Rabu, 13 November 2013

Tasyua dan Asyuro (Apakah Hadist Terkait Bisa Dijadikan Sebagai Dasar Hukum)



Sedari tadi malam, ada sesuatu yang terasa lucu dalam benak saya sampai sore ini. Adalah tentang pertanyaan spontan Iwan Nasrullah, teman sekontrak saya yang juga jebolan Mambaus Sholihin. Pertanyaan itu simpel, tetapi sangat menggelikan, yaitu: apa puasa tasyua itu? apa manfaatnya? Dan karena saya pun tidak tahu secara bahasa atau istilah pengertian serta manfaat dari tasyua dan asyuro, maka spontan juga saya menjawab: tidak ada manfaatnya kok. Dan ternyata, jawaban saya tadi benar-benar direspon. Iwan tidak ikut berpuasa hari ini, entah karena tidak minat atau yang lainnya.

Masih dalam ruang lingkup pertama, di luar dugaan saya, di kelas, Bapak Muhdlir juga memicu kami untuk berfikir sejenak mengenai puasa yang hari ini saya lakukan. Sebelumnya, hal tersebut membuat saya ragu: karena takut tidak minat untuk berpuasa lagi dengan mendengar pemikiran-pemikiran beliau. Namun, ternyata beliau memberi ruangan yang berbeda untuk kali ini. Hal itu dimanifestasikan dengan lebih memihaknya beliau kepada pemikiran saya dan teman-teman dari pada pemikirannya. Beliau sekedar memberi wacana mengenai hadist yang berhubungan dengan asal mula dianjurkannya dua puasa ini.

Wacana itu terkait dengan hadist yang menyiratkan mengapa dua puasa ini dianjurkan. Ternyata, jauh dari bacaan saya, melalui hadist ini dijelaskan bahwa sebab adanya puasa asyuro ini adalah tindakan ikut-ikutannya Rosul terhadap budaya masyarakat setempat yang ketika itu sedang berpuasa di hari yang sama. Jadi, puasa asyuro ada karena adanya puasa yang terlebih dahulu dibudayakan oleh masyarakat ketika itu. Dan mereka tak lain adalah orang-orang yahudi. Puasa yang sekarang dilakukan oleh banyak orang ini berdasar kepada kebiasaan orang yahudi. Meskipun alasan awal orang Yahudi ini juga kepada puasanya Nabi Musa paska kemenangannya atas Firaun, tetap saja masih terasa tidak nyaman karena terkesan meniru salah satu budaya Yahudi.

Maka dari itu, dalam cerita yang tertulis karena disadari adanya ketidaknyamanan—disebabkan adanya kesamaan antara dua komunitas yang berbeda keyakinan—maka dengan penuh kebijaksanaan, Rosul menambah jumlah puasanya, yang awalnya hanya tanggal sepuluh Muharrom menjadi sepuluh dan sembilan Muharrom. Dengan demikian lahirlah puasa Tasyua. Puasa Tasyua ada hanya sebagai pembeda supaya Islam memang mempunyai sesuatu yang sendiri dan tidak meniru. Dan boleh jadi, inilah ekspresi serta bukti kalau ternyata kadar ikutnya Rosul terhadap budaya Yahudi lebih banyak dari pada terhadap puasanya Nabi Musa. Seandainya ketika itu diyakini bahwa frame yang diikuti adalah Nabi Musa, maka ketiadaan puasa sebelumnya dipandang lebih sesuai.

Sehingga dari semua itu, muncul pertanyaan—yang tadi juga beliau tanyakan kepada saya dan teman-teman—tentang pantas tidaknya dua puasa ini dijatuhi hukum, mengetahui sumber hukumnya—yang dari hadist tadi—seperti itu adanya. Dan jika dipikir sebentar, maka tidak ada alasan yang kuat mengapa hanya dengan kejadian tersebut, dua puasa ini dianjurkan atau bahkan sangat dianjurkan (dilihat dari manfaat-manfaat yang terulis).

Masih mengenai ini, saya teringat sesuatu. Adalah tentang hadist, saya barusan tahu kalau hadist tidak semuanya mempunyai nilai-nilai hukum. Dan mungkin ini salah satunya. Kemudian, ketika sebuah hadist sudah banyak dinyana tidak mempunyai nilai-nilai sebagai dasar hukum, apakah masih perlu untuk dikerjakan? Saya tadi menjawab masih. Namun, tidak tahu untuk lainnya. Semua tergantung takwil dari pribadi teman-teman. Toh, ada beberapa ayat Quran pun yang sekarang jauh dari nilai hukum dan kenyataan yang ada untuk hari ini. Itu adalah tentang teori kedataran bumi yang tersirat dari cerita Dzulkurnain dalam Quran, entahlah.zev131113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar