Dari berbagai Aspek yang telah dijelaskan: mulai dari unsur kebersamaan,
kerukunan, perhatian, dan sebagainnya, yang sudah terkover dalam satu ritual
ini, dalam kacamata Islam ritual ini masih dipandang baik-baik saja. Karena
semua itu memiliki dampak positif seperti apa yang diinginkan Islam pada
umumnya, yaitu kemaslahatan. Selain itu, dewasa ini, hal seperti itu juga tidak
sampai membawa seseorang untuk meninggalkan ajaran monoteismenya. Meskipun,
mereka makan-makan di pemakaman leluhur, tetapi nuansa yang ada masihlah
cenderung kepada nuansa Islami. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana cara mereka
berpakaian—menggunakan peci dan sarung—dan bagaimana cara mereka mengirim doa
agar diberi keselamatan: melalui doa-doa dalam Islam. Dengan demikian sampai
pada titik ini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Akan tetapi jika manganan dilihat lebih perinci, ada satu hal yang masih
ganjil dibenak kebanyakan muslim: adanya sesaji. Dalam satu pihak, dengan adanya sesaji, itu
berarti mengakui adanya kekuatan yang maha kecuali Allah atau mudahnya adalah
syirik. Sehingga kepercayaan masyarakat dalam pengesaan Tuhan itu tidaklah
murni dan total karena ada unsur lain yang dipercaya bisa menghindarkan mereka
dari apapun yang tidak mereka inginkan. Dalam arti, sesuatu yang dimohon itu
bukanlah Allah , tetapi roh leluhur tersebut. Dan hal tersebut sangatlah tidak
dipebolehkan dalam Islam sebab yang hanya boleh dimintai pertolongan adalah
Allah semata.
Merespon itu, ada beberapa metode memandang Islam dalam tradisi
tersebut. Pertama adalah pendekatan konvensional,[1]
yaitu pendekatan yang bersifat ekslusif, tertutup pada aspek tunggal, dan tidak
menerima interkoneksi dengan aspek lainya. Sehingga darinya, satu-satunya
kesimpulan yang ada adalah boleh dengan syarat: unsur sesaji harus dihapus.
Namun, jika hal ini benar-benar diaplikasikan, maka bukanlah penyelasaian yang
timbul, tetapi justru sebuah permaslahan baru akibat dari penghapusan sesaji.
Kedua adalah multidimensional,[2]
pendekatan yang lebih bisa terbuka, bersifat inklusif, dan mampu menerima aspek
lain untuk terlibat di dalamnya. Dalam arti, pendekatan ini juga harus dipahami dari banyak aspek sehingga dengan itu
bisa diambil suatu kesimpulan yang objektif dan bisa diterima oleh masyarakat
banyak. Berkenaan dengan itu, melalui
kacamata ini, sebelum diputuskan bahwa unsur sesaji itu harus dihapuskan, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Dan itu adalah sisi
budaya dan sisi tujuannya. Dengan demikian, ketika dari berbagai aspek sudah dikaji
kemudian baru disimpulkan, maka pasti hasilnya akan lebih memuaskan.
Dari sisi budaya, ritual ini—manganan—tidak bisa lepas dari sejarah
bagaimana manganan ini bisa ada dan menjadi tradisi. Kali pertamanya, manganan
ada hanyalah sebatas sebagai ekspresi nyata dari kepercayaan masyarakat
Jawa—khususnya daerah Tuban dan sekitarnya—akan hadirnya roh-roh yang dipercaya
bisa berdampak baik bagi kehidupan mereka.[3]
Namun, seiring berjalannya waktu dan pupusnya ajaran hindu dan jawa didalam
ritual tersebut, masyarakat Jawa mengambil satu simbol sesaji tersebut hanyalah
sebagi bentuk penghargaan terhadap tradisi mereka bukan sebagai wujud
kepercayaan mereka secara murni. Jadi, meskipun mereka membuat sesaji
ditengah-tengah manganan, bukan berarti mereka langsung mengalihkan keimanan
mereka kepada roh-roh leluhur, tidak. Hal itu dilakukan hanyalah sebagai wujud
penghargaan mereka terhadap tradisi yang selama berabad-abad mengayomi mereka
dalam sebuah wadah pemicu kebersamaan dan kerukunan: manganan.
Selain itu, masih di wilayah budaya, selama ini manganan dipandang telah
sukses untuk membuat pemandangan daerah tersebut menjadi nyaman, aman, dan
rukun. Itu ada karena alur jalannya ritual tidak bisa lepas dari unsur-unsur
yang sarat akan kebersamaan, saling berbagi, dan saling peduli. Sampai
dikatakan, itu adalah simbol keselarasan antara masyarakat yang kurang mampu
dengan yang kaya: masyarakat yang kurang mampu bisa merasa sederajat ketika
berbaur dalam ritual ini. Dengan demikian, di titik inilah Islam benar-benar
bisa ditemukan.
Selanjutnya adalah di wilayah tujuan. Dalam paragraf ini, singkat kata,
adanya sesaji tak lebih hanyalah sebagai perantara atau wasilah bukan tujuan
utama. Jika hal ini dipandang sebagai tujuan utama, maka jelas sudah kalau
ritual ini bertentangan dengan norma Islam. Akan tetapi karena memang tujuan
utama dari adanya sesaji adalah sebagai pendorong atau sesuatu untuk
mempermudah seseorang agar bisa yakin sepenuhnya akan adanya satu dzat yang
esa: Allah, maka tidak ada alasan untuk menolak satu hal ini.[4]
Padahal juga, muslim dewasa ini tidak akan semudah itu beralih kepercayaan
hanya gara-gara adanya sesaji dalam manganan. Selain itu, jika memang yang
dipermasalahkan adalah kepercayaan atau akidah, maka sebelum menjawab soal
tersebut, satu hal yang perlu diingat: kepercayaan itu berkenaan dengan hati
yang sangat dinamis dan tidak bisa dipastikan.
Mengenai teori-teori pendukung,
ada Beberapa hal penting yang harus ada dalam merespon tradisi ini, antara lain:[5]
a.
Tradisi yang sudah ada,
jika mengandung nilai positif dan tidak berseberangan dengan norma Islam, tidak
usah diutak-atik.
b.
Menghilangakn
unsur-unsur yang negatif, ada momen untuk menyakiti diri sendiri misalnya.
Sebisa mungkin, perlahan semua itu harus dipupuskan.
c.
Jika tradisi dipandang
bisa membahayakan kultur, perlahan semua itu harus dirubah hingga mempunyai
core yang sama dengan Islam: rahmatan lil alam.
Dan dari ketga teori diatas, jika
dihubungkan dengan uraian sebelumnya, maka hasilnya positif: tidak ada alasan
untuk menolak tradisi tersebut meski dengan adanya sesaji.
Pada akhirnya, meminjam istilah
Bapak Munawwir Sadzali: itu seperti halnya anggur di dalam botol, anggurnya
dibuang dan diganti dengan air,[6]
maka dari semua uraian di atas bisa digaris bawahi bahwa yang terpenting dalam
ritual apapun itu adalah inti darinya. Manganan itu menjalankan Islam dengan
kemasan Jawa.
[1] M. Amien Rais (ed.), Islam
di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994), hlm. 89.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar