Selasa, 17 November 2015

Kahlil Gibran


    Adalah seorang Lebanon yang akibat alasan tertentu dia pindah ke Amerika. Sebelum pindah ke Amerika, namanya adalah Khalil Jubran dan saat sudah di Amerika namanya diganti Kahlil Gibran. Perpindahan tersebut terjadi di umurnya yang ke—10 tahun. Mengenai perjalanan hidupnya, bisa dibilang, kehidupannya cukup tragis. Selain, dia sering berpindah-pindah, di waktu tertentu dia sangat terpukul saat mendapati beberapa keluarganya meninggal dunia, termasuk ibu yang sangat dia sayangi saat dia tengah menuntut ilmu di negara lain.
    Sebagaimana jamak diketahui, Gibran adalah seorang pujangga yang mendunia berkat karya-karyanya yang luar biasa. Akan tetapi, selain itu, rupanya, dia juga adalah seorang pelukis. Beberapa lukisannya mendapatkan banyak apresiasi di masa dia hidup. Lebih jauh, nuansa lukisan Gibran lebih pada model romantis atau model back to nature. Kenyataan bahwa Gibran hidup di masa romantisisma adalah salah satu alasan mengapa model lukisannya demikian. Adapun tentang modus berpikir, Gibran selalu cenderung ke arah cinta. Gibran lahir pada Januari 1883 dan meninggal di umurnya yang ke—48 dengan keadaan masih belum memiliki istri.  

Kepribadian
     Dalam hal kepribadian, Gibran terbilang memiliki kebiasaan yang unik. Gibran adalah seorang yang introvert atau murung, suka merenung, dan suka kesendirian. Bagi dia hanya dengan menciptakan jarak tersendiri dengan masyarakatlah seseorang bisa berpikir jernih. Selain itu, hal tersebut juga berguna agar kita tidak mudah terbawa arus dalam masyarakat yang nantinya melalui itu, kita bisa mudah untuk instropeksi diri. Seseorang yang terlibat aktif dalam satu komunitas, baginya sulit untuk mengetahui apa saja yang salah pada komunitasnya berikut dirinya. Untuk itu, penting kiranya mengambil jarak ini, guna memudahkan hal tersebut.
    Di benak Gibran, hanya ada tiga hal yang paling dia cintai, yaitu ibunya sendiri, Negaranya—Lebanon—dan perempuan-perempuannya. Dari yang pertama, Gibran belajar banyak sekali hal. Dari yang kedua, dia sangat mencintainya sebab keindahannya. Bagi Gibran, Lebanon adalah Parisnya Timur Tengah. Sedangkan yang terakhir, tidak lain adalah lima perempuan yang begitu dia cintai, tetapi kesemuanya gagal.

Sumber Inspirasi Gibran
    Kiranya, ada tujuh sumber inspirasi Gibran, yaitu ibunya sendiri, Salim Dahir, Budaya China, Tagore, Injil dan Yesus, Nietzsche, dan para seniman Boston. Pertama, melalui ibunya, Kamile Rahma, Gibran belajar seni musik, Bahasa Prancis, dan yang terpenting adalah belajar bagaimana hati berbicara. Kedua, dia adalah seorang tokoh sufi penggembara yang begitu diidolakan Gibran dan juga adalah guru Gibran. Ketiga, itu disebabkan tempat tinggal Gibran waktu di Boston berada di suatu kampong yang mayoritas penduduknya berasal dari China. Keempat, dia adalah seorang pujangga besar dari India. Gibra banyak sekali terpengaruh dengan karya-karya Tagore.
     Kelima, ini bisa terjadi sebab misi Gibran dengan Injil ataupun Yesus adalah sama, yaitu kasih sayang atau cinta. Keenam, itu terlihat dari corak puisinya yang begitu eksistensialis. Banyak dari puisinya menyiratkan suatu kemandirian atas tujuan harmoni. Bagi Gibran, jauh lebih baik seseorang itu sendiri dan mandiri daripada bareng-bareng, tetapi banyak peraturan yang nantinya berujung pada pemaksaan. Akan tetapi, meski terpengaruh, model eksistensi antara keduanya berbeda. Model Gibran lebih pada harmoni, sedangkan Nietzsche lebih pada penaklukkan agar tidak diinjak-injak. Baik Gibran atau Nietzsche sama-sama mengidolakan UberMensch atau manusia super. Dan yang terakhir, itu adalah suatu komunitas di Boston yang di dalamnya ada banyak seniman, pujangga, dan semacamnya. Tidak bisa dipungkiri, rupanya ini juga banyak menginspirasi Gibran.

Gagasan Gibran
   Ada beberapa gagasan Gibran yang akan disinggung di sini, yaitu pandangannya tentang hidup, cinta, Tuhan, alam, dan manusia. Dimulai dari hidup. Bagi Gibran, hakikat hidup itu tergantung kepada kita sebagai yang memiliki hidup. Adapun cara prinsip untuk mengatur kehidupan itu sendiri adalah dengan mengusahakan empat hal, yakni cinta, kerja, pengetahuan dan tujuan. Secara hirarkis, kita membutuhkan tujuan dalam menjalani hidup supaya terkontrol dengan seimbang, tetapi untuk merancang suatu tujuan, kita membutuhkan pengetahuan, dan sepertinya pengetahuan akan sia-sia tanpa ada kerja, lebih lanjut kerja pun akan banyak merusak saat tidak dilandasi cinta. Global kata, kita membutuhkan cinta untuk menciptakan suatu tujuan yang brilian yang nantinya dengan itu, kita bisa menyeimbangkan kehidupan kita. Kehidupan adalah cinta.
    Kedua, cinta, itu adalah sesuatu yang cukup dirasakan dan cukup menjadi pasrah. Cukup dirasakan sebab semakin banyak kita berbicara tentang cinta semakin pula kita tidak pas dalam memahaminya. Seorang yang sudah merasakan cinta, dia tidak akan banyak bicara karena memang itu rumit untuk dibicarakan. Sedangkan itu cukup menjadi pasrah sebab kalau kita masih banyak komplain dan bahkan menuntut, itu namanya bukan cinta. Kira-kira demikian. Ketiga, itu adalah sesuatu yang tidak menyatu dengan kita, tetapi berada di sekitar kita. Dan Dia tidak pernah bertentangan dengan segala macam bentuk cinta lainnya. Tuhan adalah cinta itu sendiri. Keempat, alam, tidak lain adalah sesuatu yang seharusnya dengannya kita penting untuk kembali kepada alam atau back to nature, bertindak senatural mungkin, dan tidak membuat sekat atau katagori-katagori sendiri yang hanya akan menyebarkan virus kebencian.
     Dan yang terakhir adalah manusia. Bagi Gibran, manusia di dunia ini ada tiga model. Pertama: mereka yang mengutuk dunia, kedua: mereka yang memberkati dunia, dan ketiga adalah mereka yang merenungi dunia. Kepada yang pertama, marilah mencintai mereka karena penderitaannya. Kepada yang kedua, marilah mencintai mereka karena kedermawanannya dan kepada yang ketiga, cintailah mereka karena kebajikannya.


Menjauhlah dari kebijaksanaan yang tidak berbumbu tangisan, filsafat tanpa tawa,

dan kebesaran tanpa anak-anak

Senin, 02 November 2015

BUSHIDO, Filsafat Perang Jepang

       Istilah ini sering disejajarkan dengan istilah “Samurai”. Jika “Samurai” sering dipahami sebagai pelayan atau pejuang, maka “Bushido” adalah jalan hidup pelayan atau pejuang tersebut. Dengan lain ucapan, istilah ini berada di bagian sistem etika sosial, sedangkan “Samurai” berada di kelas sosialnya. Lebih jauh, dalam hal ini, Jepang memiliki empat kelas sosial, yaitu Shi atau Samurai itu sendiri, No atau petani, Ko atau pengrajin, dan Sho atau pedagang. Oleh karenanya, itu wajar mengapa Samurai dikatagorikan sebagai sistem kelas sosial di Jepang.

     Bushido sebagai sistem etika sosial di Jepang memuat tiga esensi penting. Adalah harmoni sosial, harmoni individu, dan loyalitas total. Pertama, itu adalah pengaruh dari Konfusianisme. Konfusianisme banyak membicarakan tentang harmoni sosial, bagaimana menghargai sesama, komitmen dengan apa yang sudah kita sepakati dengan orang lain, dan sebagainya. Kedua, itu terpengaruh oleh Zen Budhisme. Itu bisa diamati dengan bagaiman Zen begitu memperhatikan aspek kesadaran diri dengan meditasi dan semacamnya. Adapun yang terakhir adalah pengaruh dari Shinto. Di dalam Shinto, banyak dibahas terkait kesetiaan yang dianggap sebagai salah satu wujud atas kehormatan diri seseorang. Selanjutnya, dari hasil mix ini, Bushido memiliki satu ajaran yang diasumsikan sebagai puncak dari Bushido itu sendiri, yaitu ajaran untuk merobek perut sendiri mulai dari bagian kiri sampai ke ujung kanan—atau bunuh diri—dan keberanian ini disebut sebagai “Seppuku”. 

Visi Etis Bushido
      Di sini, Bushido memiliki empat visi etis, yaitu disiplin, setia, harga diri, dan ksatria. Tidak lain, empat visi ini lahir akibat adanya keterpengaruhan dengan tiga pandangan hidup—untuk tidak menyebut agama—di atas. Untuk yang pertama, itu adalah sebutan lain dari kebiasaan untuk selalu on schedule atau berlaku sesuai map yang sebelumnya usai dibuat. Bagi yang memiliki etika ini, maka dia akan wegah jika disuruh melakukan sesuatu yang berada diluar jadwalnya sebab baginya, jika itu dilakukan, maka itu berpotensi merusak jadwal yang usai dibuat olehnya.
    Kedua, setia, adalah etika untuk selalu melaksanakan apa yang diperintah tuannya. Meskipun, secara keyakinan tidak sependapat dengan tuannya, tetap saja, bagi Samurai, itu harus dipatuhi. Dan kiranya di poin inilah kemuliaan seorang Samurai terletak. Selanjutnya, ketiga: sosok Samurai harus memiliki standar tertentu dalam bertindak atau menerima sesuatu. Dengan lain ucapan, dia tidak boleh semena-mena melakukan atau menerima sesuatu tanpa harus dipertimbangkan sesuai standar yang dimilikinya. Ini berguna demi menjaga keseimbangan harga dirinya sebagai Samurai. Adapun yang terakhir, ksatria, itu adalah etika untuk selalu siap bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

Tujuh Prinsip Moral Bushido
a. GI, Integritas
      Mudahnya, ini adalah etika seorang Samurai untuk selalu berusaha menghargai kata-katanya. Jika mereka mengatakan “a” kepada seseorang atau pada dirinya sendiri, maka yang harus dilakukan ya “a”. Bagi sosok Samurai, dalam hal ini, mereka tidak akan pernah berkata apapun tentang sesuatu jika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu melakukan hal tersebut. Dengan lain ucapan, ini adalah etika untuk selalu berupaya komitmen dengan apa yang sudah diucapkannya, baik itu kepada orang lain atau pada diri sendiri.

    b. YU, Keberanian
     Maksud keberanian di sini adalah berani untuk menerima segala kemungkinan hidup. Sebab dalam hal ini, ada semacam pandangan bahwa kita tidak bisa mengontrol kehidupan ini, sehingga sangat mungkin di waktu mendatang hidup kita miskin. Dan kiranya, di titik itulah, seorang Samurai—melalui etika ini—harus berani, berani untuk miskin.

c. JIN, Kemurahan Hati
    Secara prinsip, poin ini banyak berbicara tentang pentingnya memaafkan. Sosok Samurai, selain dituntut untuk loyal dan disiplin, mereka juga harus murah hati atau mudah memaafkan kesalahan orang lain. Melalui etika ini, mereka harus selalu berupaya untuk menyeimbangkan antar Yin dan Yang mereka sehingga nantinya mereka bisa mudah untuk menjadi JIN.

d.  REI, Menghormati
    Jika dirunut, ini adalah salah satu pengaruh dari ajaran Konfusianisme tentang harmoni sosial. Lewat nilai ini, sosok Samurai dibiasakan untuk memahami bagaimana tata cara minum teh yang baik dan nyaman, tata cara berbicara yang tidak menyinggung orang lain, tata cara berdiri yang tidak merendahkan orang lain, dan sebagainya. Di sini, hal sekecil apapun yang melibatkan orang lain begitu diperhitungkan. Sebab dalam benak mereka ada kesimpulan bahwa “menghargai orang lain itu sama halnya dengan menghargai diri sendiri”.

e. MAKOTO-SHIN, Jujur dan Tulus
    Adalah semacam apa adanya dan blak-blakan. Kalau ditanya, misalnya, mengapa makan? Maka jawabannya simpel, yaitu karena lapar. Jadi, apa yang melandasi mereka dalam menjalankan sesuatu, ya itu yang nantinya akan dijawab saat ditanya orang lain.

f. MEIYO, Kehormatan
    Selain menghormati sebagai simbol betapa pentingnya untuk menjaga harmoni sosial, Samurai juga dituntut untuk selalu menjada kehormatannya. Adapun yang dimaksud dengan kehormatan di sini—selain “seppuku” sebagaimana yang disebut di awal—adalah dengan menghargai waktu. Mereka dibiasakan untuk menganggap bahwa jika seseorang menyia-nyiakan waktu, maka orang tersebut usai kehilangan kehormatannya.

g.  CHUGO, Loyal
  Ini tidaklah jauh berbeda dengan salah satu visi etis Bushido yang usai disinggung tadi. Adalah upaya untuk selalu mematuhi perintah tuannya, meskipun dari hati kecilnya tidak sependapat dengan tuannya.

