Perkembangan bahasa
populer hampir setiap bulan berganti. Satu waktu ada satu bahasa yang
sebelumnya tidak pernah ada, berjejal di media, lebih-lebih di jejaring sosial.
Bisa jadi, jejaring sosial inilah sebagai iklan pertama Arus istimewa semakin
dinamisnya perkembangan bahasa populer di Indonesia.
Salah satunya adalah
yang tertulis sebagai judul catatan ini. Baru-baru ini kata “bisa jadi” marak
dicelotehkan disetiap sudut kampus-kampus di Jogjakarta. Dalam hukum
kebahasaan, tidaklah salah jika seorang dosenpun menggunakan istilah itu dalam
mentransfer ilmunya. Demikian pula dengan penulisan ilmiah. Justru bisa juga
dengan bahasa itu, penulis tertentu bisa mengungkapkan kenetralannya akan
sebuah topik. Sama halnya dengan kata-kata yang pernah populer sebelumnya,
“saya kira itu dan seperti itu”.
Dalam pendekatan
tematik, kata “bisa jadi” adalah ekspresi apa adanya seseorang untuk menghargai
sebuah pendapat yang sesungguhnya tidak disetujui. Seperti halnya ketika
seseorang ingin menolak suatu pendapat, tetapi takut untuk menyinggungnya
sehingga butuh basa-basi. Dan inilah yang dimaksudkan dengan basa-basi tadi.
Satu kalimat “bisa jadi”, sudah melibatkan basa-basi yang tersopan dan
tersimpel. Ketika kata itu terucapkan, secara tidak langsung, yang bersangkutan
berada pada zona moderat: tidak terlalu mengunggulkan pendapat sendiri atau
pendapat orang lain. Satu kata yang simpel, tetapi bermakna.
Begitu pula ketika
dalam keadaan darurat, kata “bisa jadi” dapat dijadikan perisai yang lentur.
Jika dalam ketidaksengajaan, ternyata seseorang tidak memahami sama sekali apa
yang disampaikan rekan bicaranya, seseorang tadi bisa langsung memanfaat
istilah tersebut. Sehingga di mata rekan bicaranya, seolah seseorang tadi
mendengarkannya dengan seksama, kemudian memberikan tanggapan yang sungguh menenangkan
hatinya. Istilah “bisa jadi”, secara implisit dipungkiri atau tidak, terbukti
dapat melegitimasi pendapat orang lain, meski tidak sepenuhnya.
Pun, ketika
diandaikan dalam alam praksis: alangkah indahnya Islam, jika bisa menemukan hard
core dari istilah tersebut. Selama ini, dalam berbagai pengamatan, semua
konflik yang terjadi selama ini, berbasis pada tidak adanya toleransi. Tidak
ada yang mau mengalah untuk menang, sehingga yang ada hanyalah menantang untuk
kalah. Dengan demikian, poin yang diperlukan adalah sebatas konsep istilah
“bisa jadi”.
Dalam ranah antar
agama sekalipun, ketika core dari istilah ini bisa terkover atau terbahasakan
secara rapi dan sopan, pluralitas keberagamaan di Indonesia pasti akan tampak
rukun dan nyaman. Saat ditanya tentang kebenaran salah satu agama, dengan tanpa
ragu untuk melakukan distorsi, seseorang bisa bilang “bisa jadi”.zev.031013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar