Selama lima hari empat malam berproses
untuk menepi pada keluarga baru, saya harus terbiasa dengan bahasa “paradigma”.
Kata itu sudah membumi cukup lama dalam benak. Pengertian simpelnya pun, sudah
biasa terdengar di telinga saya. Namun kali ini, kata itu tidak sekedar
berpengertian, tetapi berproses dalam benak. Paradigma bukanlah sekedar konsep
berfikir maupun kerangka berfikir. Di dalamnya terlibat hukum dan juga
metodologi dalam menuai sebuah konsep. Sehingga berangkat darinya lahirlah
pergerakan yang berbasis akan paradigma kritis transformatif.
Melalui keluarga baru ini, ada satu
hal yang membekas dan semoga saja melekat selalu dalam benak saya. Yaitu
mengenai vitalnya arti sebuah keluarga untuk memantik rasa percaya diri. Saya
merasakan energi itu. Lima hari di godok, membuat panas dan gerah hati ini.
Semangat saya terbakar. Persaingan intern sudah dimulai dan sedang berlangsung.
Tadi malam adalah puncak dari lima
hari saya dan keluarga baru. Suasana dibuat sedramatisir mungkin. Bertempat di
wahana tak berpenghuni dengan penerang sekelumit lilin apa adanya di tengah
malam yang sangat sunyi tak terpecahkan. Suasana pertama tak terlupakan selama
satu bulan di Jogja saya berhenti di pagi hari tranggal 30 september 2013. Ada
banyak nama yang turut melukiskan dera, suka, duka, dan bahagia dalam hati. Ada
pula banyak mata pelajaran tanpa nama yang saya dapat pagi tadi. Sesuatu yang
tidak saya dengarkan dari suara-suara merdu dosen di kelas. Istimewa.
Dari malam itu, saya baru sadar betul,
ternyata aplikasi akan paradigma kritis transformatif usai aku temukan dalam
ritual yang NU banget itu. Pertanyaan-pertanyaan saya yang selama ini
menggantung dalam ruang atas hatiku terjawab pelan-pelan. Sedari kemaren saya
terbimbangkan akan satu tanya: kenapa saya harus terlibat dengan keluarga baru
ini. Adalah tentang sebuah kepedulian, iya, sejenak, dari proses pengkaderan,
saya bisa menyimpulkan, ini adalah tentang kepedulian. Saya suka itu.
Dan jika saya hubungkan dengan sejarah
paradigma kritis itu sendiri, tidak jauh berbeda. Istilah ini lahir berbasis
pada 4 tokoh penting: Imanuel Kant, Sigmund freud, Marx, dan Hegel. Dan yang
paling urgen tertuju pada Marx. Marx, dengan gerakannya membagi masyarakat
menjadi kaum burjois (kaya) dan proletar (buruh). Dan berangkat dari itu, gerakan
nyata marx adalah menghapus sekat yang memisahkan kedua kubu menjadi satu kaum
proletar. Dan saya yakin marx melakukan atas satu alasan: kepedulian. Dari
sejarah kepedulian marx inilah bisa jadi merupakan salah satu sebab mengapa
dari awal sampai akhir prosesi final pengkaderan tadi pagi tidak lepas dari
kata-kata peduli.
Untuk saya pribadi, meski rasa
nativisme ini selalu ada, keluarga ini tetap keluarga. Darinya saya belajar
bagaimana harus mengikuti aliran air tanpa harus terhanyut. Saya tidak pernah
mengerti teori yang pasti di dalamnya, bahkan tidak akan pernah tahu. Sebab,
saya mulai belajar dari sebuah permasalahan, konfilk, cemburu, marah,
dan...zev.301913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar