Hari ini Jogja
semakin panas, dan sepertinya bukan hanya masyarakat jogja yang merasakan hawa
tidak biasa ini. Kali pertama saya di Jogja, saya satu hari kedinginan tanpa
arah. Saya terkapar di kamar teman saya. Panasnya Jogja hari-hari ini
sepertinya tidak alami. Mungkin musim pancaroba.
Namun, panasnya Jogja
dan panasnya kelas saya tadi, seakan tidak berarti sepenuhnya jika dibanding
kehidupan masyarakat di masa Muhammad. Kebetulan mata kuliah Teologi hari ini
berbicara tentang kehidupan kecil mereka. selayang pandang, dari uraian Bapak
Zuhri, keadaan psiko-sosial yang ada di Arab 14 abad silam tidak berbeda dengan
kenyataan sekarang. Masyarakat pada saat itu ternyata sudah terkotak-kotakkan,
bukan lintas agama, tetapi dalam satu agama. Islam pra Muhammad, ketika
dipegang oleh Abu Bakar ternyata sudah ada dua kelompok yang berseberang dalam
pemikirannya. Sehingga darinya konflik berkepanjangan pun pecah.
Dua kelompok tersebut
adalah ahlussunah dan syiah. Kelompok pertama di motori oleh Aisyah, Muawiyyah,
dan lain sebagainya. Kelompok kedua eksis di dalamnya sosok-sosok yang fanatik
terhadap Ali, sekali saya katakan, kelompok yang fanatik kepada Ali, bukan
Alinya. Pada awalnya, kedua komunitas ini tidaklah terlalu mengemuka, saya membahasakannya:
di era Abu Bakar ini keduanya masih berupa perbedaan gagasan-gagasan, masih
embrio.
Sampai pada akhirnya,
konflik keduanya memuncak. Dan puncak konflik kedua komunitas tersebut adalah
dilengserkannya Ali dari jabatan Kholifah paska terjadinya tahkim antara pihak
Muawiyyah dan Ali. Selepas dilengserkannya Ali, masyarakat bawah pecah, ada
yang membela Ali dan ada pula yang keluar dari Ali. Sehingga berangkat dari
itu, di dalam buku-buku sejarah MI sampai MA, tertulis: syiah muncul paska
kinflik di atas.
Paralel dengan itu,
jika dihubungkan dengan paragraf di atasnya lagi terjadilah benturan antara
kedua sejarah tersebut. Jika yang dianut adalah versi yang kedua, syiah bisa
jadi masuk dalam golongan-golongan ahlussunah. Akan tetapi jika mengaca pada
versi yang pertama syiah tidak akan bisa masuk dalam golongan ahlussunah.
Dan disinilah poin
penting saya menulis ini. Berbasis ini saya bisa sejenak menggenapkan
keganjilan saya selama ini tentang syiah: apakah syiah itu ahlussuna atau
tidak. Syiah bukan bagian dari ahlussunah.
Masih dalam satu
ruang, jika dibahas lebih dalam, salah satu alasan saya menyimpulkan hal itu
adalah tentang semua underbow yang ada pada ahlussunah. Menurut sejarah yang
dikutip Bapak Zuhri dalam bukunya Pengantar Studi tauhid, bermula dari
konflik kecil masyarakat Makkah waktu itu yang menelorkan ahlussunah, muncullah
banyak sekali komunitas dan pemikiran. Di wilayah komunitasnya adalah
qodariyah, Jabariyah, dan murjiah[1],
kemudian di wilayah pemikirannya ada mu’tazilah dan asyariyah. Semuan pemikiran
dan komunitas itulah yang disebut sebagai bagian dari ahlussunah. Semuanya
berhulu kepada satu kelompok, yaitu ahlussunah.
Dengan demikian,
antara syiah dengan ahlussunah sudah tidak bisa dipertemukan. Meski masih dalam
satu payung—islam—mereka berjalan di relnya masing-masing. Keduanya mempunyai
dasar, alasan, dan pemikiran masing-masing. Tidak ada yang perlu menyalahkan
dan disalahkan.zev181013
[1]
Dalam referrensi lain murjiah adalah pecahan dari komunitas khawarij. Sedangkan
khawarij sendiri adalah komunitas yang mengecam ahlussunah dan syiah. Mereka
menganggap keduanya telah berdosa besar karena tidak sesuai dengan Quran:
berperang satu sama lain. Sehingga kesimpulan akhir kelompok khawarij adalah
halalnya darah ahlussunah dan syiah bagi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar