Satu hal yang
perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mengenai pemahaman terhadap sebuah
ideologi. Selama ini dan sampai saat ini, ideologi dasar bangsa: pancasila,
seakan hanya menjadi pajangan dan pahatan yang fungsinya telah habis. Anggapan
seperti itu muncul karena banyak kelompok yang memandang bahwa memang Pancasila
itu sebagai Satu-satunya ideologi bangsa
yang paripurna dan lestari,[1]
tetapi keduanya hanyalah tinggal bingkai sejarah. Mudahnya, Pancasila itu bisa
berfungsi sebagai problem solver dari semua problematika hanya ketika
dulu saja, pada masanya, bukan saat ini.
Padahal,
secara teori, anggapan diatas tidak bisa begitu saja dibenarkan. Karena
sesungguhnya dalam kata ideologi itu bukan berarti sebagai ideologi secara murni saja: ideologi yang
berbasis kepada nilai-nilai luhur bangsa dan latar belakang budaya Indonesia,
tetapi juga mengandung arti lainnya, yaitu arti praktis: ideologi yang
berpegang kepada pengalaman sejarah yang selalu berubah dan penuh dengan trial,
sejak mulai revolusi kemerdekaan, percobaan demokrasi liberal, percobaan
demokrasi terpimpin, periode pembangunan, dan sampai saat ini.[2]
Dan itu berarti kalau Pancasila selaku ideologi bangsa tidak lagi sebagai
pahatan tahun 45 atau teori yang hanya bisa digunakan untuk masa itu saja,
tidak. Akan tetapi, itu merupakan suatu fundamental yang bisa dijadikan rujukan
untuk semua masa tergantung bagaimana ideologi tersebut bisa dipahami secara
praksis bukan hanya murni.
Lebih dalam
lagi, ketika suatu ideologi hanya dipahami secara murni, maka hasil yang akan
muncul tidaklah berbeda dengan abstrak yang tertulis di paragraf pertama tadi.
Namun, kalau itu diimbangi dengan pemahaman secara praksis—yang lebih
mengedepankan perubahan pengalaman-pengalaman sejarahnya—maka hasilnya pasti
akan lebih baik. Hal itu bisa diibaratkan dengan pendekatan normatif dan
historis dalam memahami sebuah agama. pendekatan historis saja tanpa normatif
akan kabur, begitu juga dengan praktis saja tanpa murni. Dengan demikian, kedua
hal tersebut harus saling menunjuk, kemudian bekerja sesuai tempatnya
masing-masing. Karena dengan adanya balance antara keduanya, Pancasila
tidak lagi dianggap sebagai suatu yang basi dan tidak lagi perlu untuk disebut,
tidak. Akan tetapi justru Pancasila akan selalu dikejar untuk bertanggung jawab
dalam penyelesaian bermacam problematika bangsa.
Dan akhirnya,
jika pola pikir bangsa sudah diatur sedemikian rupa, maka untuk sekedar tidak
melibatkan atau menyebut Pancasila dalam setiap problematika bangsa saja
merupakan suatu kesalahan yang besar. Jadi, disamping masyarakat bisa berfikir
kembali untuk menyelesaikan masalah berdasarkan Pancasila, itu juga bisa berdampak
pada pemulihan anggapan masyarakat Indonesia yang selama ini bisa dikata telah
melupakan Pancasila.
Kemudian,
darinya, secara otomatis, bagaimanapun juga jika pikiran sudah terstruktur
dengan basis pancasila, cara berfikirnya pun pasti merujuk kepada nilai-nilai
Pancasila. Dan hal inilah yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan Indonesia
dewasa ini. Itu semua tidak akan menjadi spekulasi semata jika Pancasila bisa
lebih sering untuk disebut, dipermasalahkan, dan disangkutpautkan oleh para
pemimpin bangsa khususnya dan oleh segenap masyarakat umumnya dan sebagai
contoh konkritnya: alangkah lebih indahnya jika dalam setiap sidang-sidang soal
rakyat oleh DPR, MPR, dan segenap lapisan badan formal negara diawali dengan
pembacaan dan pereneungan sejenak tentang Pancasila. Itu tak lain agar
terciptanya nuansa yang benar-benar Pancasila di Indonesia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar