Bisa dikatakan hari ini pengalaman
saya 80% dari koran. Kuliah di kelas sangat membosankan. Bukan materi dan
dosennya, tetapi cara pentransferannya itu yang sangat monoton. Sehingga
kesimpulan saya: membaca buku sambil minum kopi di kontrak lebih banyak
manfaatnya, baik di hati maupun pikiran.
Saya tertarik sekali dengan opini yang
ditulis salah satu penulis hebat Indonesia yang termuat di Jawa Pos hari ini.
saya lupa siapa namanya. Yang pasti, saya bisa mengatakan yang bersangkutan
adalah penulis berkaliber karena karyanya yang sukses termuat dan terbaca di koran
terbaik Indonesia ini.
Adalah tentang konsep baru pemilihan
pemimpin di Indonesia. Sebagaimana yang saya tangkap, core dari semua itu bermuara pada konsep erasing old electing system. Dikatakan bahwa pemilihan guberbur,
bupati, dan walikota tidak perlu direalisasikan melalui pemilihan umum serentak
oleh semua rakyat yang bersangkutan. Isu itu muncul berbasis pada pengalaman.
Pengalaman yang mayoritas memandang pilkada itu hanya wasting money. Dan solusi yang ditawarkan adalah intervensi
presiden. Presiden berhak memilih siapa gubernur daerah ini atau daerah itu
secara mutlak untuk memimpinnya. Begitu juga untuk bupati atau walikota. Mereka
akan dipilih langsung oleh gubernur terpilih.
Secara singkat, pikiran saya tidak
sejalan dengan konsep miring itu. Pertama, saya mengamini pendapat penulis
tadi: konsep ini masih tidak bisa menghilangkan money politic, yang ada itu bukanlah hilang, tetapi berpindah wilayah
dan yang akan merasakannya hanyalah orang-orang atasan.
Kedua adalah tentang utopia saya sedari
dulu: saya selalu bermimpi Indonesia ini bersih dari kampanye. Tidak ada iklan
sama sekali tentang para calon pemimpin di semua wilayah, mulai dari pemilihan
RT sampai pada pemilihan presiden. Diharapkan semua rakyat tidak ada yang tahu
siapakah calon pemimpin baru mereka. Calon pemimpin baru diketahui ketika sudah
dalam ruang pencoblosan. Otomatis, dalam keadaan seperti itu, nalar manusia
akan dominan pada sesosok yang sudah ia kenal, atau kepada hati nurani
masing-masing. Dari ketidaktahuan, bisa jadi, akan mengulangi sejarah pemilihan
paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia: pemilu 1995.
Sebenarnya tentang bagaimana caranya
agar seseorang bisa menilai calon pemimpinnya, tidak harus melalui kampanye dan
teman-temannya. Perjuangan masing-masing pemimpin perlu diprioritaskan dalam
hal ini. Semua calon pemimpin tidak perlu untuk tahu di nomor berapakah nama
mereka tercantum. Pembentukan panitia tertentu untuk menjaring para calon
pemimpin harus juga dirahasiakan. Semisalnya calon pemimpin yang akan dipilih
terbatas hanya tiga pasangan, panitia harus menyiapkan lima pasangan calon
pemimpin. Dan diantara kelimanya tidak ada yang tahu pasti siapakah yang akan
benar-benar menempati tiga kursi calon pemimpin yang sebenarnya. Dengan
demikian, para pemimpin akan canggung untuk mengeluarkan uang banyak demi
memantik suara rakyat. Di samping rakyat sendiri tidak tahu tentang dia, yang
bersangkutan pasti juga berfikir dua kali untuk bertaruh dalam ketidakpastian. Money politic bisa terkurangi.
Dalam bagan lain, untuk pemimpin yang
terpilih, saya bisa menyebutnya sebagai hasil dari perjuangannya sendiri,
sebagai anugerah, dan sebagai efek positif dari segala pengorbanan yang pernah
dirasakannya silam.
Selayang pikir, jika seseorang
terpilih menjadi pemimpin dengan tanpa adanya pengeluaran yang banyak layaknya
pengalaman-pengalaman sebelumnya, banyak kemungkinan yang bersangkutan akan
enggan untuk memakai uang negara demi kepentingan pribadi. Pemakaian uang
negara atas nama pribadi, korupsi, dan sejenisnya ada karena dampak timbal
balik dari pengeluaran yang selama kampanye dihambur-hamburkan.
Saya terinspirasi oleh mbah Hasyim
Muzadi. Beliau dengan jelas mengatakan: pemimpin sekarang berbasis iklan bukan
perjuangan. Sepanjang jalan saya memikirkan itu. Semuanya paralel dengan utopia
saya yang lama terpendam.zev180913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar