Minggu, 29 Desember 2013

Bismillah, Pembukaan Ayat, dan Makna Termaksud


          Sebelum membahas lebih lanjut, beberapa persoalan bersarang dalam otak saya. Adalah tentang bagaimana mungkin satu kalimat singkat: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, bisa menempati tempat satu kalimat Quran yang paling sering disebut setelah suatu kalimat lain yang ada di surat Ar-Rahman. Mengenai hal itu, sulit untuk dipercaya jika tiada sesuatu apapun yang tersirat di dalam tragedi nyata ini.
Menggunakan pendekatan bahasa, sebenarnya sudah jelas sekali bagaimana harusnya satu kalimat itu dipahami dan diaplikasikan. Akan tetapi, tidak tahu juga, seakan, pandangan mayoritas muslim akan bismillah sempit sekali. Kebanyakan, satu kalimat ini dipandang sebagai suatu cara. Iya, sebatas cara atau teori dan bukan untuk diaplikasikan, yaitu cara untuk mendapat sesuatu secara lebih dan hal itu lebih dominan bermanfaat hanya untuk dirinya sendiri. Dalam hal makan misalnya, kebanyakan kabar, selama ini seseorang harus membaca kalimat itu terlebih dahulu jika ingin barakah dan konon katanya agar makannya cepat kenyang.
Dalam contoh tersebut, bismillah dipandang hanya sebagai stimulus dan cara. Cara bagaimana seseorang bisa mendapat suatu kepuasan yang lebih dengan membaca itu. Dan juga sebaliknya, jika seseorang tidak membaca bismillah di awal kali makan, maka dalam proses makan tersebut yang bersangkutan sulit untuk merasa kenyang dan selalu ingin tambah karena tidak barokah. Kira-kira seperti itulah bagaimana mayoritas muslim memandang satu kalimat penting ini. Mereka lebih mengandalkan keyakinan mereka yang egois dalam memahami bismillah.
Padahal, jika kita amati lebih pelan dan aplikasikan dengan suatu persoalan sosial yang konkrit, maka ada garis pembeda yang membentang di antara keduanya. Dan itu terletak pada bagaimana kita memandang kata ar-rohman dan ar-rohim di dalam kalimat tersebut. Saya yakin sekali, bahwa kebanyakan muslim mengetahui makna dari dua lafadz itu. Minimal, mereka pasti sering membaca terjemah bismillah yang jamak kita temui tertempel di pintu-pintu rumah mereka. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, kira-kira itulah artinya. Di dalam bismillah sampai sekarang—yang saya tahu—tidak pernah ada sesuatu yang menghususkan kalimat itu. Dalam arti, apakah itu hanya berlaku dengan kedaan tertentu atu tidak. Jadi, kedua hal itu bisa diberlakukan di semua aspek kehidupan tanpa terkecuali meskipun juga dengan orang-orang nonmuslim.
Selanjutnya, lebih fokus kepada aplikasi, kalau memang kalimat tersebut sanggup untuk diaplikasikan, kemungkinan terbanyaknya adalah penurunan jumlah pandangan yang mengklaim bahwa Islam itu rumit. Hal itu bisa dibuktikan dengan waktu sholat yang sering membuat seseorang tertuntut dan terbebani untuk selalu melakukannya tepat waktu. Dalam arti, selama ini, sholat banyak dipandang sebagai suatu ritus yang lebih baik jika dilakukan langsung selepas adzan dari pada di penghujungnya, sehingga bagaimanapun juga psikologi seseorang akan merasa terbebani jika dia tidak bisa melakukannya di awal waktunya. Padahal, sholat itu bagaimanapun juga—baik dilakukan selepas adzan tepat atau di penghujung waktunya—pasti akan berpotensi sama: sama-sama baiknya dan tidak ada istilah lebih baik jika memang di waktu yang sama, yang bersangkutan masih terlibat suatu persoalan dengan orang lain.

Dengan demikian, singkatnya, dengan memahami bismillah secara berbeda, seseorang bisa lebih mengutamakan orang lain—dengan tidak meninggalkan dulu dalam sebuah persoalan yang penting—dari pada harus meninggalkannya untuk bisa sholat di waktu yang lebih baik. Semua waktu sholat—dalam keadaan tertentu—tidak mengandung istilah lebih baik, semuanya sama karena memang Tuhan adalah maha pengertian, maha penyayang, dan maha pengasih: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi.zev281213    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar