Kamis, 03 Oktober 2013

Bisa Jadi


Perkembangan bahasa populer hampir setiap bulan berganti. Satu waktu ada satu bahasa yang sebelumnya tidak pernah ada, berjejal di media, lebih-lebih di jejaring sosial. Bisa jadi, jejaring sosial inilah sebagai iklan pertama Arus istimewa semakin dinamisnya perkembangan bahasa populer di Indonesia.
Salah satunya adalah yang tertulis sebagai judul catatan ini. Baru-baru ini kata “bisa jadi” marak dicelotehkan disetiap sudut kampus-kampus di Jogjakarta. Dalam hukum kebahasaan, tidaklah salah jika seorang dosenpun menggunakan istilah itu dalam mentransfer ilmunya. Demikian pula dengan penulisan ilmiah. Justru bisa juga dengan bahasa itu, penulis tertentu bisa mengungkapkan kenetralannya akan sebuah topik. Sama halnya dengan kata-kata yang pernah populer sebelumnya, “saya kira itu dan seperti itu”.
Dalam pendekatan tematik, kata “bisa jadi” adalah ekspresi apa adanya seseorang untuk menghargai sebuah pendapat yang sesungguhnya tidak disetujui. Seperti halnya ketika seseorang ingin menolak suatu pendapat, tetapi takut untuk menyinggungnya sehingga butuh basa-basi. Dan inilah yang dimaksudkan dengan basa-basi tadi. Satu kalimat “bisa jadi”, sudah melibatkan basa-basi yang tersopan dan tersimpel. Ketika kata itu terucapkan, secara tidak langsung, yang bersangkutan berada pada zona moderat: tidak terlalu mengunggulkan pendapat sendiri atau pendapat orang lain. Satu kata yang simpel, tetapi bermakna.
Begitu pula ketika dalam keadaan darurat, kata “bisa jadi” dapat dijadikan perisai yang lentur. Jika dalam ketidaksengajaan, ternyata seseorang tidak memahami sama sekali apa yang disampaikan rekan bicaranya, seseorang tadi bisa langsung memanfaat istilah tersebut. Sehingga di mata rekan bicaranya, seolah seseorang tadi mendengarkannya dengan seksama, kemudian memberikan tanggapan yang sungguh menenangkan hatinya. Istilah “bisa jadi”, secara implisit dipungkiri atau tidak, terbukti dapat melegitimasi pendapat orang lain, meski tidak sepenuhnya.
Pun, ketika diandaikan dalam alam praksis: alangkah indahnya Islam, jika bisa menemukan hard core dari istilah tersebut. Selama ini, dalam berbagai pengamatan, semua konflik yang terjadi selama ini, berbasis pada tidak adanya toleransi. Tidak ada yang mau mengalah untuk menang, sehingga yang ada hanyalah menantang untuk kalah. Dengan demikian, poin yang diperlukan adalah sebatas konsep istilah “bisa jadi”.

Dalam ranah antar agama sekalipun, ketika core dari istilah ini bisa terkover atau terbahasakan secara rapi dan sopan, pluralitas keberagamaan di Indonesia pasti akan tampak rukun dan nyaman. Saat ditanya tentang kebenaran salah satu agama, dengan tanpa ragu untuk melakukan distorsi, seseorang bisa bilang “bisa jadi”.zev.031013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar