Salah
satu alasan yang paling bisa diterima dengan mudah oleh semua orang,
lebih-lebih untuk para cendekiawan mengenai tradisi manganan adalah
kebersamaan. Karena semua ritual-ritual yang selama ini menjadi satu-satunya
alasan mengapa tradisi ini harus dipertahankan tidak bisa lepas dari satu unsur
tersebut, kebersamaan. Selain itu, dari kebersmaan itu muncullah beberapa
istilah lainnya, yaitu gotong-royong, kerukunan, dan pastinya adalah
keharmonisan. Sehingga, jika tujuan awal dari tradisi klasik ini adalah hal-hal
di atas, maka tidak ada alasan lain mengapa harus melupakan dan bahkan sebelah
mata tradisi ini dengan kacamata agama.
Berbicara
mengenai agama, sebenarnya dalam agama—secara historis—tidaklah melarang adanya
hal-hal yang sinkret layaknya itu. Bahkan sebenarnya, agamalah yang
harus menjinakkan dirinya sendiri.[1]
Dalam arti, agama harus sebisa mungkin untuk mengalah dengan budaya setempat
yang keadaannya lebih dahulu eksistensinya dari pada agama itu sendiri.
Sekilas, hal itu memang terkesan menyudutkan agama ke dalam ruang tak berpintu,
tetapi jika dipikirkan lebih cenderung kepada sisi aksiologisnya, maka hasilnya
akan berbeda. Agama mengalah bukan tanpa alasan, namun itu membawa satu alasan
yang kelihatannya hanya dengan itulah islam menjadi lebih bisa dipandang
layaknya sebuah agama.[2]
Kembali
kepada tradisi manganan, dalam beberapa ritual yang terjalani, ada
beberapa yang ganjil dalam pandangan Islam, pembakaran dupa. Akan tetapi,
karena itu masih kalah terang dengan manfaat yang lahir darinya, maka masihlah
tetap sama: tradisi ini perlu dibudidayakan. Kenyamanan dan kerukunan
masyarakat dalam menjalani tradisi itu menjadi prioritas terdepan mengapa ini
harus dibudidayakan. Hal itu pulalah yang sesuai dengan apa yang ditulis
Grunebaum dalam artikelnya: agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh
pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu yang telah terkait erat dengan
dunia mereka.[3]
Di
wilayah lain, dalam manganan ada momen tempat saling menukar jajanan
atau makanan yang telah dibawa oleh masing-masing masyarakat. Secara tersirat,
melalui satu potret ini, bisa dikata kalau ritual ini juga memiliki fungsi yang
sama dengan adanya zakat atau qurban dalam Islam. Zakat dan qurban diwajibkan
dalam Islam kepada pihak-pihak dengan tujuan supaya terciptanya persamaan rasa
antara orang-orang yang mampu dan yang tidak mampu. Dalam arti, dengan adanya
zakat dan qurban diharapkan warga-warga yang tidak mampu bisa merasakan
bagaimana enaknya makan daging dan bagaimana bahagianya jika sesuatu yang bisa
mengepulkan asap dapur itu selalu ada. Seperti halnya itu, dari momen penukaran
berkat, warga yang kurang mampu bisa memilih berkat-berkat yang lebih istimewa dari punyanya. Dan hal
itu ternyata sudah ada dalam manganan dan mungkin itu juga yang
menjadikan tradisi ini mempunyai fungsi stimulus layaknya agama dalam pandangan
Robertson Smith.[4]
Itu bisa menjadi alasan tertentu mengapa masyarakat selalu bersemangat untuk
manganan.
Dengan
demikian, tidaklah salah, jika manganan masihlah menjadi tradisi
istimewa di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur. Dan dalam hal ini corak yang
diambil adalah dari desa Kemuning, Semanding, Tuban, Jawa Timur.
[1] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny.
Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan
Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
[2] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam:
The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.
[3]
Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah,
Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat
Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar