Minggu, 22 Desember 2013

Hari Jumat, Hujan, Masjid, dan Kampus


            Hari ini Jumat, pukul dua belas lebih sedikit, namun di waktu yang sangat mepet untuk hanya sekedar berangkat ke masjid saja itu, banyak mahasiswa masih terlihat santai sekali di kantin. Dan beruntungnya saya terlibat di dalamnya bersama Aqil dan Mukthi. Di waktu yang sama, hal itu membuat saya sejenak berfikiri hebat. Pertama: apakah bakso yang barusan saya pesan di waktu itu adalah bakso yang halal secara eksternal mengetahui saya membelinya tepat di saat orang-orang sedang asyik mendengarkan khutbah? Entahlah. Kedua: apakah memang benar, jika saya harus resah dengan keputusan untuk tidak mengikuti sholat jumat? Entahlah.
            Selepas dua puluh empat jam, untuk persoalan yang kedua, seolah saya kembali berdialog dengan-Nya. Iya, hal itu adalah satu lagi pencerahan dari Bapak Muhdlir: salah satu hadist yang menjelaskan mengenai redaksi adzan ketika sedang hujan yang sangat berbeda dan tidak pernah terdengar sebelumnya. Adalah redaksi kalimat: sollu fi buyutikum, sholatlah di rumah kalian masing-masing. Tanpa dijelaskan pun, itu sudah jelas bahwa dalam keadaan tertentu, sholat di rumah lebih dianjurkan daripada harus berjalan menerobos hujan untuk pergi ke masjid. Sehingga jika hadist itu dihubungkan dengan keresahan saya dua empat jam sebelumnya, maka keduanya bertemu: tidak ada alasan untuk resah. Hujan adalah berkah dan anugerah.
Masih berkenaan dengan itu, dari hadist tersebut tersirat bahwa memang muadzin ketika itu disuruh Rasul untuk menggantikan redaksi adzan yang mulanya hayya ala as-sholah menjadi sollu fi buyutikum. Darinya muncul satu kemungkinan terbesar: Islam tidak ingin merepotkan umatnya. Karena ketika perihal itu tidak disampaikan nabi, maka bagaimanapun juga orang-orang islam akan tetap menerobos hujan dan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Akan tetapi jika itu diamati lebih dalam, seseorang akan cenderung lebih nyaman berada di rumah untuk sholat daripada berangkat ke masjid karena basah, hujan, dan dingin pastinya. Dan di titik inilah tujuan penggantian redaksi adzan itu muncul: untuk membuat nyaman umatnya. Akan tetapi, tidak diketahui juga, hal itu akan begitu kontroversial jika diterapkan hari ini, entahlah.
Kemudian, mengenai perihal pertama—akad jual beli di siang jumat yang hujan—dengan memahami konteks adanya larangan itu, boleh jadi, larangan itu akan gugur seiring dengan adanya dispensasi untuk tidak sholat jumat. Tujuan adanya larangan itu adalah supaya antara penjual dan pembeli bergegas sholat jumat dan meninggalkan dunianya terlebih dahulu, sehingga jika sholat jumat—yang notabenya adalah sebagai alasan utama dianjurkannya mereka bergegas—itu sudah bisa digantikan dengan sholat dhuhur di rumah masing-masing, maka otomatis tujuan dari adanya larangan itu sudah gugur. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk melarang hal itu dijalankan. Akan tetapi, entahlah. Zev221213


Tidak ada komentar:

Posting Komentar