Perbincangan
beberapa mata, selepas kuliah Bahasa Arab kemarin, ternyata banyak menyisakan tanya
dalam benak saya. Salah satunya adalah mengenai salah satu ayat al-Quran: la
yamassuhu illa al-mutohharun. Iya, dari ayat itu, barusan terpikir oleh
saya kalau ayat itu tidaklah baik-baik saja. Ayat itu sering sekali menemani
kehidan sayasehari-hari. Atau bahkan bukan hanya saya, tetapi semua muslim
dunia karena di setiap Mushaf—yang saya tahu—tertulis dikovernya kalimat
tersebut. Dan hal itulah yang selama ini membuat saya yakin kalau ayat itu
baik-baik saja.
Namun,
berangkat dari perbincangan saya dengan guru pemikiran saya, saya jadi
tercerahkan. Selain itu, saya juga menghabiskan beberapa jam untuk merenungkan
kembali semua yang berada di balik ayat misteri itu.
Adalah
ketika ayat itu diasumsikan sebagai salah satu referensi akan kesucian
al-Quran. Saya ulangi lagi: sebagai dalil mengenai kesucian Quran yang beranjak
darinya semua yang ingin memegangnya harus dalam keadaan suci. Hal itu ada
karena tersurat di dalam ayatnya lafadz al-mutahharun yang artinya
orang-orang yang bersih dan suci. Dan jika itu dimasukkan dalam kalimat yang
ada, maka arti termudahnya adalah: yang boleh menyentuh Quran—jika diasumsikan
Quran—hanyalah orang-orang yang suci. Dengan demikian, dalam paragraf ini, itu
tidaklah salah, semua masih baik-baik saja dan masih bisa diterima tanpa harus
memikirkan unsur eksternal lainnya.
Akan
tetapi, jika kita sedikit meluangkan waktu kita untuk merenungkunnya, maka
hasilnya pasti berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, yaitu tentang
kapan Quran diturunkan dan kapan Quran dibukukan. Hal itu memunculkan tanya:
Bagaimana nasib ayat ini selama sekian tahun—mulai masa Abu Bakar sampai akhir
pemerintahan Umar—ketika Quran belum dibukukan? Apakah mungkin jika kelompok
muslim diharuskan untuk suci dalam memegang Quran, tetapi wujud Quran sendiri
belum ada. Dan di titik inilah ayat itu masih perlu banyak penyembuhan asumsi.
Dari
beberapa literatur tafsir-tafsir klasik yang pernah saya dengar dari dosen saya
kemarin, ayat itu diasumsikan kembali kepada Quran yang berada dalam lauh
almahfudz, namun, lagi-lagi pendapat itu masih agak sakit karena tidak bisa
diterima oleh kalangan awam kebanyakan. Jika itu dikata adalah wujud Quran yang
berada jauh di sana, ada dua keganjilan. Pertama, siapakah yang bisa dan akan
menyentuhnya? Kedua, jika yang dimaksud itu adalah Quran yang di sana,
bagaimana nasib Quran yang sekarang ada di tangan-tangan kebanyakan muslim
dunia? Apakah masih berlaku penerapan keharusan suci ketika menyentuhnya?
Entahlah. Satu PR lagi buat saya.
Selain
itu, ketika memang ada beberapa pendapat yang menyimpulkan, bahwa seiring
terbukukannya Quran, maka rujukan ayat tersebut juga berubah dan beralih kepada
Quran yang ada sekarang, masih sajalah ada satu ketidaknyamanan dalam benak
saya. Itu adalah tentang: kapan Quran mulai menjadi sakral dan suci seperti
sekarang? Apakah ketika kali pertama terbit langsung begini adanya? Dan
mengenai jawaban akan itu, saya teringat beberapa buku yang pernah dikutip oleh
teman-teman ketika diskusi kemarin. Dari situ, ada sedikit pengetahuan yang saya
dapat, yakni mengenai proses kanunisasi Injil. Ternyata, dalam Kristen ada
momen waktu Injil disakralkan. Jadi, salah satu kitab yang wajib dipercayai
kelompok muslim ini ternyata tidak langsung sakral sebagaimanan sekarang,
tetapi ada proses dan bertepi kepada satu waktu ketika salah satu pemuka
Kristen—saya lupa namanya—menyakralkan Injil.
Pada
akhirnya, mengetahui dalam Injil pun ada proses kanunisasi, apakah dalam Quran
ada proses tersebut, toh dari semua paragraf di awal tadi, banyak sekali
keganjilan-keganjilan mengenai satu ayat yang diklaim sebagai salah satunya
basis disucikannya Quran. Entahlah. Zev291113