Sedari kemaren, di setiap pagi saya,
rambu-rambu lalu lintas selalu menjadi tetenger untuk kembali. Rute olahraga
pagi, dari kontrak ke rambu-rambu, sudah lebih dari cukup untuk sekedar
melemaskan tubuh dan menghangatkan tubuh di pagi Jogjakarta yang sejuk. Lampu
lalu lintas itu bermakna penting bagi saya.
Di lain pagi, tidak sengaja dalam
ranah pikir saya terbesit tanya: bangjo ini kala siang sangat disegani
dan dibuat sakral oleh kebanyakan pemakai jalan, tetapi kenapa pada dini
harinya malah hanya menjadi pajangan tak berarti. Saya kurang tahu, dalam ranah
hukum lalu lintas Indonesia, apakah ini termasuk pelanggaran atau tidak. Yang
pasti, jika dalam keadaan lampu merah menyala, tetapi pemakai jalan masih
berjalan, itu adalah pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada konsekuensi.
Kenyataannya, mereka, semua pemakain jalan di dini hari, tidak mendapatkan
hukuman apapun. Ini adalah kota yang bagi saya bermasyarakat luhur, etika
sangat diistimewakan di sini, akan tetapi tetap saja, hukuman bagi pelanggaran
lalu lintas di setiap pagi Jogja tidak ada tindakan tegas.
Dalam hal ini tidak
ada yang perlu disalahkan atau menyalahkan. Karena memang tidak ada yang salah.
Tujuan pertama didirikannya lalin adalah meminimalis kemacetan, kecelakaan, dan
keribetan dalam berkendara. Di dini hari, pemakai jalan bisa dikata sangat minim, sehingga tanpa
adanya lalu lintas pun kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kemacetan
sangatlah sedikit bahkan tidak ada. Main core dari adanya lalin tak
bukan adalah untuk menghindari kemacetan dan kecelakaan. Dengan demikian,
ketika inti dari sebuah tujuan sudah tercapai, cukup sudah, hukum lalin hanya
sekedar hukum, untuk mematuhinya pun saru jika diwajibkan. Tidak ada
masalah ketika tidak ada hukuman dari polisi untuk yang bersangkutan.
Ini tidak berbeda jauh dengan hukum
islam. Berangkat dari analogi di atas, akan lebih indah jika Islam dijalankan
seperti itu. Penekanan yang baik seharusnya pada inti tujuan ajarannya bukan
metode atau peraturan-peraturannya yang selalu mengikat. Sehingga, ketika kita sembahyang,
yang perlu kita prioritaskan adalah bagaimana kita bisa tenang dan nyaman di
dalamnya, tidak pada pakaian apa yang layak kita pakai. Begitu juga memelihara
anjing. Ketika dalam memelihara anjing kita bisa menjaga dari jilatan dan
gigitannya, tidaklah masalah. Alasan pertama tidak dianjurkannya memelihara
anjing adalah agar kita bersih dari sumber najis itu. Dan jika kita sudah bisa
menjaga dari semua alasan itu, apa yang perlu dipermasalahkan. Saya kira itu.
Hal tersebut sama
dengan konsep Islam Historis. Hanya dengan pendekatan inilah islam bisa
benar-benar rahmatan lil alamin. Meminjam istilahnya Bapak Amin
Abdullah, eks rektor UIN SUKA: Islam hanyalah sebatas ajaran abad enam masehi
yang hanya untuk kehidupan saat itu jika tidak dibarengi dengan pendekatan
secara historis. Menilai islam tidak harus kaku dan sesuai dengan peraturan-peraturan
yang klasik. Pembaruan peraturan perlu diadakan dengan tetap pada koridor teks
islam: Quran dan Sunnah.
Dalam wilayah lain,
di penghujung hari ini, perhatian saya tersita dengan salah satu perempatan
jalan menuju mato. Perempatan itu tidak berambu. Tetapi pemakai jalan sore tadi
sangat ramai, melebihi kapasitas keramaian yang biasanya terlihat pada bangjo
lainnya di Jogjakarta. Melihat fenomena ini, hipotesis saya
menyimpulkan—rambu-rambu lalu lintas, terpakai atau tidak, masihlah sangat
perlu—dan inilah potret nyatanya. Semua pemakai jalan terbingungkan akan
keadaan itu. Kemacetan luar biasa pecah di sepanjang jalan mataram. Tidak akan
ada titik temu selama belum ada intervensi dari beberapa oknum yang mau
mengaturnya. Hukum islam, peraturan-peraturannya, dan sebagainya, bagaimanapun
juga masih sangat diperlukan. Pendekatan normatif, sepertinya harga mati dalam
hal ini.
Di lain bidang,
fenomena tadi sore, bisa jadi adalah salah satu titik lemah sebuah kebaikan.
Kebaikan di sini adalah tata santun. Tidak selamanya kesantunan yang istimewa
bermanfaat. Salah satu sebab tidak teratasinya kemacetan itu adalah terlalu
santunnya masyarakat Jogja. Kesantunan itu tidak ditempatkan pada tempatnya.
Konsekuensinya, mereka hanya berjejal mengantri penuh santun dan sabar, tidak
ada yang mendahului satu sama lainnya. Sehingga dalam keadaan seperti itu,
semua kendaraan akan berhenti total jika tidak ada kendaraan yang mau
mendahului dari salah satu arahnya. Santun itu baik, tetapi lebih santun jika
kita bisa baik dalam menempatkan kesantunan kita. Islam Arab itu baik bahkan
sangat baik di wilayah Arab dan sekitarnya. Namun, di Indonesia, islam Arab tak
lebihnya hanyalah konsep terorisme yang radikal.zev.091013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar