1
Tasauf dengan akhlak,
jika meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah (Studi Agama, Normatifitas atau
Historisitas, 1996, 4), keduanya bagaikan dua sisi pada koin yang sama. Di
antara keduanya memiliki keterikatan yang kuat. Satu pendapat menyimpulkan
tasauf yang terikat kepada akhlak,[1]
satu lainnya menyimpulkan akhlaklah yang terikat kepada tasauf.[2]
Oleh karenanya membaca dua kesimpulan tersebut, antara tasauf dan akhlak
memiliki keterkaitan yang bersifat saling melengkapi, bukan mendahului.
Menurut pendapat yang
pertama, meskipun keduanya memiliki orientasi yang sama: fokus pada masalah
hati dan jiwa, tetap saja ada beberapa bagian yang berbeda, yaitu tentang objek wilayahnya.
Tasauf, objek utamanya fokus kepada wilayah transedental, ketuhanan Yang Maha
Esa, dan kesucian hati dan jiwa kepada Tuhan. Di wilayah ini, seakan semua yang
ada di dunia sangat tidak berarti. Pengikut-pengikut yang fanatik akannya
populer dengan sebutan sufi atau sederhananya adalah orang-orang yang zuhud;
dalam arti yang umum. Selanjutnya yang kedua, yaitu akhlak. Di bagian ini objek
utama akhlak adalah wilayah horisontal: hubungan dengan manusia. Bagaimana cara
berinteraksi yang baik dengan sesama itulah yang menjadi titik tekannya. Dengan
demikian, meskipun menurut pendapat yang pertama—keduanya fokus kepada
kemurnian jiwa dan hati dalam berinterkasi—akan tetapi titik tekannya masih
berbeda. Dan di antara keduanya, akhlaklah yang menjadi tolok ukur kadar
ketasaufan seseorang. Seseorang dinilai bersih hati dan jiwanya ketika akhlak
mereka sudah baik dengan masyarakat yang berada disekelilingnya. Kunci utamanya
jatuh pada bagaimana kita bisa berhubungan dengan sesama secara baik dan apa
adanya.
Sedangkan, menurut
pendapat yang kedua. Titik keterikatan tasauf dengan akhlak terletak pada
wilayah aksiologisnya: hasil nyata. Mudahnya, akhlak adalah konsekuensi logis
dari tasauf seseorang. Jika seseorang sudah gagal dalam mensucikan jiwa dan
hatinya kepada Tuhan, maka hasil yang ada ialah akhlak al-madzmumah, dan
seperti itu juga sebaliknya. Oleh karenanya, akhlak yang statusnya sebagai
hasil nyata dari tasauf sangat tergantung kepada eksistensi tasauf dalam diri
seseorang.
Masih dalam satu
ruang, jika kita tarik permasalahan di atas ke dalam ranah keimanan, maka iman
saja tidak cukup. Ilmu dan amal merupakan harga mati yang harus terlibat dalam
proses keimanan seseorang. Iman bukan sekedar ucapan atau pernyataan, tetapi
juga pemahaman tentang mengapa seseorang harus beriman (epistemologis)[3].
Kemudian ketika keduanya sudah dimiliki, barulah difikirkan tentang amal
(aksiologis): apa manfaat dari semua ini. Sehingga ketika ketiga entitas di
atas sudah dimiliki, maka utuhlah makna iman tersebut.
Seperti halnya itu,
tasauf juga perlu dikaji dengan konsep pengetahuan dan implementasi. Tasauf
saja tanpa pelu adanya kajian epistemologis dan aksiologis dapat menimbulkan
intepretasi yang tidak utuh. Dan bentuk nyata dari adanya kajian aksiologis ini
tak lain adalah adanya akhlak.
Paralel dengan itu,
melalui pendekatan sejarah, sebagaimana yang telah tercantum di beberapa kitab
klasiknya para ilmuan Timur Tengah pada abad XI Masehi,[4]
salah satu pembahasan yang terpenting dalam kajian tasauf adalah akhlak.[5]
Dan bermula di masa inilah tasauf mendunia. Di waktu yang sama pula, tasauf
berkembang secara masif. Dan sebagai konsekuensinya, tasauf berbenturan dengan
disiplin keilmuan lainnya. Merespon itu, bagaimanapun juga jika tasauf masih
ingin diakui eksistensinya oleh dunia, maka tasauf harus menyapa disiplin keilmuan
yang lain. Oleh karenanya, seiring dengan berkembangnya zaman, konektifitas
tasauf tidak hanya kepada akhlak, tetapi sudah kepada banyak disiplin keilmuan
lainnya: sosial, ekonomi, politik, dsb.
Dengan demikian dapat
ditarik benang merah bahwasanya tasauf dengan akhlak saling bertaut. Pun,
tautan itu tidak berhenti kepada akhlak itu sendiri. Seiring berjalannya waktu
tasauf bertaut dengan banyak disiplin keilmuan. Dan kebanyakan, tautan tersebut
bukan bersifat saling mendahului, akan tetapi saling melengkapi.
[4]
Christian D. Von Dehsen
(1999). Philosophers and Religious Leaders: Volume 2 dari Lives and Legacies. Greenwood Publishing Group. hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar