Sudah lama sekali saya merasakan
kecemasan dengan konstruksi seperti ini. Tapi waktu yang lama itu kayaknya
masih belum bisa membuat saya bisa mengungkapkan kecemasan itu dalam bentuk
catatan harian. Saya masih buta akan kosakata yang pas untuk membahasakan
sesuatu yang sampai saat ini masih menyerang pikiran saya.
Dan baru semenjak saya menginjakkan
kaki di UIN Yogyakarta ini, saya mulai menemui banyak sekali pencerahan redaksi
untuk saya tulis. Pertama saya terinsiprasi dengan Pramodya Ananta: salah satu
penulis zaman pra kemerdekaan. Dalam salah satu bukunya dia membahas tentang
pergolakan dalam pikirannya. Sehingga akhirnya Pram menulis sesuatu yang hingga
saat ini masih dikenang dibenak para mahasiswa-mahasiswa muda: mahasiswa itu
harus adil sejak dalam pikiran. Kedua adalah dari Gie. Dari catatan harianya
saya sangat tahu sekali kalau hidupnya juga tidak bisa lepas dari kegelisahan
pikiran yang tak bertepi, hingga maut menjemputnya. Saya bisa mengatakan kedua
manusia hebat ini adalah korban gejolak pikirannya masing-masing.
Saya tidak tahu juga, apakah kecemasan
ini paralel dengan yang mereka cemaskan atau tidak. Yang pasti baru malam ini
saya berani untuk membingkainya menjadi sebuah catatan.
Adalah dari pikiran saya tentang salah
satu teman cewek saya. Saya lupa namanya siapa. Setiap kali saya masuk kelas
dan terlibat di dalamnya dengan teman-teman yang lainnya, dia selalu diam. Saya
bisa merasakan bagaimana sulitnya memahami pelajaran yang tidak kita sukai. Mungkin
dia juga merasakan itu. Dia termenung dalam kesendirian dan kebingungannya. Saya
tidak pernah melihatnya di samperin sama teman-teman sekelas. Saya mengatakan
dia kayaknya mengalami masalah dalam berinteraksi.
Saya dan dia sama-sama membayar untuk
belajar dan mendapatkan kasih sayang dari dosen maupun teman-teman di kampus
ini. Namun, kenapa dengan basis yang sama hasil nyatanya bisa berbeda. Saya prihatin
melihatnya. Dia belum mendapat semua yang telah saya dapat di kampus ini.
Dalam wilayah lain, saya sering
merenung tentang tukang becak yang setiap pagi sampai malam menunggu di pinggir
angkringan tempat saya, Nasikin, Sukran, dan Albab biasa sarapan. Beliau menunggu
sesuatu yang bagi saya sangat tidak pasti: penumpang. Tukang becak itu harus
menghabiskan waktu sebanyak itu setiap harinya untuk menunggu penumpang. Dan hal
itu disebut sebagai pekerjaan di negeri ini.
Di waktu yang sama, saya melihat
banyak sekali mobil-mobil kelas atas, seliweran
ngalor ngidul melewati tukang becak tadi. Sejenak pikir saya: apa yang
membedakan mereka sehingga mereka bisa berbeda jauh. Saya ingin sekali
mengetahui masing-masing kisah hidup keduanya. Apakah pola hidup mereka berbeda
ataukah sama. Siapa di antara mereka yang sering meremehkan waktu. Saya tertarik
untuk mengetahuinya.
Kadang, saya terhanyut dalam kecemasan
saya sendiri. Sehingga kecemesan itu membuat saya balik bertanya pada diri saya
sendiri: apa usahamu untuk mengatasi kecemasan itu. Saya merasa malu, saya
masih belum bisa. Saya hanya mahasiswa baru yang ingin sekali tahu tentang
mereka di saat yang sama ketika dulu mereka seumuran saya. Kecemasan ini tak
bertepi tapi hanya sebatas dalam pikiran.zev.070913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar