Dari banyaknya tulisan dan catatan-catatan yang
mengisahkan bagaimana hiruk-pikuk kehidupan di masa kecilnya Mahmed Khan atau
yang lebih populer Sultan Mahmud II, tidak heran jika keadaan itu berdampak
pesat terhadap pemikiran Mahmed kecil ketika itu. Hal itu membawa kepada sebuah
kesimpulan: pemikiran bukan diciptakan atau dilahirkan, tetapi dibiasakan.
Seperti halnya dengan apa telah dilakukan Mahmed dewasa ketika menjabat sebagai
pemimpin di Istanbul, turki.
Semua itu—pembaruan-pembaruan yang dilakukan Mahmed—tidak
bisa lepas dari masa lalu Mahmed yang kelam. Itu bisa dilihat dari potret
sejarah mengenai bagaimana keluarga kerajaan—yang masih dipimpin oleh Sultan
Salim II (sultan ke—31)—dibantai oleh para pemberontak yang tak bukan adalah
para penganut Islam konservatif yang sangat menentang pembaruan. Dengan
demikian tidak heran jika satu kesimpulan dasar yang berdampak kepada embrio
pemikirannya: menolak tradisionalisme secara total.[1]
Pemikiran Mahmed, sekilas memang sama dengan apa yang
pernah digagas oleh pemikir-pemikir pendahulunya. Akan tetapi jika diamati
secara historis, itu semua berbeda. Pemikiran pembaruan Mahmed muncul bukan
karena apa yang dia dapat dari sekolah atau guru-guru besarnya seperti halnya
Avirose , Avicea, dan lainnya. Pemikiran mahmed murni muncul karena keadaan
yang saat itu muncul: terbunuhnya keluarga tercintanya oleh kaum Jenisarry—para
kaum tradisionalis, penolak pembaruan—bukan karena doktrin-doktrin liberal dari
guru-gurunya. Hal itu bisa dibenarkan juga dengan adanya bukti kalau Mahmed
kecil hanya pernah di sekolah agama. Bahkan sekolah agama itu pun dikuasai oleh
orang-orang dari kelompok tradisionalis.
Selain itu, Mahmed hanya sempat mengenyam pendidikan sastra. Sehingga sulit disimpulkan, kalau pemikiran
Mahmed itu hasil doktrin dari para guru-gurunya.
Di wilayah lain, salah satu bentuk emanasi dari
pemikiran Mahmed adalah persamaan kelas. Itu adalah tentang usaha kecil Mahmed
untuk menyamaratakan semua golongan. Manifestasi akan itu—karena memang usaha
kecil—adalah keharusan para rakyat untuk memakai pakaian ala barat dan
keharusan untuk para pegawai kesultanan menanggalakna baju yang selama ini
terkesan glamour. Dengan demikian, sedikit demi sedikit, dari segi
penampilannya antara rakyat jelata dan para pegawai kesultanan memiliki satu
kesamaan: berpenampilan. Selain itu usaha-usaha susulan yang dilakukan Mahmed
antara lain: mengharuskan rakyat yang bertamu untuk duduk sejajar dengan Sultan
beserta stafnya, mengharuskan adanya proses yang wajar dalam mengklaim
seseorang ketika akan dihukum, dan sebagainya.
Dari poin pemikiran Mahmed yang kedua ini, itu sama
dengan kesimpulan Karl Marx mengenai persamaan kelas yang berada di Jerman.
Dalam hal ini, kesamaan itu bisa diamati melalui keadaan kecil Marx dan Mahmed.
Jika Mahmed pemikiran pembaruan itu muncul karena konflik berdarah dalam
keluarganya sendiri, sedangkan Mark dari konflik pemerintahan yang menindas
para kaum buruh hingga tidak ada bedanya dengan sapi-sapi yang digunakan para
pembajak untuk membajak sawahnya. Keduanya hidup di satu zaman dengan tempat
yang berbeda, tetapi karena Mark baru lahir di umur Mahmed yang sudah 33 tahun,
boleh jadi salah satu kiblat Marx adalah Mahmed II.
Pada akhirnya, selepas beberapa puluh tahun dari tragedi
berdarah di kesultanan dengan dipungkasi tewasnya Sultan Salim II, Mahmed
selaku Sultan yang ke—33 sukses untuk melancarkan operasi pembaruannya terhadap
Turki selama 31 tahun menahkodai kesultanan dengan beberapa sistem pemerintahan
yang sudah didemokrasikan.[2]
Dan satu hal lagi yang tidak bisa dilupakan dalam operasi itu: pembantaian
kelompok-kelompok tradisonalis yang dulu pernah menbantai karena menolak adanya
pembaruan di kalangan kesultanan. Dendam itu terbalas. Sehingga boleh jadi, salah satu faktor
terbesar yang mendasari pemikiran Mahmed adalah dendam yang membara kepada
kaum-kaum tradisionalis Turki, Jenissari.
[1] H.
Aip Aly Arfa, "Pemikiran Moderen Dalam Islam di Turki"
dalam http://aip-aly-arfan.blogspot.com/2011/12/pemikiran-moderen-dalam-islam-di-turki.html, diakses tanggal 01 Desember
2013.
[2]Baiq Widia Nita Kasih, "Perkembangan Pemikiran Dalam Islam Sultan
Mahmud Ii" dalam http://bqwidianitakasih.blogspot.com/2012/05/makalah-perkembangan-pemikiran-dalam.html, diakses tanggal 01 Desember
2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar