Selama
ini, jauh dari kesadaran, saya memandang adanya suatu kerancauan dalam
pemahaman beberapa istilah yang sangat familiar di kalangan orang-orang
beragama. Adalah tentang Nabi dan Rasul. Sejauh ini, kedua istilah
tersebut—banyak dipahami—memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu tentang
diwajibkannya menyampaikan dan sebaliknya. Jika Nabi, maka tidak ada kewajiban
apapun untuk menyampaikan wahyu yang didapat. Sedangkan Rasul: memiliki
kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada kaumnya. Keduanya berbeda dalam hal
yang sangat fundamental, dilarang tidaknya sebuah dakwah.
Saya
teringat salah satu ayat dalam Quran (2:61) yang menceritakan bagaimana teganya
kaum Israel membunuh nabi-nabinya sendiri. Darinya, bukan mengenai kejamnya
kaum Israel yang akan ditekankan dalam paragraf ini, tetapi tentang alasan
mengapa nabi-nabi ketika itu banyak dibantai oleh kaumnya sendiri. Jika
direnungkan lebih dalam, hal itu tidak akan terjadi ketika para nabi hanya diam
dan tidak menyampaikan wahyunya seperti pengertian di awal tadi. Akan tetapi
karena mereka menyampaikan wahyu dan mendakwahkannya kepada kaum Israel, maka
terjadilah pembunuhan itu. Dan boleh jadi, hal itu disebabkan adanya
ketidakcocokan pemikiran antara nabi-nabi dan kaum Israel atau ketidaksukaan
kaum Israel terhadap cara menyampaikan wahyu itu.
Pada
akhirnya, dari kenyataan di atas, pengertian mengenai nabi dan rasul yang
selama ini banyak dipahami, kuranglah tepat. Karena ternyata nabi pun juga
menyampaikan apa yang dia peroleh dari Tuhannya—wahyu—sehingga mereka terbunuh
dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan demikian antara nabi dan rasul adalah
dua istilah yang sama-sama mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu dan
berdakwah tentang monoteisme kepada kaumnya.
Namun,
dari pengertian yang baru tersebut bukan berarti keduanya tidak mempunyai
perbedaan. Keduanya memiliki itu, yaitu mengenai sesuatu yang disampaikannya.
Jika Rasul, maka sesuatu yang disampaikan adalah ajaran yang baru dan yang
berbeda dengan ajaran rasul sebelumnya. Dengan demikian, ketika disebut rasul
itu berjumlah ratusan ribu, maka ajaran-ajaran Tuhan juga berjumlah sedemikian
banyaknya. Ajaran monoteisme lebih berjumlah ratusan ribu.
Kemudian
nabi, sesuatu yang disampaikan nabi bukanlah ajaran baru seperti halnya rasul,
tetapi ajaran yang sebelumnya pernah disampaikan oleh rasul yang hidup
sebelumnya. Mudahnya, itu bisa dipahami bahwa nabi hanyalah sebagai penerus
bukan penggagas. Dan di sinilah titik perbedaan keduanya itu tertambat. Rasul
yang bertugas sebagai penggagas dan penyampai berbeda dengan nabi yang hanya
bertugas sebagai penerus sekaligus penyampai untuk kali keduanya.
Masih
terkait dengan itu adalah tentang hadist. Beberapa pertanyaan muncul dari semua
pendapat di atas: sejak kapan apapun tentang Muhammad—perkataan, perilaku, dan
ketetapan—itu disebut sebagai hadist dan sunnah? Apakah ketika berumur 40
tahun? Atukah ketika masih 25 Tahun? Kemudian, kapan juga Muhammad berperan
sebagai nabi dan meneruskan dakwah rasul sebelumnya? Dan apakah peran Muhammad
sebagai nabi dan rasul itu dimulai bersamaan? Jawabannya pasti sangat majemuk.
Entahlah.
Namun,
dari semua tanda tanya itu, ada beberapa kesimpulan baru yang saya dapat.
Pertama, hal itu membuktikan bahwa Islam sangatlah luar biasa karena Islam bisa
merubah kebudayaan yang buta moral hanya dalam waktu 22 tahun: islam baru ada
paska diturunkannya wahyu di umur Muhammad yang ke—40. Kedua, itu membuktikan
bahwa di antara Muhammad menjadi rasul dan manusia biasa, lebih lama Muhammad
menjadi manusia biasa. Selama 40 Tahun lamanya, Muhammad harus bersabar dengan
ketidaktahunnya tentang apapun dan hanya dengan akhlak yang luar biasa hebatnya
Muhammad bisa menjalani semua itu dengan istimewa. Sehingga, darinya juga bisa
tersimpulkan bahwa keputusan Muhammad untuk hanya menikahi Khodijah adalah
murni dari hatinya. Dan itu berbeda dengan keputusan Muhammad untuk
poligami—paska 40 tahun—yang sudah terkontaminasi dengan wahyu. Hadist terkover
setelah Muhammad berumur 40 tahun.zev201113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar