Saya tidak tahu,
apakah sebutan saya kepada Bapak Marzuki sebagai seorang Nasionalis ini benar
atau tidak. Saya kali pertama kenal sesosok seperhatian beliau ini juga barusan
tadi. Saya dikenalkan oleh keluarga baru saya: KPMRT. Komunitas tempat
mahasiswa-mahasiswa se-Jogjakarta saling berbagi. Hanya karena alasan sreg dan
tidak, saya menyebut Bapak Marzuki ini sebagai seorang Nasionalis Jogja.
Latar belakang
motivasi saya menulis tentang beliau malam ini adalah tentang pemikiran unik
beliau. Dalam ranah pemikirannya, beliau mengecam para mahasiswa yang hanya
belajar dibangku kuliah. Beliau mengibaratkannya seperti memasak. Untuk bisa
membuat satu masakan, kita membutuhkan banyak sekali sesuatu untuk dimasak.
Bukan hanya garam atau nasi. Dan disini Bapak Marzuki mengibaratkan kuliah
adalah tempat kita kulakan garam. Sehingga apakah masakan akan tersaji
jika kita hanya mengandalkan garam.
Dan di sinilah fungsi
sesuatu-sesuatu lainnya. Dan sesuatu itu dalam dunia kampus biasanya disebut
dengan kegiatan ekstrakulikuler. Di sinilah kita bisa kulakan berbagai macam
sesuatu untuk dimasak. Dengan demikian, ketika kita sudah bisa kulakan
segala keperluan untuk memasak, masakan yang direncanakn akan tersajikan sesuai
harapan. Kampus saja tidak cukup untuk menjawab dinamika permasalahan zaman.
Dalam hal yang sama,
Bapak Marzuki dengan keyakinannya menyimpulkan bahwa, apapun yang ekstra itu
bukan berarti harus dinomorduakan dan yang intra itu diprimerkan. Sangat
mungkin sekali kegiatan ekstrakulikuler kampus malah menjadi sesuatu yang
sangat primer. Pun tidak tertutup kemungkinan, sesuatu yang selama ini
dipandang sebagai intra, sangat urgen, dan primer malah perlu disekunderkan.
Kesimpulan itu
berbasis kepada asal mula gudang keilmuan yang tersedia dikampus. Semua
disiplin ilmu yang telah ada di kampus manapun itu tidak bisa lepas dari
penelitian. Untuk merumuskan satu kesimpulan tentang suatu ilmu, dibutuhkan
penelitian. Penelitian pasti mempunyai objek yang diteliti. Objek yang diteliti
adalah masyarakat. Masyarakat hidup secara live di lapangan. Jadi,
kesimpulannya: ilmu yang ada di kampus manapun itu adalah berasal dari
lapangan. Sehingga alangkah beruntungnya kita, jika kita bisa langsung belajar
atau kulak dari sumber penelitian: lapangan. Ilmu sumber tersebut tidak akan
pernah ada dalam kampus. Itu masuk wilayah lapangan.
Dalam bahasa saya
sendiri, antara ilmu kuliah dan ilmu lapangan tidak bisa terpisahkan. Meminjam
istilahnya Bapak Amin Abdullah: keduanya seperti normativitas islam dan
historisitasnya. Keduanya perlu dipadukan, dan terjawablah persoalan-persoalan
yang setiap hari semakin pelik.
Saya sangat tertarik
dengan Bapak Marzuki. Pertemuan singkat tadi sore menjelang magrib mengenai
rencana apologi kepada para petani Kulonprogo yang akan terampas haknya, menyisakan
sesuatu dalam benak saya. Beliau seperti jembatan yang menghubungkan antara
peran mahasiswa dengan kebutuhan petani. Aksi mahasiswa diperlukan dalam hal
ini. Minimal, dengan turunnya aksi, para petani masih bisa bernafas dengan
penuh kepercayaandiri karena masih ada yang mendukung mereka. Mereka semua
membutuhkan dukungan, uluran, dan bukan sekedar doa. Bapak Marzuki berperan
penting dalam hal ini.zev161013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar