Jika
benda bergerak ke kanan, maka bayangnya pun bergerak ke kanan. Hal itu juga
membuat sebuah kereta bisa berjalan karena adanya rel. Seandainya kereta api
tidak mempunyai rel, maka adanya itu tidak mungkin karena sama dengan
ketiadaannya. Begitu juga dengan bayangan, bayangan tanpa sumber bayangan itu
juga ketidakmungkinan. Dengan demikian di antara keduanya itu satu. Satu dalam
suatu masa dan entitas yang sama.
Dan
masih satu inti dengan itu, begitu juga dengan Tuhan. Menurut al-Farabi dan
Avicena dengan teori emanasinya—teori pemancaran—Adanya Tuhan itu tidak lepas
dari zaman dan dzat. Teori tersebut bercabang ganda: satu, mengenai kekodiman
Tuhan yang hanya pada dzatnya saja dan dua, mengenai dzat dan zaman. Dan di
dalam kedua pendapat tersebut menurut saya memiliki core yang sama tempat alam
ini dipandang qodim, sama halnya dengan Tuhan.
Lebih
detailnya, pendapat pertama dijelaskan bahwa kodimnya Tuhan itu hanya pada
dzatnya saja, sedangkan zamannya tidak. Hal tersebut disebabkan adanya sebuah
keharusan kebersamaan antara Tuhan dan zamannya. Tuhan ada tanpa adanya sebuah
masa adalah ketidakmungkinan—seperti bayangan dan bendanya tadi—sehingga
bagaimanapun juga dzat Tuhan yang kodim pasti bersamaan dengan zamannya.
Kemudian jika keduanya bersama,itu menimbulkan kemungkinan ganda: pertama,
keduanya sama-sama hadist atau baru dan kedua, keduanya qodim. Dan karena dzat
Tuhan tidaklah mungkin baru, maka kesimpulan yang paling tepat adalah
kesimpulan yang pertama, yaitu antara Tuhan zamannya—alam ini—adalah sesuatu
yang sama-sama qodim.
Berlanjut
kepada pendapat yang kedua, yaitu Tuhan itu kodim secara dzat dan zaman. Hal
itu menimbulkan suatu kesimpulan bahwa Tuhan itu lebih dulu dari alam ini dari
segi zamannya. Ini berarti bahwa sebelum ada zaman, telah ada suatu zaman
lain—zaman al-adam—dan hal ini adalah ketidakmungkinan. Bagaimapun juga sebelum
ada zaman untuk alam ini sudahlah ada suatu zaman untuk Tuhan, dan apapun nama
zaman itu masihlah juga dinamakan sebuah waktu atau zaman. Dengan demikian,
kesimpulan untuk paragraf ini tidaklah jauh dengan kesimpulan pargarf
sebelumnya: Tuhan qodim dengan zamannya yang kodim. Alam ini Kodim.
Masih
dalam ruangan ini, Ghozali memberikan suatu corak lain yang bergerak berlawanan
dengan pemikiran di atas. Itu adalah tentang pembedaan antara zaman untuk alam
ini dan zaman untuk Tuhan. Zaman untuk Tuhan itu satu dengan Tuhan itu
sendiri—sama dengan kalam Tuhan yang satu dengan-Nya—sehingga hal itu dirasa
kurang tepat jika dipandang adanya kesamaan antara zaman untuk alam ini dna
zaman untuk Tuhan.
Dan
sekarang, untuk hari ini, saya memikirkan, alangkah lebih baiknya jika pendapat
yang mengatakan: bagaimanapun juga Tuhan pasti terikat dengan zaman, itu
dihilangkan. Sehingga—mengutip bahasanya Pak Muhdlir—semua ini rampung. Tuhan
itu tidak mempunyai waktu dan tempat, keadaannya karena ke-Tuhanannya itu
sendiri bukan karena perluanya zaman yang menaungi ataupun tempat. Dalam
wilayah lain, jika Tuhan dipandang masih bersama zaman, maka pandangan yang
harus diambil juga adalah bahwa Tuhan bersama tempat. Dan hal itu adalah
mustahil. Dengan demikian Tuhan dengan zaman juga mustahil.zev171113
[1] Abuddin Nata, 1993, ILMU
KALAM, FILSAFAT, DAN TASAWUF, Jakarta Utara: RajaGrafindo Persada, hlm. 97.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar