Pertama saya membaca kembali judul di atas, saya
merasa kalau itu terlalu berat pembahasannya. Akan tetapi, saya juga tidak tahu
kenapa saya masih saja ingin menuliskannya. Saya terinspirasi satu judul
tulisannya bapak Dahlan di Manufacturing Hope Jawa Pos tadi pagi: yang
sulit-sulit bisa, yang mudah sulit. Iya, judul itu sangat menarik hati saya.
Saya kali pertama terinsiprasi menulis catatan ini
adalah karena pengalaman teman-temanku yang sering sekali saya menjadi
pendengar setia mereka. Hampir setiap malam mereka pasti share cerita tentang
kisah cinta masing-masing. Dan dari semuanya, saya bisa menyimpulkan kalau
ternyata cinta itu bisa tumbuh seiring dengan berjalannya hubungan. Dalam arti,
mayoritas dari mereka menjalin hubungan itu hanya berasaskan coba-coba. Dan dalam
hal ini sepertinya konsep klasik perjodohan
mendapatkan dukungan. Perjodohan itu hanya mengandalkan cinta yang
tumbuh karena keadaan. Keadaan yang memaksa seseorang untuk apa adanya menerima
seseorang yang dijodohkannya tadi. Dan pastinya untuk menumbuhkan perasaan tadi
semuanya membutuhkan waktu. Berbeda dengan sebuah hubungan yang dari pertama
memang sudah berbasis kasih dan sayang. Dari keduanya, saya dominan pada yang
terakhir. Cinta itu harus berawal dulu, harus mempunyai sebab, dan kita tahu
sebab itu. Sehingga terkesan kita bukanlah korban dari keadaan maupun kondisi.
Di pagi tadi, saat saya lari pagi, seperti
biasanya, saya teringat kembali tentang perjodohan itu. saya berfikir: kayaknya
permasalahan ini tidak jauh beda dengan tanda tanya besar saya tentang islam
turunan kemaren. Di mata saya, hampir semua muslim di Indonesia adalah islam
turunan. Mereka beragama islam bukan karena keinginan mereka sendiri. Saya
mengatakannya mereka semua termasuk saya adalah korban perjodohan oleh orangtua
kita. Perjodohan dengan islam. Kita dijodohkan dengan islam. Terlepas dari
anugerah, jika saya kaitkan dengan paragraf sebelum ini, selamanya kita akan
terus menjadi korban perjodohan. Setidaknya kita harus mencari tahu: apakah memang
jodoh kita ini usai menjadi yang terbaik buat kita atau belum.
Sebenarnya hal ini sangat remeh dan bahkan mudah
untuk dipatahkan dengan alasan lainnya. Salah satunya adalah hipotesis
teman-teman saya saat diskusi di kelas bahasa kemaren. Pendapat yang
mendominasi hanya berputar-putar dalam wilayah keyakinan. “itu adalah ranah
keyakinan kita masing-masing. Dan itu bukan untuk diperdebatkan”, kata salah
satu anggota diskusi. Ada juga yang lebih ekstrim: itu hanya membawa kita pada
dinding kemurtadan. Sangat ekstrim bagi saya.
Dalam benak saya, di tahun 2013 ini dikotomi
antara urusan agama dengan umum tidak hanya perlu dihapus dalam wilayah
legalitas formal kenegaraan saja. Dalam wilayah hati dan pemikiran juga perlu
dihapus. Saya teringat materi yang disampaikan Bapak Hidayat Nur tadi pagi.
Beliau mengutip pendapatnya Glock dan Stark mengenai 5 dimensi keagamaan. Dari
kelima dimensi itu tercantum dimensi keyakinan dan pengetahuan. Dalam pemahaman
yang saya tangkap, Glock dan Stark berusaha untuk menyinambungkan antara ilmu
dan agama, antara keyakinan dan pengetahuan.
Iya, sekarang sudah saatnya kita mengaitkan antara
keduanya. Agama tidak lagi seperti dalam filsafatnya Bapak Jujun: bermula dari
keyakinan, dikaji, dan baru keraguan atau kembali pada keyakinan yang berbeda,
tidak. Namun agama harus di dasari dulu dengan keraguan, kita kaji, dan baru
kita bisa yakin apakah itu memang jodoh yang terbaik buat kita atau sebaliknya.
Dalam hal ini Bapak H.A. Mukti Ali: mantan Rektor
UIN SUKA, turut mengamini pendapatnya Glock dan Stark tadi. Bahkan dalam bukunya, beliau menuliskan lebih
detail. Beliau menyebutnya sebagai konsep sintesis.
Beliau mengemukakan metodenya tentang bagaimana caranya mempelajari agama.
Beberapa sifat terpenting dalam agama adalah doktriner dan scientivic. Antara
keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda: antara sesuatu yang masuk akal
dan tidak masuk akal. Dan di sinilah poin penting dari konsep sintesis milik
bapak Mukti Ali tadi. Beliau mencoba untuk memadukan keduanya. Sehingga agama
tidak dipandang cukup terlibat dalam wilayah keyakinan saja tapi dalam wilayah
pengetahuan juga perlu terlibat.
Dan kalau sudah begitu, ketika kita tahu bahwa
islamnya mayoritas muslim Indonesia hanya berbasis pada perjodohan oleh
orangtua masing-masing individu, saya kira, kita perlu untuk kembali mengislamkan
sejarah islam kita. Meskipun toh tanpanya kita akan baik-baik saja, setidaknya
melalui kajian ulang tentang keislaman kita, kita akan lebih nyaman menjadi
seorang yang beragama. Dan pastinya kita akan lebih mengerti kenapa islamlah
jodoh terbaik buat kita.zev.160913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar