Selasa, 31 Desember 2013

Natural Itu Tidak Baik (As The Suitable Response to The Pragmatisme)

Semalaman kemarin, saya dipertemukan dengan seorang cowok berpenampilan necis dan sangat tidak kelihatan betapa cakap cowok tersebut. Iya, dia adalah salah satu senior di KPMRT, namanya pak Zubair. Saya bertemu dengannya ketika diajak ngobrol-ngobrol oleh pak David dan pak Ihsan di Red kafe, daerah Tuban, Jawa Timur. Dan sepertinya tanpa banyak saya sadari, ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari C.O. Indosat cabang daerah Tuban ini.
Dari semua hal yang menurut saya luar biasa itu, ada beberapa yang sampai saat ini membuat otak saya selalu berfikir akan itu. Adalah tentang bagaimana kita memandang arti kata natural. Kali pertama hal itu dikatakan olehnya apapun yang natural itu tidak baik. Meskipun hal itu memang terkesan jujur dan apa adanya, tetapi sulit dirasa jika hanya dengan natural, seseorang bisa melesat dan berproses di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin berwajah majemuk ini. Jadi, untuk bisa menjadi seseorang yang maju dalam hal gerak, respon, dan pikiran tidak cukup hanya dengan modal apa adanya. Dalam arti, semua itu harus membutuhkan strategi. Dan di titik inilah natural menjadi bencana besar karena strategi yang paling baik adalah strategi yang ada maunya atau tidak natural dan apa adanya. Bisa juga, hal itu disebut sebagai manifestasi dari pragmatisme masyarakat dewasa ini.
Lebih dalam lagi, berbincang tentang pragmatis—karena pola pikir masyarakat kebanyakan dewasa ini adalah pragmatis—apapun yang sedang dan akan mereka lakukan pasti mempunyai tujuan tempat mereka bisa memperoleh keuntungan tersendiri. Mudahnya, seseorang tidak akan melakukan sesuatu jika dia tidak bisa memperoleh keuntungan apapun dari hal tersebut. Selanjutnya, ketika hal itu dihubungkan dengan natural, hasilnya sudah jelas: tidak sinkron. Natural menuntut seseorang untuk apa adanya, tanpa ada maunya, dan pasrah, sedangkan pragmatisme menuntut seseorang untuk meraih sesuatu dan ada maunya. Sehingga, bagaimanapun juga—jika dilihat dari konteks masa kini—seseorang akan menjadi sangat bodoh ketika dia masih berbuat natural. Natural itu tidak baik.
Seperti halnya itu, jika kita amati secara luas, sesungguhnya manusia sejak dulu sudah diajari untuk tidak natural. Adalah tentang alasan mengapa manusia sampai saat ini masih mengenakan pakaian. Iya, jawabannya sudahlah jelas: itulah salah satu bahwa manusia tidak bisa hidup natural. Darinya, bisa dibayangkan: bagaimana jadinya jika semua manusia itu natural dan tidak mengenakan pakaiannya, pasti semua itu akan terlihat sangat saru, bahkan hal itu sulit untuk disebut sebagai human being. Selain itu, dampak lain yang terasa dengan hadirnya naturalisasi adalah kerancauan dalam memahami keindahan. Hal itu bisa dilihat dari contoh sebelumnya tadi: apakah manusia akan kelihatan indah jika tidak mengenakan sehelai kain pun? Kemudian, apakah mobil avanza akan terlihat sama ketika sudah dimodif dengan ban sport, racing necis, dan sebagainya? Seorang yang jiwanya masih indah, pasti akan menjawab tidak. Jadi, dengan menjadi tidak natural—dalam lebih banyak hal—pasti berdampak kepada sesuatu yang lebih baik.

Di sisi lain, di dalam Islam, sering sekali saya mendengar tentang anjuran untuk tidak mencukur jenggot, menyemir rambut dengan semir hitam, dan sebagainya karena sebuah alasan yang cukup klasik: pencitraan Islam. Jika itu dilihat dengan seksama, ada garis linier antara hal itu dengan perihal di paragraf-paragraf sebelumnya. Adalah tentang naturalisasi. Seandainya waktu itu Rasul apa adanya, pasti Rasul tidak mengucapkan beberapa patah kata tersebut dan tidak berharap Islam harus berbeda dengan Nasrani. Akan tetapi, kenyataannya, ucapan Rasul itu sampai sekarang terbingkai dalam hadist sohih menurut Imam Bukhori. Dengan demikian, hal itu bisa disimpulkan: sejak dulu pun untuk mencapai sebuah tujuan yang baik, bukan berarti tidak natural adalah sesuatu yang tidak baik dan sangat mungkin justru dengan natural itulah semuanya akan menjadi tidak baik. Natural itu gelap. Zev311213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar