Kali
pertamanya, yaitu paska Indonesia merdeka, Istilah partai-partai barulah muncul
dan turut mewarnai dan memulai percaturan politik Indonesia. Awalnya, karena
memang bau harumnya kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan penuh nuansa heroik
masih tajam di hidung bangsa Indonesia, satu institusi ini—partai—ada tanpa
adanya tujuan negatif seperti sekarang. Saat itu, partai-partai yang lahir di
Nusantara ini tak lain hanyalah untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga, semuanya
mampu bersaing dan bersama-sama membangun bangsa.
Dan
di tengah-tengah atmosfir perpolitikan yang masih segar ketika itu, Partai
Murba lahir dari seorang tokoh yang biasa dikenal dengan Tan Malaka.
Sebetulnya, Murba dibentuk bukanlah sebagai partai, tetapi sebatas sekolah
politik. Dulu, disamping memang partai itu adalah sebagai salah satu wadah
untuk kader-kader bangsa belajar politik, tetapi Murba hadir dengan situasi
yang berbeda. Murba—yang ketika itu masih berupa sekolah politik—menghadirkan
beberapa kajian yang dipandang lebih dari partai lainnya, yaitu analisa
pemikiran. Melalui ini, kader-kader yang ada dalam Murba belajar membaca semua
pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh luar biasa bangsa dan dilanjutkan dengan
belajar berfikir seperti mereka. Dengan demikian, tidak salah jika Murba di pandang
lebih dari lainnya.
Kemudian,
disebabkan adanya kader-kader yang dipandang sudah mampu dan siap untuk
berpolitik, Murba bermetamorfosis menjadi partai politik. Kejadian itu terjadi
sekitar tahun 1948[1]
atas usulan anggota-anggotanya. Selain itu, alasan lainnya yang mendasari
berdirinya Murba sebagai Partai adalah pemikiran Tan Malaka yang memandang
bahwa Pancasila akan pincang jika tidak diimbangi dengan pemikiran-pemikiran
yang brilian dari para generasi-generasinya.[2]
Dan hal itu juga tersirat dari salah satu ungkapan Soekarno: setiap tindakan
itu harus didahului dengan pemikiran, begitu pula dengan Pancasila. Pancasila
adalah cita-cita luhur bangsa yang harus diamalkan, sehingga pemikiran adalah
harga mati di dalamnya.
Lebih
detailnya, Istilah Murba murni lahir dari benak Tan Malaka. Itu bukan karena
pikiran atau kesengajaan berfikir, tidak. Akan tetapi, nama Murba ada selepas
Tan Malaka mendengar salah satu falsafah Jawa: Gusti ingkang murbeng Dumadi.[3] Murbeng
dalam kalimat tak bertuan itu berasal dari kata murba dan ing
yang berarti merujuk, rujukan atau tujuan. Jika perihal tersebut lebih dipahami
lebih mendalam lagi, tujuan di situ bermakna ganda: bisa jadi itu terpusat
kepada sesuatu yang lebih atas dari yang paling atas, yaitu Tuhan, itu karena
ada satu kata Gusti dalam kalimat falsafah Jawa di atas dan boleh jadi
juga, itu tertuju pada suatu center point. Dalam arti, bagaimanapun juga
Partai Murba ini harus memiliki tujuan yang positif, membangun, jelas, dan
konsisten pada tujuan awal didirikannya partai ini: sebagai wadah pembelajaran
politik berdasar pemikiran-pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga
darinya, Murba terhindar dari kesalahan-kesalahan yang telah banyak dilakukan
oleh partai-partai politik dewasa ini yang sangat kontras dengan tujuan kali
pertamanya ia didirikan.
Akan
tetapi, seiring bergantinya tahun dan periode kepemimpinan, Partai Murba
terlibat dengan pemilihan umum 1955 layaknya partai lainnya. Dipungkiri atau
tidak, di titik inilah tanda-tanda kehancuran Partai Murba mulai nampak. Dan
satu-satunya hal yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah kekecewaan.
Dalam tanda kurung, kekecewaan di sini adalah manifestasi nyata dari beberapa
pihak yang kalah dalam pemilihan, sehingga dari kekalahan itu melahirkan
tendensi-tendensi baru yang sangat kontras dengan tujuan awal berdirinya
partai, yaitu hasrat akan kekuasaan. Sehingga dengan semakin bertambah rumitnya
percaturan politik bangsa paska pemilu 1955, muncul istilah pengkambing
hitaman yang nantinya Partai Murba inilah yang menjadi sasaran utamanya
setelah PKI.
Dari
situasi yang semakin memanas tersebut, Partai Murba diklaim sebagai salah satu
partai yang tidak berasaskan pancasila. Sehingga, hal itu membuat Partai Murba
diburu dan akhirnya berakhir dengan pembekuan partai serta pemikiran-pemikiran
Tan Malaka.[4]
Dan dari kejadian itu, sesuatu yang paling perlu diperhatikan adalah
dijadikannya Pancasila sebagai alasan untuk membekukan partai. Itu merupakan
suatu titik absurd yang benar-benar terjadi di masa lalu: bagaimana hal sekecil
itu—dalam pandangan masyarakat 2013—bisa merubah nasib partai sekaliber Murba?.
[1] “Murba” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Murba diakses pada 17 desember
2013.
[2] Argawi Kandito, Tan Malaka The
leadership Secrets of (Jakarta: ONCOR, 2012) hlm. 64.
[3] Argawi Kandito, Tan Malaka The
leadership Secrets of, hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar