Salah satu sebab terkonsepnya
pendekatan historis-kritis adalah pluralnya agama dalam suatu daerah. Ketika dikatakan
sebuah daerah hanya memiliki agama tunggal, islam misalnya, sedikit kemungkinan
akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar di dalamnya. Kebudayaan daerah
setempat dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat sudah menjumpai titik temu. Sehingga
konflik perbedaan tidak terlalu banyak. Tetapi sebaliknya, jika dalam sebuah
daerah dijumpai lebih dari satu agama, toleransi menjadi harga mati. Dan disinilah
Islam Historis menjadi pahlawan tersendiri bagi masyarakat yang terlibat
langsung dengan pluralitas keagamaan suatu wilayah.
Dalam satu bagan, toleransi
muncul karena adanya alasan yang tepat mengenai: kenapa saya harus peduli dan
menghargai. Dan jalan yang paling mudah untuk mendapatkan alasan itu adalah
melalui kepercayaannya masing-masing.[1] Jika suatu agama
diinterpretasikan untuk menggagalkan suatu ritual keagamaan lainnya dengan
alasan tidak sesuai dengan ajaran agamanya, maka jelas sudah, toleransi tidak
akan pernah ada. Tetapi sebaliknya, semua lapisan masyarakat akan berjalan
bersama-sama ketika masing-masing dari kepercayaanya diintrepretasikan untuk
turut berbaur dengan ritual keagamaan mereka. dengan catatan: hanya sebagai
ekspresi penghargaan kepada si empunya ritual keagamaan, tanpa turut membaurkan
kepercayaan masing-masing.
Berbicara tentang
pluralitas agama, pengalaman pluralitas agama di setiap wilayah berbeda-beda. Semisal
Amerika, pengalaman pluralitasnya tidak sama dengan yang ada di Indonesia. Di
samping agama mayoritasnya berbeda, basis akannya pun berbeda. Amerika
menghayatinya dengan keasadaran budaya yang sekular. Sehingga, pengalaman pluralitas
agama yang dialami setiap warganya pasti tidak sama. Sedangkan Indonesia
menghayatinya dengan kesadaran budaya yang religius. Di titik inilah Islam historis
kritis sangat diperlukan: untuk menyikapi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat
setempat.
Di lain keadaan, dominasi
agama tertentu di wilayah yang memiliki pluralitas agama, mempunyai pengaruh
yang besar dalam pendekatan Islam Historis. Di Timur Tengah tempat agama hindhu
dan budhanya relatif tidak berkembang, ekspresi Islam Historis pasti berbeda
dengan ekspresi Islam Historis di India, Thailand, dsb. Islam di Thailad dan
India berada di garis minor. Sehingga dengan perbedaan itu, Islam historisnya
muslim Timur Tengah dan Thailand tidak sama. Islam historis boleh tidak sejalan,
namun berada dalam satu normatif masihlah menjadi sebuah keperluan dan kesatuan.
Dan diantara semua
wilayah tadi, Indonesia dirasa yang paling sesuai dengan pendekatan Islam Historis.
Masyarakat Indonesia meski belum
dilandasi dengan studi agama yang akademik kritis sudah mencerminkan kerukunan
antar umat beragama yang istimewa. Dan tidak bisa dipungkiri, potret inilah
yang berhasil menarik peminat peneliti-peneliti luar untuk menjadikan Indonesia
sebagai objek penelitian.[2] Dengan demikian,
sungguh tidak melebihkan jika dikata: pendekatan Islam Historis akan sangat
sesuai untuk dipraktikan di Indonesia. Antara sosial, budaya, dan agama bisa
berjalan beriringan di bumi nusantara ini sebagai wujud integrasi atas pluralitas
agama, normatifitas, dan historisitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar