Hari pertama
saya masuk kuliah, saya masuk kelas B. Saya tidak menyesalinya, pada saat test
kebahasaan kemaren saya telat setengah jam, sehingga 25 soal terlewati sudah.
Tapi lumayan meski demikian saya bertemu orang-orang luar biasa di sini:
Alfaiz, Jawes, dan satu lagi lupa saya siapa namanya. Saya akan membumi dengan
mereka ditemani oleh Bapak Ibnu Muhdlir, seorang guru Alfiyah ibnu malik di
pondok Al-Munawwir Krapyak Jogja. Beliau hebat.
Di hari pertama ini, banyak sekali
refleksi yang sebelumnya belum pernah saya temukan. Semuanya baru, termasuk
pola pikir yang barusan saya tangkap oleh teman-teman dan lebihnya oleh bapak
Muhdlir. Refleksi pemikiraan yang bebas, menarik, dan perlu untuk dibahas.
Bapak muhdlir bercerita panjang
lebar mengenai keadaan politik di Timur Tengah sana. Mulai dari masa Presiden
Khadafi, konflik internal Mesir hingga pada Presiden Assad di Suriah. Semuanya
sangat bertentangan dengan Islam sendiri. Mereka membunuh sesama muslim.
Dalam ranah pemikiran saya, meski
konflik seperti itu di mata kita adalah sesuatu yang abmoral dan tidak
berperikemanusiaan, belum tentu di mata mereka sama dengan apa yang kita
pikirkan. Kejadian ini tidak terlepas dari sisi sejarah dari bangsa Timur
Tengah. Saya teringat salah satu buku yang pernah diceritakan Al kepada saya:
Kholifah Islam. Buku ini terdiri dari 4 jilid tebal-tebal. Semuanya
menceritakan detail tentang 4 pemimpin istimewa Islam. Di dalamnya saya
menemukan sesuatu yang awalnya ganjil dalam benak saya. Abu bakar adalah seorang
pembunuh, beliau memerangi sesama muslim yang tidak mau membayar zkat. Dalam
satu pendapat, kebijakan itu dilakukan demi kemaslahatan umat. Tapi dalam
pendapat lain itu hanyalah permainan politik Abu Bakar saja.
Sejenak, dari sejarah kelam di atas,
tidak salah jika hari ini negara-negara Timur Tengah saling membunuh sesama
muslim. Dengan alasan apapun tetap saja namanya membunuh. Tidak jauh dengan
sejarah kelam para pemimpin Islam yang berbudaya arab dulu.
Dalam bagan lain, menurut saya
tindakan Abu bakar sangat di dominasi oleh keadaan budaya Arab pada saat itu.
Yang mungkin hanya dengan berperang itulah masalah dapat terselesaikan. Islam
saat itu sangat kental dengan budaya Arab, semua yang dilakukan Rosulullah
termasuk para sahabat-sahabatnya juga tidak bisa terlepas dari budaya itu.
Sehingga sedikit-sedikitnya pasti Hadist-hadist yang hingga saat ini masih ada,
itu mengandung sisi budaya arab yang sangat kental.
Budaya Arab dengan budaya Indonesia
sangat berbeda. dan dalam pendekatan ini bapak Muhdlir memberikan pendapat
lainnya yang benar-benar membuat saya merenung. Dan ini masuk pembahasana lain
yang saya dan teman-teman diskusikan kemaren.
Antara rohmatan lil alamin atau
tidak. Iya pertanyaan itu yang menarik. Dan ini membahas tentang poligami.
Dalam
Islam poligami itu boleh. Saya tidak tahu atas alasan apa Quran memperbolehkan
poligami. Alasan budaya arabkah, atau apakah, saya belum mengetahuinya. Yang
pasti di mata pribumi poligami itu sangat tidak rohmatan lil alamin. Tidak ada kebahagiaan bagi korban poligami.
Tidak ada wanita yang mau dimadu. Masyarakat muslimah tidak bahagia dengan
hukum Quran tentang poligami. Lantas, masihkah Islam pantas disebut sebagai rohmatan lil alamin, mengetahui
dampaknya yang merugikan sebagian pihak. Saya tidak tahu.
Selayang
pikir, perbedaan budaya ini sangat memojokkan Islam. Sebenarnya, yang benar itu
apakah Quran yang mengikuti budaya ataukah budaya yang mengikuti Islam. Ini
pernah pula saya diskusikan dengan Bapak Muqsith: dosen saya di Inkafa.
Jawabannya tetap sama bahwa al-Quranlah sumber semua ilmu: budaya itu ikut pada
Quran. Ini masih tidak bisa memuaskan pertanyaan saya. Dalam benak saya, banyak
kenyataan-kenyataan yang membuat saya yang menyimpulkan kalau Quran itu
mengikuti budaya. Lebih tepatnya budaya Arab. Semua hukum-hukum yang ada dalam
al-Quran dominan dengan kultur-kultur di Arab.
Salah
satunya adalah tentang hukum Qisos. Bapak Muhdlir menjelaskan kalau hukum Quran
itu tidak datang secara tiba-tiba. Melainkan sudah pernah diaplikasikan di
masa-masa sebelum Quran membumi. Adalah salah satu bangsa di daerah Arab sekitar
abad ke 5 Masehi. Sederhananya, dalam bahasa saya pra peradaban Arab ada dua
suku yang berdekatan. Sebut saja suku A dan suku B. Jika salah satu anggota
dari suku A membunuh suku B, maka tidak masalah bagi suku B untuk membunuh
balik salah satu dari suku A. Hukum timbal balik mereka pandang sebagai solusi
terbaik. Dan di luar sejarah Quran, sejarah dua suku Arab pra peradaban ini
menurut saya sesuai dengan hukum Qisos dalam Al-Quran. Itu terdapat dalam
bukunya Karel Amstrong: Sejarah Tuhan.
Untuk
kali kesekiannya, saya mengangguk-angguk. Kalau saya pikir bisa juga pendapat
Karl Amstron itu sebagai cerminan Quran sehingga ada hukum Qisos di dalamnya.
Selain itu, yang membuat saya terlena adalah kesimpulan Bapak Muhdlir di awal:
hukum Quran itu tidak datang secara tiba-tiba tapi sesuai dengan sejarah
bangsa-bangsa hebat dahulu.Quran tidak bisa lepas dari sejarah.
Jadi,
dari catatan ini, saya jadi tahu kenapa dalam buku-buku sejarah anak MI yang tertulis
adalah sejarah kebudayaan Arab bukan sejarah kebudayaan Islam. Karena sekilas
memang Islam itu adalah oleh orang Arab, dari orang Arab, dan untuk orang Arab.
Indonesia harus punya Islam yang Indonesia.zev.030913
Oleh
: Muhammad Saifullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar