Selasa, 12 November 2013

Islam dan Pacaran


Satu kalimat simpel yang sampai sekarang masih saya ingat dari Bapak Muhdlir: saya memperbolehkan pacaran, tetapi saya mencegah maksiat. Jika dipikir sedikit objektif, hal itu bukan hanya mungkin tapi sangat mungkin. Pacaran tidak diperbolehkan karena ditakutkan yang bersangkutan tidak bisa menahan diri dan lepas kendali, maksiat. Akan tetapi jika seseorang bisa menahan diri dari maksiat atau berhubungan badan, maka pacaran bukanlah larangan. Dengan demikian, berbasis alasan itu saya sepakat dengan pendapat beliau.
Namun, satu hal yang saya kurang sependapat, bukan karena pemikiran beliau, namun pembahasaan beliau. Adalah tentang basis beliau yang mengutip ayat-ayat Yusuf dalam surat Yusuf. Beliau dengan sangat yakin menyimpulkan—entah secara bebas atau terbatas—bahwa pacaran pranikah itu diperbolehkan dalam Islam dengan mengutip ayat yang menjelaskan tentang betapa menggebunya Zulaikho maupun Yusuf dengan cintanya masing-masing. Zulaikho mencintai Yusuf, Yusuf pun mencintai Zulaikho. Keduanya saling mencintai. Dan jika ada sebuah cinta yang telah menyangkutkan dua hati, pasti sebelumnya mereka sudah mengalami momen-momen tertentu—beliau menyebutnya proses—dan di titik inilah, saya memandangnya beliau mulai yakin kalau mereka pasti berpacaran. Yusuf mencintai wanita yang sudah bersuami dengan tanpa satupun teguran didapat dan sayangnya, Zulaikho juga mencintainya.
Selain itu, di ayat sebelumnya (12:23) yang tertulis—dan Zulaikho menutup pintu-pintu—jika dipahami lebih dalam, potongan ayat tersebut ada bukan tanpa alasan. Konteks menutup pintu itu bergaul akrab dengan konteks ajakan. Jadi, secara tersirat ayat tersebut menggambarkan sebuah proses ajakan terlebih dulu sebelum puncak momen terjadi. Dan ternyata kenyataannya, Yusuf menerima ajakan tersebut—boleh jadi inilah salah satu bukti kalau mereka telah berproses lama dalam memupuk cintanya—dan zulaikho menutup semua pintunya. Dengan demikian, jika memang di antara mereka belum pernah ada momen-momen yang mengawali, boleh jadi potongan ayat tersebut tidak akan pernah ada.
Dari semua paragraf di atas, satu hal yang bagi saya kurang tepat. Namun untuk kali kesekiannya saya masih buta: apakah yang tidak tepat ungkapan Bapak Muhdlir atau teman-teman sekelas saya? entahlah, yang pasti, dalam pandangan saya, sebenarnya yang lebih cocok itu adalah Mencintai secara menggebu itu tidak dilarang dalam Islam. Seseorang bisa mencintai dengan sangat karena salah satu alasannya adalah adanya respon positif dari seseorang yang dicintainya. Begitu juga dengan Yusuf, Yusuf dikata menggebu karena dia mengetahui kalau Zulaikho juga mencintainya. Dan mengenai redaksi kata yang dipakai Bapak Muhdlir, saya kira itu juga sudah tepat. Pacaran dalam KBBI tidak mengandung satupun arti yang bergaul dengan maksiat. Dengan demikian, Hipotesis saya: titik perbedaan pandangan Bapak Muhdlir dengan teman-teman saya adalah hanya berkutat pada bagaimana mereka memandang arti sebuah pacaran. Pacaran dalam Islam diperbolehkan kok, not as taaruf but as something else.zev121113


Tidak ada komentar:

Posting Komentar