Hari jumat adalah hari yang paling
layu dalam minggu-minggu saya biasanya. Ya, kebiasaan saya di pondok memang
begitu: jumat adalah hari yang melelahkan. Akan tetapi semenjak saya membumi
dengan Jogja, jumat masih terasa biru. Saya semangat sekali hari ini. Bapak
Zuhri menerangkan resume 12 pertemuan yang akan kita jajal besok. Saya suka
ketuhanan.
Dari resume singkat, yang bapak Zuhri
paparkan, saya masih merasa belum penuh tentang kesimpulan beliau yang
mengatakan bahwa untuk sampai pada Allah itu ada yang tanpa perantara syariat.
Padahal setahu saya untuk mencapai maqom ma’rifat itu seseorang harus menguasai
syariat dan hakikat dulu baru ma’rifat. Sebenarnya, tadi secara singkat beliu
sudah menjelaskan alasannya kenapa hal ini bisa dilakukan namun kayaknya bahasa
yang dipakai masih terlalu asing di telinga saya. Saya tidak bisa memahaminya
secara penuh. Dan saya kira, untuk pertemuan kedua ini tidak masalah lah.
Dalam bukunya Muhammad Muhibuddin:
kata-kata terakhir tokoh-tokoh dunia, tertulis dengan jelas sekali bahwa
Socrates sering mendapat intuisi. Dan intuisi itu membawanya pada sebuah
keyakinan tentang suatu keesaan, ada satu elemen yang berada di atas semuanya.
Saya mengatakannya, sejak itu Socrates telah berdialog dengan Tuhan, lewat
intuisinya.
Menurut pengantar filsafatnya Bapak
Jujun, saya juga pernah membaca kalau intuisi adalah puncak dari filsafat. Ada
juga yang mengatakan, intuisi yang berbasis itu setara dengan wahyu, dan bahkan
intuisi sendiri itu adalah wahyu.
Sehingga hipotesis saya: tidak salah
jika dikatakan Socrates dulu telah menemukan Tuhannya. Konsepsi Allah pada masa
itu belumlah ada. Intuisi Socrates yang dominan pada keesaan Tuhan itu sudah
luar biasa. Dan mungkin inilah gambaran konkrit dari penjelasan bapak Zuhri
tadi. Seseorang bisa sampai pada Tuhan tanpa nabi, quran, wahyu, dan bahkan
tanpa syariat. Meski saya tahu ini tidak bisa dipukul rata, setidaknya dengan
berlandas pada pemikiran dan intuisi (dzauq) saja seorang bisa sampai pada
Tuhan. Bapak Zuhri juga menyebut para sufi juga bagian dari mereka yang
berbasis pada kekuatan dzauq (intuisi).
Dan saya yakin, andai Socrates hidup
di zaman kita, pasti sekarang dia sedang bersaing dengan Bapak Quraish dalam berlomba-lomba
menelorkan karya-karya tentang pemahaman Quran secara kontemporer.zev.130913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar