Salah satu dimensi yang tidak bisa
dipungkiri adalah dimensi sejarah. Sejarah tidak lagi retorika ataupun teori
omong kosong, tetapi bukti nyata sebuah teori di masa lalu yang sudah menyata,
sehingga disebut sebagai sejarah. Apalagi itu berbasis pada satu masterpiece
yang tak diragukan lagi kebenarannya:
Al-Quran. Sudah pasti bagi golongan tertentu itu adalah satu frame nyata yang
perlu untuk kaji dan ditiru. Dalam ilmu tulis-menulis, itu adalah acuan yang
pas untuk dijadikan benchmarking.
Acuan sejarah itu adalah tentang
Ibrahim. Dalam pendekatan teologis, nama Ibrahim berperan urgen dalam membidani
lahirnya disiplin keilmuan ini. Dalam bukunya “Pengantar Studi Tauhid”, bapak
Zuhri menyebutkan ada tiga pilar berdirinya perumusan tentang teologi islam.
Pertama adalah tentang sejarah perjalanan Ibrahim mencari Tuhannya. Banyak
sekali Tuhan-tuhan yang dianggap Ibrahim sebagai Allah. Perenungan panjang
selalu menghiasi hari-hari Ibrahim sebelum akhirnya Ibrahim menemukan siapakah
Allah yang sebenarnya itu. Dia bukanlah matahari, bintang, maupun bulan. Dia
adalah satu-satunya Yang Ada dan mengadakan segala sesuatu yang ada: Allah.
Dalam sekual ini, bisa dibilang filosof
muslim pertama adalah Ibrahim. Penjelasan dalam Al-Quran memang sangat singkat
jika dibandingkan dengan berapa lama pencarian Ibrahim. Dan ketika semua kisah
Ibrahim diejawentahkan bisa jadi melebihi kisah Socrates dan murid-muridnya.
Dalam ayatnya: al-An’am 76-78, dikutip beberapa anasir yang sebelumnya Ibrahim
meyakininya sebagai Tuhan, tetapi tidak. Salah satunya adalah matahari (6.77),
tidak mungkin jika hipotesis Ibrahim tentang matahari sebagai Tuhan itu tanpa
alasan. Ibrahim pasti telah melewati pemikiran, pencarian, perenungan, dan
penelitian secara intens sebelum menentukan kalau matahari adalah Tuhan. Begitu
juga dengan bintang dan bulan. Semuanya mempunyai tahapan-tahapan yang dalam
dan logis.
Dalam bukunya HAMKA: Filsafat
Ketuhanan, iman dalam arti yang sebenarnya bukan hanya meyakini, menerima, dan
melakukan. Akan tetapi dominan pada aksi untuk mencari tahu secara dalam.
Perjalanan akal adalah harga mati dalam dimensi ini. Akal harus dijalankan
hingga menemukan titik pemberhentian. Dan di titik itulah iman akan benar-benar
menjadi iman. Begitu pula dengan Ibrahim, Ibrahim baru menemukan titik
pemberhentian itu selepas berinteraksi langsung dengan alam lewat dimensi
pikirannya.
Titik pemberhentian di sini
dimaksudkan adalah keadaan dimana akal tidak lagi bisa menjangkaunya. Mengapa
ombak berguling? Karena udara. Mengapa udara bergerak? Karena hawa panas. Dari
mana datangnya panas? Karena matahari. Siapa yang meletakkan panas pada
matahari? Tidak ada jawaban. Kira-kira itulah core dari pembahasan ini versi HAMKA.
Di dalam salah satu sekuel
keterangannya al-Ghozali dalam Ihya’nya, beliau menggambarkan bahwa keabstrakan
Allah itu disebabkan oleh ketiadaan bandingan akan-Nya. Matahari dapat
dikatakan sebagai matahari yang mempunyai cahaya yang luar biasa, dikarenakan
adanya malam yang gelap. Sehingga akal manusia bisa menjangkau jika ini dinamakan
cahaya matahari ketika sudah datang gelap. Dan ini disebut gelap jika sudah
terbit matahari. Sederhananya, tidak akan ada putih jika hitam pun tiada. Tuhan
tidak mempunyai bandingan. Jadi, sejauh-jauh akal manusia meraba tetap saja
tidak bisa menjangkaunya. Dan keabstrakannya itulah merupakan wujud Allah yang
nyata. Bisa jadi, perjalanan akal Ibrahim tidak jauh berbeda dengan konsep
al-Ghozali tersebut. Sehingga berhenti pada matahari, Ibrahim menemukan halte
pemikiran: Allah.
Kedua adalah sejarah Muhammad.
Konstruksi pencarian konsep ketuhanan Muhammad berbeda dimensi dengan Ibrahim.
Jika Ibrahim berorientasi dengan pikiran sebagai seorang filsuf, Muhammad
dengan will (kemauan). Dalam dimensi
ini Tuhan tidak lagi intervensi dengan urusan-urusan Muhammad, tetapi terlibat
langsung dengannya. Sehingga upaya Muhammad tidak lagi meyakinkan hati dan
pikirannya sendiri akan Adanya Yang Ada, tetapi bagaimana memasak semua itu
menjadi masakan yang pas dan sesuai dengan selera umat. Dimensi ini tiga kali
lebih sulit dari dimensi sebelumnya. Apalagi objek sasarannya tergolong
kaum-kaum yang sulit untuk mengakui sebuah kebenaran: kaum jahiliyah. Dan
konsekuensi logis dari dimensi ini adalah pengakuan dari pihak lain bahwa yang
membawa konsep ini adalah seorang pahlawan dan seorang pemimpin. Muhammad
adalah pemimpin terhebat sepanjang masa, Michael Hart, penulis “100 Tokoh
Paling Berpengaruh dalam Sejarah”.
Dengan demikian, keislaman seseorang
tanpa adanya pencarian terlebih dahulu akan keislamannya, masih dirasa sangat
kurang. Perlu adanya islamisasi sejarah seseorang menjadi muslim. Semuanya
perlu untuk dipertanyakan, sampai berhenti pada sebuah pemberhentian akal. Dan
kira-kira itulah alasan kenapa Teologi Islam (ketauhidan) lahir menjadi sebuah
disiplin keilmuan yang penting untuk diimplementasikan. Mengutip kesimpulan
al-Kindy: ujung akhir dari ilmu pengetahuan adalah permulaan dari
KEYAKINAN.zev.190913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar