Untuk kali
kesekiannya, pikiran saya yang selama ini sudah saya klaim terbuka, dibuka lagi
dengan kesimpulan Bapak Muhdlir tadi sore. Seperti biasanya, pelajaran yang
mulanya adalah bahasa Arab selalu beliau isi dengan penyampaian
pemikiran-pemikiran luar biasanya. Dan dalam kesempatan kali ini beliau
memupuskan kebosanan teman-teman sekelas saya dengan pendapat beliau tentang
pentingnya menemukan alasan mengapa suatu hukum harus dihukumi baik atau buruk.
Adalah tentang
anjuran membunuh cicak. Dari sini, saya teringat beberapa tahun silam. Dulu
saya pernah terlibat dengan perbincangan serius mengenai wajibnya membunuh
cicak. Di waktu yang sama saya sama sekali tidak mengenali apa itu hadist
sohih, dloif, dan sebagainya. Yang ada dalam benak saya saat itu hanyalah
kesimpulan bahwa jika kita mengaku muslim, maka harus membunuh cicak. Alasannya
cukup simpel: karena cicak memberitahu orang-orang quraish tempat persembunyian
nabi ketika nabi dikejar-kejar oleh mereka. Hal itu membumi dalam benak saya
dan baru tadi sore pikiran itu terbuka untuk kali kesekiannya.
Akan tetapi alasan
yang benar mengapa cicak halal untuk dibunuh bahkan dianjurkan adalah karena
ulah nakalnya meniup api yang membakar Nabi Ibrahim tempo dulu. Imam Bukhori
dan Muslim menceritakan: ketika nabi Ibrahim dilempar oleh umatnya ke dalam
kobaran api; semua hewan bersusah payah untuk memadamkan apinya kecuali
cicak—cicak malah meniupnya—sehingga dari bingkai sejarah yang sangat perlu
untuk dibahas itu cicak dianjurkan untuk dibunuh.
Dari paragraf tersebut
muncul beberapa pertanyaan terkait. Pertama: bagaimana gambaran konkrit dari
keadaan cicak yang sedang meniup? Toh, meskipun itu benar-benar terjadi apakah
efek yang ditimbulkan dari tiupan hewan sekecil cicak tadi benar bisa
membesarkan kobaran api?. Bersambung dengan itu bukannya dalam beberapa cerita
juga sudah diceritakan bahwa Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang kebal
dengan api, jadi meski gajah pun misalnya, waktu itu ikut meniup kobaran api
bisa dipastikan kobaran api itu tidak sampai melukai tubuh Ibrahim. Sampai di
sini saya masih belum menemukan titik pencerahan.
Pertanyaan kedua,
yaitu berapakah jumlah cicak yang meniup api tersebut? Apakah semua cicak
sedunia berkumpul dan bersama-sama meniup api Ibrahim? Kalau memang iya, apakah
cicak-cicak yang terlibat dalam tragedi itu masih hidup sampai sekarang? Kalau
sudah mati, mengapa masih saja ada anjuran untuk membunuh cicak secara mutlak?
Kemudian, apakah dalam hukum cicak, semua anak cicak itu terbebani dengan
dosa-dosa nenek moyangnya? Sejak kapan? Toh, dalam hukum manusia saja, status
bayi hasil zina masihlah suci dan muslim.
Pertanyaan ketiga:
Bagaimanakah gambaran nyata hewan-hewan lainnya saat berusaha memadamkan api
Ibrahim? Apakah dengan berbondong-bondong mencari air? Atau bagaimana?
Entahlah. Sehingga dari semua tanda tanya itu, hipotesis saya mengatakan:
Hadist Sohih ini mengajak kita untuk semakin mendramatisir kehidupan yang sudah
mendrama ini. Saya memandang hadist itu mengajak kita untuk memasalahkan
sesuatu yang tidak masalah. Semua makhluk hidup mempunyai hak untuk hidup
dengan damai, begitupun dengan cicak. bagaimanapun juga cicak perlu dibela dan
lestarikan.
Dan dalam ruang ini,
saya sepakat dengan kesimpulan Bapak Muhdlir di awal tadi: semua hadis sohih
tidak berarti adalah sebuah anjuran atau bahkan kewajiban. Pemahaman masyarakat
umum yang pernah saya rasakan dulu perlu untuk diperbarui. Pengetahuan akan
alasan mengapa sebuah hadist menetapkan hukum baik atau buruk harus diselidiki
terlebih dahulu meskipun itu sohih. Zev061113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar