Dalam kacamata
sejarah, banyak tulisan yang menyatakan: semenjak dipegangnya kepemimpinan
Islam oleh dinasti Abbasiyah, transeliterasi ilmu-ilmu Yunani terjadi secara
makro. Banyak pemikir mengemuka di masa ini. Puncak dari semua itu adalah di
masa Kholifah Harun Ar-Rosyid. Ilmu-ilmu filsafat, matematika, kedokteran,
astronomi, sejarah dan lain sebagainya, berkembang pesat di dalamnya. Buku-buku
hasil kesimpulan ataupun terjemahan dari para pemikir-pemikir berserakan
menghiasi kota Baghdad ketika itu.[1]
Akan tetapi,
konsekuensi yang tidak bisa dihindari pada saat itu adalah dilupakannya peran
hati. Masyarakat ketika itu terlalu terlena dengan akal, sehingga pengakuan
akan adanya intervensi dari wilayah transedental tidak diakui.[2]
Dan di titik inilah para tokoh tasauf tidak sepakat. Oleh karenanya, tasauf
dibentuk sebagai pengimbang pemikiran-pemikiran tersebut.[3]
Diharapkan dengan adanya gerakan yang fokus kepada hati ini, pendewaan akal
bisa sedikit direduksi.
Jadi, kali pertama
muncul, tasauf bukanlah sarana pemecah masalah (problem solver), namun hanya
sebagai pengimbang didewakannya akal ketika itu. Dan karena perubahan-perubahan
sosial dan lain sebagainya, fungsi utama tasauf bergeser ke beberapa wilayah
yang sangat berbeda. Di wilayah inilah tasauf menemukan jati diri baru, yaitu
sebagai problem solver.
Akhlak tasauf sebagai
obat hati dalam setiap gejala masyarakat
Dalam pendekatan
sejarah yang berbeda, fungsi tasauf terbagi menjadi dua: tasauf transedental
atau vertikal dan tasauf horisontal. Model tasauf transedental adalah model
kali pertamanya tasauf populer di mata dunia. Tasauf model ini sesuai dengan
tujuan inti dari lahirnya tasauf, yaitu sebagai pengimbang didewakannya akal.
Oleh karena itu, tasauf model pertama hanya berputar-putar di wilayah kemurnian
hati kepada Tuhan, tidak sampai pada wilayah sesama makhluk.
Model kedua adalah
konsep tasauf yang sudah tekontaminasi dengan disiplin keilmuan lainnya. Tautan
yang terjadi karena benturan-benturan dengan disiplin kailmuan lainnya, memaksa
tasauf untuk menyapa teman-temannya. Sehingga konsekuensi darinya adalah akulturasi
konsep antara kedua disiplin keilmuan.[4]
Dan jika sudah terjadi akulturasi, maka bagaimanapun juga pasti ada beberapa
bagian murni dari tasauf yang pupus.[5]
Fokus tasauf model ini dominan kepada wilayah horisontal.
Akan tetapi meskipun
seperti itu, di dalamnya, tasauf bisa lebih bermanfaat dan membantu. Dalam hal
ini tasauf dominan kepada konsep good praduga: tentang bagaimana seseorang bisa
bersyukur dalam keadaan apapun itu. Titik tekan konsep ini adalah mengenai
akhlak manusia kepada yang menciptakan musibah. Dengan konsep ini seseorang
diharapkan bisa selalu positif thinking, berfikir internal,[6]
menganalisa apapun masalahnya, dan menemukan solusi. Sehingga ketika diterapkan
dalam semua aspek, konsep ini bisa membantu. Konkritnya, ketika ada minoritas
NU hidup di desa mayoritas MD yang fanatik. Karena fanatisme mayoritas MD,
minoritas NU selalu diusik kepercayaannya. Propaganda MD yang fanatik sangat
mengganggu NU. Sehingga pada akhirnya, terjadi perang saudara, antara MD dan
NU. Menurut pembahasan ini, salah satu penyebab konflik tersebut adalah tidak
adanya tasauf di sela-sela kehidupan sosial mereka. Dan inilah fungsi tasauf
jika ditautkan dengan sosial masyarakat. Andai minoritas NU dalam contoh di
atas telah bisa menerepkan konsep tasauf versi ini, pasti mereka akan bisa
menetralkan hati mereka dengan memandang kalau semua gangguan-gangguan itu
hanyalah bentuk perhatian dari MD yang terlalu atau minimal itu hanyalah
ekspresi dari keinginan mereka untuk menolong
dan mengingatkan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa eksitensi
tasauf di masa sekarang masih bisa berfungsi sebagaimana adanya.zev221013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar