Rabu, 02 Oktober 2013

Andai Muhammad menjadi Adam



Sepanjang hari ini, bisa dikata adalah hari baik buat saya. saya merasa telah memiliki sesuatu yang dulu tidak saya miliki. Ada kesetian baru, ada teman baru, ada telinga baru, dan ada kebahagiaan baru. Sepanjang sore ini, saya habiskan menemani Cio, teman yang akhir-akhir ini cukup dekat dengan saya.
Bertempat di Mato, kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sederhana, tetapi menarik. Darinya, kami bisa menyimpulkan: segala sesuatu itu akan baik-baik saja atau bahkan sangat baik jika inti dari sesuatu yang kami harapkan itu sudah ada di dalamnya. Sekali lagi saya katakan adalah inti dari sesuatu yang diharapkan. Konkritnya adalah mengenai pacaran. Apa yang dikatakan Anang di kelas malamnya tidaklah meleset: apa gunanya kita punya pacar, tetapi kita masih saja kesepian, kita masih saja tak punya sandaran, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ketika kita sudah bisa merasa tenang, nyaman, tidak sendiri, dan mempunyai sandaran tanpa adanya pacar, itu berarti kita sudah mendapatkan inti dari sesuatu yang diharapkan. Dan mungkin inilah salah satu alasan kenapa seseorang bisa bertahan dalam kejombloannya.
Paralel dengan itu, saya dibuat berfikir sejenak. Saya teringat tentang penjelasan dosen Teologi saya. sampai saat ini, saya masih belum puas dengan jawaban akhir dari beliau. Beliau menyimpulkan kalau keadaan spiritual para nabi sebelum islam terbukukan adalah sama dengan paska islam lahir. Meski mereka belum mengenal konsep islam secara teoritis seperti halnya hari ini, mereka sudah bisa mendapatkan dan mengaplikasikan inti-inti dari konsep islam. Mereka bermain keintian. Dan memang, kalau demi alasan untuk menghormati mereka semua sebagai nabi, alasan itulah yang paling tepat. Amaliyah-amaliyah para nabi sebelum Muhammad sudah mengandung inti ajaran islam.
Utopia saya menjalar ke nalar naif kesadaran saya. Ada tanda tanya besar dalam benak: dari pada para nabi-nabi sebelum islam datang hanya menikmati intinya saja, kenapa tidak sekalian Muhammad saja yang dijadikan nabi pertama. Dan berangkat dari pikiran itu, andai memang Muhammad dan ajaran Islamnya benar-benar ada di awal, menempati posisi adam dengan ketidakjelasannya, bisa jadi, kondisi Islam tidak seperti ini. Minimal sejarah tentang Muhammad tidak melulu dominan dengan kesengsaraan. Karena sesuatu yang ada di awal banyak kemungkinan akan menjadi mayoritas di masa-masa setelahnya. Meskipun toh sekarang islam adalah mayoritas, pasti sedikitnya ada perbedaan.
Dan jika saya mix antara keduanya, ada satu kesimpulan. Mendapat inti dari sesuatu yang diharapkan itu berada di posisi yang lebih baik dari pada kita mendapat bentuknya, tetapi jauh dari inti akannya. Tanpa harus merasakan bentuk formalnya pun, kita bisa menikmati main taste yang terkandung di dalamnya.
Seperti halnya ketika kita menganggap agama selain islam tidak benar. Kita tidak perlu untuk mencoba agama itu dulu sebelum menyimpulkannya. Cukup dengan menangkap inti darinya sehingga kita bisa mengerti agama mana yang cocok buat kita. Berbeda dengan ketika kita ingin menyimpulkan kalau garam itu asin. Kita perlu untuk mencobanya, sebelum menyimpulkan itu. Bisa dibayangkan jika agama seperti garam tadi. Agama kristen pasti ramai peminat.zev.021013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar