Alhamdulillah,
Hari ini, saya ditraktir Jiyah, teman kampus saya, untuk makan di Ayam Penyet
Surabaya cabang Jogjakarta. Dia minggu kemaren ulang tahun dan baru hari ini
acara tahunan itu dirayakan. Di waktu yang sama, hal itu mempertemukan saya
dengan orang-orang kelas atas yang sedang asyik menikmati menu yang telah
disajikan. Dan hipotesis sementara saya, orang-orang—dalam pengamatan saya—yang
kebanyakan sipit itu bukanlah muslim. Dan lagi lagi hal tersebut membuat
saya diam sejenak: mengapa mereka tidak memilih restoran yang menyediakan babi
saja ya? Bukannya banyak digemborkan daging babi lebih nikmat dan lezat?
Entahlah, boleh jadi mereka sedang krisis keuangan dan memilih yang lebih
murah.
Akan
tetapi bukanlah masalah harga yang saya tekankan dalam catatan saya kali ini, namun
mengenai daging babi yang menjadi salah satu makanan khas mereka. Daging babi
menurut kepercayaan saya sebelum ini adalah suatu penyakit. Dalam arti, daging
babi diharamkan secara jelas dengan alasan kandungan yang ada di dalamnya,
yaitu adalah cacing pita. Dan dari cacing pita inilah, daging babi berpotensi
mengandung banyak sekali penyakit yang sangat membahayakan bagi kesehatan
manusia. Selain itu, itu diharamkan juga karena pola hidupnya yang sangat
menjijikkan: hidup dilumpur dan makan kotorannya sendiri. Dan karena alasan itu
pulalah mengapa babi diharamkan dalam Islam. Hal itu juga yang menurut
keyakinan saya sebelum ini adalah illat hukum dari hukum haramnya
memakan babi.
Kemudian
jika saya hubungkan dengan paragraf yang pertama, maka ada sesuatu yang bagi
saya sangat mengherankan. Itu adalah tentang orang-orang non-muslim yang sering
mengkonsumsi daging babi. Pertanyaannya: mengapa mereka masih sehat seperti itu
dan bahkan lebih bugar dari kebanyakan muslim yang sering berpuasa? Dan boleh
jadi, gara-gara memikirkan jawaban ini saya tidak bisa menikmati sajian ayam
penyet di depan saya tadi. Dan sampai
malam ini, kesimpulan yang saya dapat dari hal itu adalah kurang tepatnya illat
hukum yang dijatuhkan kepada babi, karena, jika babi dikata seperti di
paragraf kedua tadi, pasti umur mereka tidak akan lama. Akan tetapi
kenyataannya berbeda: mereka baik-baik saja. Selain itu, seiring dengan semakin
tingginya bangunan-bangunan perkotaan, sekarang banyak dijumpai
peternakan-peternakan babi tempat babi dirawat layaknya kucing peliharaan. Di
dalamnya mereka tidak lagi hidup dilumpur yang kotor dan makan kotorannya
sendiri, namun hidup dengan kehidupan layaknya peternakan: lumpur yang sudah
tersterilkan, makanan khusus babi, dan sebagainya. Dengan demikian, berdasar
paragraf ini, alasan diharamkannya babi dengan alasan pola hidupnya yang seperti
itu dirasa kuranglah tepat. Hipotesis itu menimbulkan satu pertanyaan susulan:
lantas, apa yang dijadikan illat hukum diharamkannya babi kalau bukan
hal itu?
Untuk
itu, masih segar dalam ingatan saya tentang wejangan Bapak Muhdlir kemaren
tentang illat hukumnya sapi yang diharamkan di agama Hindu. Di waktu itu
juga, beliau menyangkutkan kata babi di dalamnya. Itu dijelaskan bahwa
sebagaimana diharamkannya sapi bagi warga Hindu, diharamkannya babi itu sudah
ada semenjak masanya Nabi Musa dengan warga Yahudinya. Dan menurut pendapat
yang dijelaskan, alasan utama diharamkannya babi ketika itu adalah karena
seringnya dewa-dewa yang menjelma menjadi babi atau merasuki raga seekor babi.
Sehingga, bagaimanapun juga, sebab konsepsi Tuhan ketika itu adalah berwujud
dewa, maka suatu hal yang bodoh jika mereka memakan daging Tuhannya sendiri.
Meski itu hanyalah jelmaan. Akan tetapi entahlah.
Dan
akhirnya, meski saya tidak bisa memberi kesimpulan, itu bisa dipandang bahwa
kajian ulang mengenai illat hukum diharamkannya babi masih sangatlah
penting. Di samping itu sebagai pengetahuan baru, itu juga bisa menjadi salah
satu alternatif untuk menyikapi permasalahan beberapa tahun silam tentang fatwa
haram MUI kepada produk Ajinomoto yang diklaim ada kandungan minyak babinya.
Tidak menutup kemungkinan, hal serupa pasti ditemukan besok. Zev181113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar