agama
adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai
sesuatu telah terkait erat dengan dunia mereka.
Untuk merespon salah
satu ungkapan Grunebaum di atas, masih ada beberapa pertanyaan terkait dan
terikat: Apakah dengan penerimaan islam berarti mengorbankan semua budaya yang
telah lama melekat pada sebuah tatanan masyarakat.[2]
Jawaban paling disepakati adalah tidak. Penerimaan islam bukan penghilangan
kultural-kultural pra-islam, tetapi sebatas kelanjutan dari kultural yang usai
mengakar di suatu wilayah. Islam bukan asimilasi. Islam itu Akulturasi.
Jika islam masih
ingin dikata sebagai agama, bagaimanapun juga, Islam harus mengalah. Adat
setempat perlu dimenangkan. Tetapi tetap pada tujuan awal, doktrin Islam
mengalah bukan tanpa tujuan. Tujuan inti dari pengalahan doktrin dengan budaya
setempat adalah untuk menyelaraskan kebutuhan para pemeluk islam maupun calon
pemeluk dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia yang berbudaya dan
bersosial. Selama pengalahan doktrin Islam akan budaya setempat dipandang lebih
banyak mengandung kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, maka
tidak ada yang salah dengan pengalahan doktrin Islam.
Namun sebaliknya,
jika dipandang dengan manifestasi agama sebagai hasil akulturasi doktrin dan
sosial budaya masih saja tidak bisa menemukan apa yang dicita-citakan,
akulturasi ini tidak diperlukan. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Gandhi
dan Tagore. Sebagai sesosok nasionalis yang hidup ditengah-tengah ajaran
Hinduisme dan kultur yang konservatif di India, mereka melakukan pembaruan
dengan basis yang bertitik tekan pada keselarasan antara agama mereka dengan
kebutuhan hidup yang pasti mengalir dengan peredaran zaman (akhir abad XIX).[3]
Alasan yang mereka gunakan adalah keselarasan antara agama dan kebutuhan hidup,
bukan agama dan budaya. Dengan demikian, agama tidak hanya perlu luwes dengan
budaya masing-masing pemeluknya, seperti yang ada dalam Islam di Indonesia. Keluwesan
akan dinamika zaman yang bertepi pada majemuknya kebutuhan pemeluk juga
dibutuhkan.
Lebih fokus kepada
Islam dan masyarakat Indonesia, dalam sejarah telah kentara bahwa Islam
menyebar luas ke semua pelosok Nusantara tidak menggunakan topeng Timur Tengah.
Islam menjelma menjadis sesosok yang akrab dengan budaya setempat. Menyadari
karena sebenarnya Islam bukan hanya bertugas untuk menjinakkan objek tujuannya,
namun juga menjinakkan dirinya sendiri.[4]
Tindakan seperti itu dapat
dilihat dari manifestasi agama yang dilakukan oleh walisongo. Walisongo
melakukan itu bermula dari benturan-benturan yang terjadi antara budaya dengan doktrin Islam. benturan tersebut
memaksa Islam untuk menggunakan topeng atau simbol-simbol kebudayaan setempat
sebagai penyelaras agar dapat ditangkap oleh masyrakat setempat.[5]
Konkrtinya adalah Sunan Maulana Makhdum Ibrahim dengan strategi bonangannya di
Tuban Jawa Timur. Dengan membaca keadaan masyarakat yang suka sekali dengan
alat musik bonang, hanya bertiket wudlu dan membaca syahadat, masyarakat
setempat bisa menikmati alunan musik bonangan yang diadakan beliau tanpa biaya
sepeserpun. Secara doktriner alat-alat musik semacam itu adalah haram, namun
karena Islam dipandang secara historis dan atas nama kemaslahatan dan pemenuhan
kebutuhan, potret itupun menjadi bingkai sejarah yang menarik untuk dibahas
juga diterapkan.
Di wilayah lain,
memang tidak bisa dipungkiri, keadaan seperti di atas, dapat menimbulkan
penafsiran yang agak terpisah dengan wahyu yang utuh dan abadi.[6]
Tetapi meminjam istilahnya Bapak Taufik Abdullah: Bagaimanapun juga,
penghayatan agama harus didekati dengan menanggalkan untuk sementara keyakinan
pribadi. Toh, kesimpulan tersebut bukan berarti memang wahyu yang utuh di atas
yang salah. Bisa jadi, penafsiran akan itu yang justru tidak sesuai bukan
wahyunya.
Dengan demikian,
berbasis pada keselarasan antara budaya dan agama yang berujung pada pemenuhan
kebutuhan masing-masing pemeluknya, pendekatan Islam Historis diharapkan mampu
menjadi salah satu perumusan yang ideal dalam menjawab dinamika zaman.
[1]
Gustave E. Von Grunebaum,
modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm.
20.
[2]
Mien Joebhar, Ny. R. T.
Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan
Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
hlm. 3.
[3] Salah satu artikel W.F.
Wertheim (penulis Indonesia soceity in transition) yang telah diterjemah:
gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
[4]
Mien Joebhar, Ny. R. T.
Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan
Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar