Sore
ini saya pertama kali keluar dengan teman perempuan. Keadaan Malioboro sangat
menghibur hati saya, mungkin juga hatinya. Sehari penuh suasana rumah
mewarnaiku hanya dengan satu warna, sore ini penorama sore Jogja memberiku
jutaan warna. Salah satunya adalah warna damai kota ini yang sangat kental.
Berbincang
tentang damai, saya teringat Salah satu kata pengantar dalam bukunya Ibu Irenne
Handono. Intinya, si penulis sangat menyayangkan keadaan dari kaum muslim yang
sangat pasif terhadap teror barat, dalam tanda petik adalah para kaum salib.
Bahkan tidak jarang dari cendekiawan muslim malah mendukung barat. Banyak buku
referrensi pun diambil besar-besaran dari barat. Tersirat, si penulis
menginginkan agar kaum muslim muda, tua, cendekiawan, awam, dan lain sebagainya
bertindak frontal dengan mereka. Jika dihina, balasannya juga harus menghina.
Saya tidak setuju dengan ini.
Mengalah
bukanlah kalah. Kalah pun tidak harus membuat-buat seolah tidak kalah. Hari ini
tidak bisa dipungkiri, dari banyak lini, islam berada di garis kekalahan.
Apalagi dalam bidang intelektual dan riset. Sehingga akan sangat tidak
bijaksana jika kita tidak mengakuinya. Alangkah lebih baiknya jika kita tidak
enggan untuk belajar dari mereka. kita mengalah bukan untuk sekedar kalah, tetapi
mengalah untuk belajar. Dan jika kita dalam pengambilan referrensi dari barat
pun dicerca, akan jadi apa islam.
Menurut
Ibu Irenne, bagaimana pun usaha kita untuk membuat hati diantara kita dengan
mereka damai, itu sangat sulit. Semuanya usai termaktub dalam banyak ayat di
al-Quran salah satunya dalam Ali Imran ayat 118. Minimal kebencian itu ada di
palung hatinya.
Ternyata dibalik kedamaian yang saya
rasakan kentalnya di jalan malioboro tadi, menyimpan banyak sekali misteri.
Pengguna jalan bukan hanya dari muslim, banyak orang-orang asing juga terlihat
berjejal sepanjang jalan malioboro. Jika semua isi hati masing-masing dari
setiap pengguna jalan, baik yang muslim maupun non muslim, dapat terlihat, saya
yakin, keadaan malioboro tidaklah seperti tadi sore. Saya kira itu. Akan lebih
baik jika semua perasaan iri dengki dan lain sebagainya muncul dalam hati kita,
iya cukup dalam hati saja.
Pun, meski dari satu pihak ada yang frontal
tidak harus dihadapi dengan frontal. Adapun mengenai hasil nyatanya adalah
keadaan di sore jalan malioboro tadi. Keadaanya nyaman, satu sama lain bisa
saling merangkul, tanpa harus peduli ada banyak diluar sana yang kehilangan
keluarga, nyawa, darah, dan lainnya hanya karena pernyataan kebencian hati
mereka yang diluapkan secara nyata.
Sepertinya, al-Imam Abdullah bin Alawi
al-Haddad juga pernah memikirkan hal yang sama dengan Ibu Irenne. Kedengkian
mereka tidaklah harus kita lawan secara frontal, sampai-sampai pada pelarangan
belajar dari barat. Semua itu malah mengkerdilkan islam.
Dalam karya hebatnya: ratib al-Attas,
Imam Abdullah, di bagian tawassulnya, dengan jelas menulis ila hadlroti al-muhajir ila allah ahmada ibn isa setelah menyebut
nama muhammad di awalnya. Kenapa harus menggunakan istilah Ahmad bin Isa. Kalau
memang yang dimaksud beliau adalah nabi Muhammad, mengapa tidak Ahmad bin
Abdullah. Saya tidak tahu secara pasti. Hipotesis saya: itulah sastra Imam
Abdullah dalam menghargai umat kristiani. Dengan mensejajarkan antara Nabi
Muhammad dengan Nabi Isa yang bagi mereka adalah Tuhan. Sehingga, bisa jadi
Imam Abdullah sangat mengingkinkan kita untuk tidak balik membenci kaum
kristiani dalam keadaan apapun. Minimal, kebencian itu hanya sebatas benci
dalam hati. Akan tetapi “muslim harus senantiasa belajar dari yang terbaik
untuk menjadi yang terbaik”.zev.210913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar