Sepertinya sudah beberapa dekade ini, kata haji yang
sering dijadikan gelar di depan nama orang-orang yang pernah haji menjadi buah
bibir di kalangan tertentu. Itu disebabkan oleh adanya ketimpangan di dalamnya.
Dalam arti, seseorang yang sudah bergelar haji bagaimanapun juga harus
bertingkah dan berinteraksi layaknya seorang haji. Akan tetapi yang terjadi di
dalamnya berbeda: semua harapan tentang itu tidak sesuai dengan kenyataannya.
Bahkan kenyataan akan itu malah kontras dengan sesuatu yang diharapkan dalam
kata haji tersebut. Dengan demikian tidaklah salah jika gelar haji, dewasa ini,
dipandang sangat miring dan tidak sesuai dengan harapan. Hal itulah yang layak
disebut sebagai masalah: antara das sein dan das sollen tidak senada.
Dalam sejarahnya, gelar haji ada bukan tanpa sebab.
Hal tersebut sudah ada sejak kali pertama Indonesia dijajah oleh Belanda. Haji
ketika itu adalah sesuatu yang sangat langka, boleh jadi dalam satu kota hanya
ada seorang yang berangkat haji. Dan itu disebabkan oleh sulitnya transportasi
dan pastinya adalah biaya untuk pergi ke Makkah ketika itu. Sehingga ibadah ini
hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mampu dalam banyak
hal: biaya, pengetahuan, dan keberanian. Selain itu, dulu, haji pun adalah salah
satu kegiatan yang dikecam pemerintah Belanda karena dicurigai darinya bisa
melahirkan benih-benih pemberontak dan pemikir yang mampu menggulingkan
Belanda. Jadi, merespon itu sebagai manifestasi akan kecurigaan tersebut
Belanda mewajibkan siapapun yang pernah berangkat haji harus diberi gelar di
depan namanya kata: haji. Dalam bahasa lainnya, hal itu adalah sebagai monitoring
supaya mereka tidak macam-macam dengan Belanda.
Berkenaan dengan itu, bisa sedikit dicerahkan bahwa
memang orang-orang yang haji dulu dan mendapat gelar haji secara paksa oleh
Belanda adalah orang-orang yang tidak sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh
yang pemberani, cerdas, dan baik penghayatan keagamaannya, sehingga belanda pun
perlu memberi mereka pengawasan tersendiri buat mereka. Selain itu, jika hal
itu diamati sekali lagi, maka satu hal yang ganjil, yaitu tentang pemaksaan
gelar. Ternyata gelar haji yang selama ini banyak dibangga-banggakan itu,
dulunya, adalah suatu gelar yang sangat tidak diinginkan oleh para pahlawan-pahlawan
bangsa. Darinya muncul pertanyaan susulan: mengapa sesuatu yang dulunya sangat
tidak diinginkan oleh tokoh-tokoh berkaliber seperti mereka, sekarang malah
dicari-cari bahkan dijadikan tujuan utama? entahlah
Merespon itu, bagaimanapun juga itu adalah masalah hak
masing-masing individu. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya—meski gelar haji
masihlah banyak dijadikan prioritas utama—jika yang harus mendapat gelar bukan
hanya siapa itu yang pernah berangkat haji, namun siapa saja yang baru saja melakukan
sholat, zakat, dan puasa harus juga mendapatkan satu gelar: S untuk sholat, Z
untuk zakat, dan seterusnya. Sehingga dengan hal itu sesuatu yang timbul itu
bukanlah ketimpangan, tetapi keselarasan. Keselarasan antara yang kaya: yang
bisa haji dan mendapat gelar dengan yang miskin: yang tidak bisa mendapat gelar
haji, tetapi bisa mendapat gelar yang lebih banyak, yaitu S, Z, dan P.Zev121213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar