Masih segar dalam
ingatan saya tentang kesimpulan spontan pembina KPMRT Jogjakarta, Bapak Marzuki,
tentang konsepsi bahasa kepemimpinan yang dewasa ini semakin dipopulerkan.
Tidak jarang ditemukan dalam beberapa seminar, acara organisasi, dan
sebagainya, yang menggunakan kata leadership sebagai tema utama ataupun
judul seminar. Tidak ada yang salah dalam hal ini, tetapi secara singkat, semua
itu seakan terlalu mendewakan pemimpin. Dalam ranah pikiran juga, seakan, dari
gejala seperti itu, muncul asumsi bahwa sekarang manusia semuanya ingin sekali
menjadi pemimpin. Dan darinya, satu pertanyaan muncul: kalau semua ingin jadi
pemimpin, siapa yang akan menjadi rakyat.
Paralel dengan itu,
Mbak Hidayah, mahasiswa UGM program pascasarjana, mengajukan apologi atas asumsi
Bapak Marzuki di atas. Kesimpulan baru yang Mbak Hidayah paparkan dalam rapat
KPMRT kemaren ialah pemimpin di situ merupakan pemimpin yang bukan untuk sebuah
formal pemerintahan, namun pemimpin pada diri sendiri. saya pribadi kurang
sependapat dengan Mbak yang barusan saya kenal di acara KPMRT kemaren.
Bagaimanapun juga, jika kepemimpinan sudah dijadikan suatu tema dalam
pentransferan ilmu, pasti sudah terikat dengan formalitas keilmuan dan tendensi
politik. Sederhananya, jika memang makna lain dari materi kepemimpinan adalah
untuk memimpin diri sendiri, maka tidak seharusnya materi tentang kepemimpinan ini diseminarkan apalagi tertulis sebagai keyword utama. Sehingga dari
penempatan kata kepemimpinan serta substansi yang diberi saat seminar, masih
dalam kesepakatan awal: Masyarakat sekarang gila kepemimpinan.
Di wilayah lain sesuatu
yang terkait dalam paragraf di atas adalah ayat Quran yang menyinggung mengenai
penciptaan manusia sebagai kholifah. Sampai malam ini, saya masih memahami
kholifah dalam ayat tersebut adalah sebagai pemimpin. Dan mayoritas pasti
memahaminya juga sebagai pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri bukan
sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini semuanya bisa sepakat.
Namun, dalam
sejarahnya, ketika Tuhan menerapkan konsep demokrasi kali pertamanya dengan
malaikat, mereka malah mengecam kebijakan Tuhan tentang penciptaan Manusia
sebagai kholifah. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah
apakah yang sebenarnya dipermasalahkan malaikat itu, penciptaan manusianya atau
terangkatnya manusia menjadi pemimpin? Toh meski manusia dijadikan sebagai
pemimpin, wilayah yang dipimpin pun tidak sampai menjangkau wilayah malaikat.
Kalau juga karena alasan keprihatinan malaikat akan rusaknya dunia, sejak kapan
malaikat mempunyai rasa prihatin?. Dengan demikian kurang cocok jika dari
penggalan sejarah tentang bentuk protes malaikat tersebut dipahami sebagai
salah satu motivasi kepemimpinan. Seakan, itu lebih condong kepada bentuk
konsepsi demokrasi Tuhan yang berada dalam wilayah kepemimpinan. Sederhananya,
dengan sejarah di atas, bisa jadi, Tuhan menginginkan konsep demokrasi dalam
sebuah kepemimpinan.
Masih dalam satu
pembahasan, saya teringat pemikiran Habermas, saya menemukan suatu kesamaan
tujuan di dalamnya. Itu adalah tentang pengkotakan tujuan: di satu wilayah,
manusia menjadi pemimpin umum, di wilayah lain, sebatas pemimpin diri sendiri.
Dalam teori kritis paradigma barunya, habermas mengubah konsep komunikasi yang
mulanya berbasis pada penaklukan menjadi komunikasi yang berbasis rasio.
Sebelum ada revisi dari Habermas, teori kritis yang berada dalam naungan
Frankfrut—teori kritis lama—yang masih dimotori oleh Merx Horkheimer dan
Theodor Adorno konsep tentang komunikasi manusia itu berbasis pada konsep
penaklukan. Kemudian kunci kendali Frankfrut diambil oleh Habermas dan teori
intinya diubah menjadi teori kritis paradigma baru. Di dalamnya Habermas menjelaskan bahwa salah
satu yang menjadi karakter dasar manusia adalah berkomunikasi atau berinteraksi
dengan sesama secara rasional. Dampak gerakan konsep ini bukan berkutat kepada
dirinya sendiri, tetapi kepada orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian,
mengaca dari paragraf ini, manusia memang terlahir untuk menjadi pemimpin umum,
semuanya berhak menjadi presiden, dan semuanya berhak untuk tidak menjadi
seseorang yang dipimpin. Berbasis pendapat ini dan keluar dari paragraf
sebelumnya: takwil ayat tentang kepemimpinan manusia bisa diartikan sebagai
kepemimpinan formal.
Pengkotakan Habermas
yang lainnya adalah sifat dasar manusia untuk bekerja. Di wilayah ini, manusia
lebih mengedepankan egonya. Dan di bagian inilah manusia mempunyai tuntutan
untuk memenuhi dirinya sendiri, memikirkan kehidupannya, sendiri, dan bekerja
untuk dirinya sendiri. Jika dihubungkan dengan takwil ayat di atas, kata
kholifah lebih cocok dipahami sebagai pemimpin yang hanya memimpin dirinya
sendiri.
Dan dari pengkotakan
Habermas tentang manusia tersebut, kholifah di situ berpotensi majemuk: bisa
sebagai pemimpin diri sendiri, pemimpin umum atau pemimpin di situ hanya
sebagai tendensi perlunya konsep demokrasi dalam setiap organ kepemimpinan.
Semuanya masih abstrak, tergantung masing-masing individu mau dibawa kemanakah
makna pemimpin itu. Dan tampaknya, respon Tuhan kepada protes malaikat tersebut
secara blur adalah sesuatu yang benar-benar sesuatu. Sesuatu yang pasti
menjadi sesuatu jika manusia sudah mengundang hikmah at-tasyri’ di
dalamnya.zev271013