Sedari
tadi malam, ada sesuatu yang terasa lucu dalam benak saya sampai sore ini.
Adalah tentang pertanyaan spontan Iwan Nasrullah, teman sekontrak saya yang
juga jebolan Mambaus Sholihin. Pertanyaan itu simpel, tetapi sangat
menggelikan, yaitu: apa puasa tasyua itu? apa manfaatnya? Dan karena saya pun
tidak tahu secara bahasa atau istilah pengertian serta manfaat dari tasyua dan
asyuro, maka spontan juga saya menjawab: tidak ada manfaatnya kok. Dan
ternyata, jawaban saya tadi benar-benar direspon. Iwan tidak ikut berpuasa hari
ini, entah karena tidak minat atau yang lainnya.
Masih
dalam ruang lingkup pertama, di luar dugaan saya, di kelas, Bapak Muhdlir juga
memicu kami untuk berfikir sejenak mengenai puasa yang hari ini saya lakukan.
Sebelumnya, hal tersebut membuat saya ragu: karena takut tidak minat untuk
berpuasa lagi dengan mendengar pemikiran-pemikiran beliau. Namun, ternyata
beliau memberi ruangan yang berbeda untuk kali ini. Hal itu dimanifestasikan
dengan lebih memihaknya beliau kepada pemikiran saya dan teman-teman dari pada
pemikirannya. Beliau sekedar memberi wacana mengenai hadist yang berhubungan
dengan asal mula dianjurkannya dua puasa ini.
Wacana
itu terkait dengan hadist yang menyiratkan mengapa dua puasa ini dianjurkan.
Ternyata, jauh dari bacaan saya, melalui hadist ini dijelaskan bahwa sebab
adanya puasa asyuro ini adalah tindakan ikut-ikutannya Rosul terhadap budaya
masyarakat setempat yang ketika itu sedang berpuasa di hari yang sama. Jadi,
puasa asyuro ada karena adanya puasa yang terlebih dahulu dibudayakan oleh
masyarakat ketika itu. Dan mereka tak lain adalah orang-orang yahudi. Puasa
yang sekarang dilakukan oleh banyak orang ini berdasar kepada kebiasaan orang
yahudi. Meskipun alasan awal orang Yahudi ini juga kepada puasanya Nabi Musa
paska kemenangannya atas Firaun, tetap saja masih terasa tidak nyaman karena
terkesan meniru salah satu budaya Yahudi.
Maka
dari itu, dalam cerita yang tertulis karena disadari adanya ketidaknyamanan—disebabkan
adanya kesamaan antara dua komunitas yang berbeda keyakinan—maka dengan penuh
kebijaksanaan, Rosul menambah jumlah puasanya, yang awalnya hanya tanggal
sepuluh Muharrom menjadi sepuluh dan sembilan Muharrom. Dengan demikian
lahirlah puasa Tasyua. Puasa Tasyua ada hanya sebagai pembeda supaya Islam
memang mempunyai sesuatu yang sendiri dan tidak meniru. Dan boleh jadi, inilah
ekspresi serta bukti kalau ternyata kadar ikutnya Rosul terhadap budaya Yahudi
lebih banyak dari pada terhadap puasanya Nabi Musa. Seandainya ketika itu
diyakini bahwa frame yang diikuti adalah Nabi Musa, maka ketiadaan puasa
sebelumnya dipandang lebih sesuai.
Sehingga
dari semua itu, muncul pertanyaan—yang tadi juga beliau tanyakan kepada saya
dan teman-teman—tentang pantas tidaknya dua puasa ini dijatuhi hukum,
mengetahui sumber hukumnya—yang dari hadist tadi—seperti itu adanya. Dan jika
dipikir sebentar, maka tidak ada alasan yang kuat mengapa hanya dengan kejadian
tersebut, dua puasa ini dianjurkan atau bahkan sangat dianjurkan (dilihat dari
manfaat-manfaat yang terulis).
Masih
mengenai ini, saya teringat sesuatu. Adalah tentang hadist, saya barusan tahu
kalau hadist tidak semuanya mempunyai nilai-nilai hukum. Dan mungkin ini salah
satunya. Kemudian, ketika sebuah hadist sudah banyak dinyana tidak mempunyai
nilai-nilai sebagai dasar hukum, apakah masih perlu untuk dikerjakan? Saya tadi
menjawab masih. Namun, tidak tahu untuk lainnya. Semua tergantung takwil dari
pribadi teman-teman. Toh, ada beberapa ayat Quran pun yang sekarang jauh dari
nilai hukum dan kenyataan yang ada untuk hari ini. Itu adalah tentang teori
kedataran bumi yang tersirat dari cerita Dzulkurnain dalam Quran, entahlah.zev131113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar