Sepanjang hari ini, bisa dikata adalah hari baik buat saya. saya merasa telah memiliki sesuatu yang dulu tidak saya miliki. Ada kesetian baru, ada teman baru, ada telinga baru, dan ada kebahagiaan baru. Sepanjang sore ini, saya habiskan menemani Cio, teman yang akhir-akhir ini cukup dekat dengan saya.
Bertempat di Mato,
kami berdua terlibat dalam pembicaraan yang sederhana, tetapi menarik. Darinya,
kami bisa menyimpulkan: segala sesuatu itu akan baik-baik saja atau bahkan
sangat baik jika inti dari sesuatu yang kami harapkan itu sudah ada di
dalamnya. Sekali lagi saya katakan adalah inti dari sesuatu yang diharapkan.
Konkritnya adalah mengenai pacaran. Apa yang dikatakan Anang di kelas malamnya
tidaklah meleset: apa gunanya kita punya pacar, tetapi kita masih saja
kesepian, kita masih saja tak punya sandaran, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, ketika kita sudah bisa merasa tenang, nyaman, tidak sendiri, dan
mempunyai sandaran tanpa adanya pacar, itu berarti kita sudah mendapatkan inti
dari sesuatu yang diharapkan. Dan mungkin inilah salah satu alasan kenapa
seseorang bisa bertahan dalam kejombloannya.
Paralel dengan itu,
saya dibuat berfikir sejenak. Saya teringat tentang penjelasan dosen Teologi
saya. sampai saat ini, saya masih belum puas dengan jawaban akhir dari beliau.
Beliau menyimpulkan kalau keadaan spiritual para nabi sebelum islam terbukukan
adalah sama dengan paska islam lahir. Meski mereka belum mengenal konsep islam
secara teoritis seperti halnya hari ini, mereka sudah bisa mendapatkan dan mengaplikasikan
inti-inti dari konsep islam. Mereka bermain keintian. Dan memang, kalau demi
alasan untuk menghormati mereka semua sebagai nabi, alasan itulah yang paling
tepat. Amaliyah-amaliyah para nabi sebelum Muhammad sudah mengandung inti
ajaran islam.
Utopia saya menjalar
ke nalar naif kesadaran saya. Ada tanda tanya besar dalam benak: dari pada para
nabi-nabi sebelum islam datang hanya menikmati intinya saja, kenapa tidak
sekalian Muhammad saja yang dijadikan nabi pertama. Dan berangkat dari pikiran
itu, andai memang Muhammad dan ajaran Islamnya benar-benar ada di awal,
menempati posisi adam dengan ketidakjelasannya, bisa jadi, kondisi Islam tidak
seperti ini. Minimal sejarah tentang Muhammad tidak melulu dominan dengan
kesengsaraan. Karena sesuatu yang ada di awal banyak kemungkinan akan menjadi
mayoritas di masa-masa setelahnya. Meskipun toh sekarang islam adalah
mayoritas, pasti sedikitnya ada perbedaan.
Dan jika saya mix antara
keduanya, ada satu kesimpulan. Mendapat inti dari sesuatu yang diharapkan itu
berada di posisi yang lebih baik dari pada kita mendapat bentuknya, tetapi jauh
dari inti akannya. Tanpa harus merasakan bentuk formalnya pun, kita bisa
menikmati main taste yang terkandung di dalamnya.
Seperti halnya ketika
kita menganggap agama selain islam tidak benar. Kita tidak perlu untuk mencoba
agama itu dulu sebelum menyimpulkannya. Cukup dengan menangkap inti darinya
sehingga kita bisa mengerti agama mana yang cocok buat kita. Berbeda dengan
ketika kita ingin menyimpulkan kalau garam itu asin. Kita perlu untuk
mencobanya, sebelum menyimpulkan itu. Bisa dibayangkan jika agama seperti garam
tadi. Agama kristen pasti ramai peminat.zev.021013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar