Selasa, 31 Desember 2013

Recomended sin practice in Quran (upaya memahami ayat inna as-solata tanha ani al-fahsya’i wa al-munkari)


          Rasa memang tidak pernah bohong, sepertinya jargon itulah yang paling sesuai untuk mendukung beberapa kesimpulan yang kontroversial akhir-akhir ini. Salah satunya adalah tentang kesimpulan yang menyatakan: semua agama itu harus dicoba terlebih dahulu sebelum seseorang mengatakan kalau hanya agamanya yang benar sedangkan yang lainnya tidak. Begitu juga dengan rasa, rasa bisa diklaim mempunyai rasa tertentu dan tidak bohong jika ada seseorang yang sudah mencicipinya, begitu juga sebaliknya: ketika itu tidak dicicipi, maka hanyalah kebodohan untuk mengatakan hal terkait memiliki sebuah rasa tertentu sehingga itu berpotensi sekali untuk melahirkan banyak kebohongan. Dengan demikian, sebuah rasa memang akan selalu jujur dengan syarat: harus dicicipi.  
          Tidak berbeda dengan itu, adalah tentang pupusnya kemunkaran dan ketidakbaikan seseorang selepas menjalankan sholat. Seseorang yang telah menunaikan sholat idealnya mereka akan sulit untuk melaksanakan kedua hal itu. Akan tetapi, kenyatannya, hal tersebut masih saja dirasa hanyalah cerita-cerita bohongan saja karena memang sangat jarang sekali seseorang bisa merasakan dampaknya. Dalam arti, meskipun mereka sholat, tetap saja kedua hal tersebut sulit untuk dihindari. Dan di titik inilah muncul sebuah permasalahan: apakah ayat terkait yang bohong ataukah kita yang bohong?
          Dan dari pertanyaan tersebut, sudah pasti jawabannya adalah kita yang bohong. Namun, mengapa hal itu sampai membuat kita bohong, padahal kita sudah sholat dan berdoa, apakah untuk memahami satu ayat ini sholat saja kurang? Jawabannya jelas: kurang. Dan kekurangan itu bukan hanya mengenai bagaimana kita harus sholat sekhusyuk mungkin, tidak. Akan tetapi hal itu lebih mengarah kepada persoalan pengalaman. Iya, pengalaman untuk mencoba.
          Lebih dalam lagi, sebagaimana satu jargon di paragraf pertama tadi, seseorang bisa merasakan secara langsung manfaat sholat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar jika dia sudah terlibat di dalamnya atau telah mencobanya. Sehingga, di saat seseorang telah terlibat di dalamnya kemudian menunaikan sholat, sedikitnya, pasti yang bersangkutan merasakan sesuatu yang berbeda karena dia membandingkan: membandingkan antara keadaan menjadi seorang yang terbebas dari perbuatan keji dengan keadaan ketika dia terbebas darinya. Minimal, hal itu bisa memunculkan sekat antara bagaimana rasanya menjadi A dan bagaimana menjadi B. Dan itu berbeda dengan keadaan seseorang yang tidak pernah mencoba untuk maksiat, banyak kemungkinan, mereka tidak akan bisa merasakan dampak dari sholat karena mereka hanya merasakan A saja, tidak pernah B. Logisnya, bagaimana hal itu bisa dibandingkan jika sesuatu yang dibandingkan tidak ada. Dengan demikian, sepertinya, untuk memahami ayat tersebut secara total, seseorang dianjurkan untuk mencoba fahsya’ dan munkar. Tidak selamanya yang tidak baik itu tidak perlu. Zev301213

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar