Semalaman
kemarin, saya dipertemukan dengan seorang cowok berpenampilan necis dan sangat
tidak kelihatan betapa cakap cowok tersebut. Iya, dia adalah salah satu senior
di KPMRT, namanya pak Zubair. Saya bertemu dengannya ketika diajak
ngobrol-ngobrol oleh pak David dan pak Ihsan di Red kafe, daerah Tuban, Jawa
Timur. Dan sepertinya tanpa banyak saya sadari, ada banyak hal yang bisa saya
pelajari dari C.O. Indosat cabang daerah Tuban ini.
Dari
semua hal yang menurut saya luar biasa itu, ada beberapa yang sampai saat ini
membuat otak saya selalu berfikir akan itu. Adalah tentang bagaimana kita
memandang arti kata natural. Kali pertama hal itu dikatakan olehnya apapun yang
natural itu tidak baik. Meskipun hal itu memang terkesan jujur dan apa adanya,
tetapi sulit dirasa jika hanya dengan natural, seseorang bisa melesat dan
berproses di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin berwajah majemuk ini.
Jadi, untuk bisa menjadi seseorang yang maju dalam hal gerak, respon, dan
pikiran tidak cukup hanya dengan modal apa adanya. Dalam arti, semua itu harus
membutuhkan strategi. Dan di titik inilah natural menjadi bencana besar karena
strategi yang paling baik adalah strategi yang ada maunya atau tidak natural
dan apa adanya. Bisa juga, hal itu disebut sebagai manifestasi dari pragmatisme
masyarakat dewasa ini.
Lebih
dalam lagi, berbincang tentang pragmatis—karena pola pikir masyarakat
kebanyakan dewasa ini adalah pragmatis—apapun yang sedang dan akan mereka
lakukan pasti mempunyai tujuan tempat mereka bisa memperoleh keuntungan
tersendiri. Mudahnya, seseorang tidak akan melakukan sesuatu jika dia tidak
bisa memperoleh keuntungan apapun dari hal tersebut. Selanjutnya, ketika hal
itu dihubungkan dengan natural, hasilnya sudah jelas: tidak sinkron. Natural
menuntut seseorang untuk apa adanya, tanpa ada maunya, dan pasrah, sedangkan
pragmatisme menuntut seseorang untuk meraih sesuatu dan ada maunya. Sehingga,
bagaimanapun juga—jika dilihat dari konteks masa kini—seseorang akan menjadi
sangat bodoh ketika dia masih berbuat natural. Natural itu tidak baik.
Seperti
halnya itu, jika kita amati secara luas, sesungguhnya manusia sejak dulu sudah
diajari untuk tidak natural. Adalah tentang alasan mengapa manusia sampai saat
ini masih mengenakan pakaian. Iya, jawabannya sudahlah jelas: itulah salah satu
bahwa manusia tidak bisa hidup natural. Darinya, bisa dibayangkan: bagaimana
jadinya jika semua manusia itu natural dan tidak mengenakan pakaiannya, pasti
semua itu akan terlihat sangat saru, bahkan hal itu sulit untuk disebut
sebagai human being. Selain itu, dampak lain yang terasa dengan hadirnya
naturalisasi adalah kerancauan dalam memahami keindahan. Hal itu bisa dilihat
dari contoh sebelumnya tadi: apakah manusia akan kelihatan indah jika tidak
mengenakan sehelai kain pun? Kemudian, apakah mobil avanza akan terlihat sama
ketika sudah dimodif dengan ban sport, racing necis, dan sebagainya? Seorang
yang jiwanya masih indah, pasti akan menjawab tidak. Jadi, dengan menjadi tidak
natural—dalam lebih banyak hal—pasti berdampak kepada sesuatu yang lebih baik.
Di
sisi lain, di dalam Islam, sering sekali saya mendengar tentang anjuran untuk
tidak mencukur jenggot, menyemir rambut dengan semir hitam, dan sebagainya
karena sebuah alasan yang cukup klasik: pencitraan Islam. Jika itu dilihat
dengan seksama, ada garis linier antara hal itu dengan perihal di
paragraf-paragraf sebelumnya. Adalah tentang naturalisasi. Seandainya waktu itu
Rasul apa adanya, pasti Rasul tidak mengucapkan beberapa patah kata tersebut
dan tidak berharap Islam harus berbeda dengan Nasrani. Akan tetapi,
kenyataannya, ucapan Rasul itu sampai sekarang terbingkai dalam hadist sohih
menurut Imam Bukhori. Dengan demikian, hal itu bisa disimpulkan: sejak dulu pun
untuk mencapai sebuah tujuan yang baik, bukan berarti tidak natural adalah
sesuatu yang tidak baik dan sangat mungkin justru dengan natural itulah
semuanya akan menjadi tidak baik. Natural itu gelap. Zev311213