Selasa, 12 November 2013

Kontrakan, Muharrom, dan Islam (Konsekuensi Ekspresi dari Konsep Islam Bapak Abdurrohman Wahid)


Ada tiga pertanyaan yang membuat saya menulis catatan ini, yaitu: apa guna kita menggembor-gemborkan untuk bersama-sama memanjatkan doa awal dan akhir tahun baru Hijiriyah, kalau untuk mencuci piring sehabis makan saja tidak mau, untuk membersihkan kamar mandi seminggu sekali saja tidak mau, bahkan untuk sekedar mem buang abu dan bekas rokok di asbak saja tidak mau. Apakah Islam agama harapan saja? Ataukah sebatas agama ritual? Sebenarnya pemahamanku akan islam yang salah atau mereka? Atau justru Islamlah yang jahat? Waktu saya tersita 16 jam untuk merenungkan efek dari semua tanda Tanya itu.
Dalam satu hal, Islam itu memang sangat subjektif: tergantung pikiran masing-masing pemeluknya. Saya mengutip pendapatnya Bapak Afdawaiza mengenai salah satu alasan golongan Tradisional dalam ranah Ushul Fiqh yang membantah teori rasionya orang-orang Rasionalis. Bantahan itu cukup menggetarkan kaum Rasionalis yang sebelumnya memandang bahwa akal itu sangat objektif. Dan dalam hal ini saya mengamini pendapat kelompok yang pertama; akal manusia tidak mungkin  bisa objektif. Karena entitas yang memiliki akal bukan hanya seorang, tetapi banyak orang. Sehingga dari pluralnya pemilik akal tidak cocok jika semuanya bisa searah dan runtut. Pasti di antara mereka ada perbedaan. Dan di titik inilah kaum tradisionalis unggul 1—0 daripada kaum Rasionalis.
Jika saya sambungkan dengan paragraf pertama, meskipun Islam tergantung dari siapa pemeluknya, maka setidaknya mereka tidak lupa dengan konsekuensi dari subjektifitas islam mereka. Dan tadi sore ketika teman-teman mengajak rada memaksa saya untuk doa bersama awal dan akhir tahun; saya berfikir sejenak: apakah dengan sekedar doa bersama suasana rumah yang berantakan ini akan bersih dengan sendirinya. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan susulan satu-persatu menggerebek pikiran saya (seperti di paragraph pertama). Hal itu tidak akan terjadi, andai mereka bertanggung jawab dengan Islam yang telah mereka pilih sendiri, dalam arti, di samping mereka hanya berharap mereka bertindak, mereka tidak enggan untuk membersihkan rumah, kamar mandi, membuang abu dan bekas rokok di tempatnya, dan sekedar mencuci piring selepas makan karena hanya dengan itulah Islam mereka bisa menjadi Islam yang bermanfaat untuk orang lain: rohmatan lil alamin. Sekali lagi saya katakan: setiap kita memilih islam kita sendiri, di dalamnya ada konsekuensi logis tempat kita bisa melihat islam yang paling benar di antara Islam saya, Islam dia, Islam mereka, Islam kita, dan Islam kamu. Saya menyebut ini sebagai konsekuensi ekspresi.

Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan: dalam kehidupan kecil saya dengan teman-teman yang seagama saja, keegoisan dalam beragama sangat berpotensi memicu adanya konflik. Seakan Islam sangat jahat karena telah memaksa seseorang untuk taat kepadanya dan melupakan wilayah lainnya tempat seorang tadi bisa membuat nyaman orang-orang di sekitarnya. Padahal Islam bukanlah demikian. Ketika saya berbicara tentang Islam saya, Islam kamu, Islam dia, Islam kita dan Islam mereka, maka itu bukan saatnya untuk membahas seberapa dalam kita berbuat baik kepada Tuhan, namun seberapa banyak kita berbuat baik kepada sesama. Dan saya berharap melalui zona kecil ini, miniatur Islam yang menebar senyum bisa membumi di antara saya, dia, dan mereka. Zev051113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar