hal itu dirasa cukup rumit pula, saya membahasakannya berbeda: dosa adalah apapun yang membuat hati kita tidak tenang dan kita tidak ingin orang lain melihatnya.
Tanpa banyak disadari, teori yang bagi saya luar biasa ini, terselip dalam salah satu ayat al-Quran (6:120). Sebenarnya, dalam ayat itu sendiri, teori ini tidak tertulis dengan jelas dan eksplisit. Akan tetapi, itu ada hanya sebagai alat bantu untuk memahami ayat tersebut karena isinya yang terkait dengan larangan melakukan dosa, baik itu tersembunyi atau sebaliknya. Sehingga, jika kedua hal tersebut—ayat terkait dengan hadist terkait—dikaitkan, maka siapapun akan merasa mudah dalam memahami ayat itu umumnya atau pengertian dosa itu khususnya.

Dalam satu sisi, teori di atas berhasil memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa dan bagaimana dosa itu. Hal itu disebabkan dengan banyaknya asumsi yang memandang bahwa dosa adalah sesuatu yang abstrak dan seakan itu hanyalah hak paten Tuhan untuk menentukan kalau ini dosa  

Selasa, 31 Desember 2013

Recomended sin practice in Quran (upaya memahami ayat inna as-solata tanha ani al-fahsya’i wa al-munkari)


          Rasa memang tidak pernah bohong, sepertinya jargon itulah yang paling sesuai untuk mendukung beberapa kesimpulan yang kontroversial akhir-akhir ini. Salah satunya adalah tentang kesimpulan yang menyatakan: semua agama itu harus dicoba terlebih dahulu sebelum seseorang mengatakan kalau hanya agamanya yang benar sedangkan yang lainnya tidak. Begitu juga dengan rasa, rasa bisa diklaim mempunyai rasa tertentu dan tidak bohong jika ada seseorang yang sudah mencicipinya, begitu juga sebaliknya: ketika itu tidak dicicipi, maka hanyalah kebodohan untuk mengatakan hal terkait memiliki sebuah rasa tertentu sehingga itu berpotensi sekali untuk melahirkan banyak kebohongan. Dengan demikian, sebuah rasa memang akan selalu jujur dengan syarat: harus dicicipi.  
          Tidak berbeda dengan itu, adalah tentang pupusnya kemunkaran dan ketidakbaikan seseorang selepas menjalankan sholat. Seseorang yang telah menunaikan sholat idealnya mereka akan sulit untuk melaksanakan kedua hal itu. Akan tetapi, kenyatannya, hal tersebut masih saja dirasa hanyalah cerita-cerita bohongan saja karena memang sangat jarang sekali seseorang bisa merasakan dampaknya. Dalam arti, meskipun mereka sholat, tetap saja kedua hal tersebut sulit untuk dihindari. Dan di titik inilah muncul sebuah permasalahan: apakah ayat terkait yang bohong ataukah kita yang bohong?
          Dan dari pertanyaan tersebut, sudah pasti jawabannya adalah kita yang bohong. Namun, mengapa hal itu sampai membuat kita bohong, padahal kita sudah sholat dan berdoa, apakah untuk memahami satu ayat ini sholat saja kurang? Jawabannya jelas: kurang. Dan kekurangan itu bukan hanya mengenai bagaimana kita harus sholat sekhusyuk mungkin, tidak. Akan tetapi hal itu lebih mengarah kepada persoalan pengalaman. Iya, pengalaman untuk mencoba.
          Lebih dalam lagi, sebagaimana satu jargon di paragraf pertama tadi, seseorang bisa merasakan secara langsung manfaat sholat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar jika dia sudah terlibat di dalamnya atau telah mencobanya. Sehingga, di saat seseorang telah terlibat di dalamnya kemudian menunaikan sholat, sedikitnya, pasti yang bersangkutan merasakan sesuatu yang berbeda karena dia membandingkan: membandingkan antara keadaan menjadi seorang yang terbebas dari perbuatan keji dengan keadaan ketika dia terbebas darinya. Minimal, hal itu bisa memunculkan sekat antara bagaimana rasanya menjadi A dan bagaimana menjadi B. Dan itu berbeda dengan keadaan seseorang yang tidak pernah mencoba untuk maksiat, banyak kemungkinan, mereka tidak akan bisa merasakan dampak dari sholat karena mereka hanya merasakan A saja, tidak pernah B. Logisnya, bagaimana hal itu bisa dibandingkan jika sesuatu yang dibandingkan tidak ada. Dengan demikian, sepertinya, untuk memahami ayat tersebut secara total, seseorang dianjurkan untuk mencoba fahsya’ dan munkar. Tidak selamanya yang tidak baik itu tidak perlu. Zev301213