Pengaruh Bushido
   Diterima atau tidak, rupanya etika-etika yang ada dalam Bushido ini sebagai sistem etika sosial Samurai berpengaruh banyak terhadap karakter bangsa Jepang. Beberapa darinya adalah dalam wilayah etika dan ekonomi masyarakat Jepang. Untuk yang pertama, tanpa disadari Bushido usai membentuk masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang berkarakter sebagai berikut:
-     Amae     : selalu berusaha untuk menjaga harmoni sosial.
-     On        : Tidak betah saat memiliki hutang budi dengan orang lain.               Sehinga mereka selalu bersegera untuk membalasnya. Ini                             bisa dilihat dari budaya tukar kado di Jepang.
Gimu     : Totalitas pada negara atau perusahaan tempat dia bekerja.               Meskipun, dia mendapatkan tawaran gaji yang jauh lebih                             besar dari perusahaan lainnya, dia tidak mau dan tetap                               setia dengan perusahaan pertamanya. Inilah yang juga                               merupakan salah satu rahasia Jepang mengapa menjadi                             salah satu negara berkekuatan ekonomi raksasa.
Dan yang terakhir adalah mereka tidak pernah mau untuk berhutang budi. Bagi     mereka lebih baik menolong orang lain dari pada ditolong.

    Selanjutnya yang kedua, itu berhasil membentuk masyarakat Jepang memiliki kepribadian sebagai berikut:

-       Jiritsu Jiei     : Mandiri
-       Shoijiki       : Jujur
-       Kimben       : Rajin
-       Kenyaku       : Hemat
-       Jizen           : Amal saleh
-       Koveki        : Memikirkan kepentingan umum


Dan kiranya, melalui karakter-karakter ini, masyarakat Jepang berhasil dengan luar biasa mendongkrak ekonominya berikut Bangsanya. Semua ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran Bushido, lebih jauh, itu juga selalu terikat dengan ajaran-ajaran Konfusianisme, Shinto, dan Zen Budhisme. 

Kamis, 22 Oktober 2015

Zen Budhisme


Selayang Pandang
    Adalah salah satu agama besar yang berkembang di Jepang. Dilihat dari geneologinya, agama ini adalah salah satu aliran Budha Mahayana Dari India. Sebelum masuk Jepang, Zen Budhisme berada di China dan berinteraksi dengan Taoisme dan Konfusianisme. Dari sini, boleh disebut bahwa ajaran-ajaran yang ada dalam Zen Budhisme adalah hasil mix dari tiga way of life, yaitu Budha Mahayana di India, Taoisme, dan Konfusianisme. Dalam lain ucapan, Zen Budhisme boleh juga dipahami sebagai bentuk ekstrak dari Budha Mahayana, Taoisme, dan Konfusianisme.
      Kenyataan bahwa sebagian besar dari budaya dan tradisi Jepang adalah hasil impor dari China adalah salah satu alasan mengapa Zen Budhisme—yang notebene sebagai hasil mix atas dua agama besar China, Taoisme dan Konfusianisme—berkembang pesat di Jepang. Dalam artian, Zen Budhisme tidak lain merupakan salah satu ajaran yang Jepang impor dari China. Kiranya demikian.
      Ditinjau dari perspektif sejarah, satu nama yang paling bertanggungjawab atas Zen Budhisme adalah Bodhidharma. Bodhidharma adalah murid Budha—Sidharta Gautama—yang ke—28. Dalam tradisi Budha, di setiap masa pasti terdapat generasi Budha dan untuk generasi ke—28 adalah Bodhidharma ini. Kisah hidup Bodhidharma tidak jauh berbeda dengan kisah Sidharta Gautama. Dia memutuskan untuk meninggalkan apapun yang usai dia miliki untuk meditasi dan menemukan apa maksud sejati kehidupan. Selain Bodhidharma ada yang namanya Mahakassapa. Tidak lain, dia adalah generasi kedua setelah Sidharta Gautama dan yang nantinya di generasi ke—28 dilanjutkan Bodhidarma ini.
     Istilah “Zen” berasal dari bahasa Jepang yang berarti jernih. Istilah ini sering disejajarkan dengan “Chan” dalam bahasa Mandarin dan “Jhana” dari bahasa Phali. Adapun tentang makna, terkira kesemuanya sama, yaitu jernih. Dalam arti bahwa manusia itu penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan jiwanya.
Di lain wilayah, Zen Budhisme juga memiliki satu simbol yang mendasar, yaitu ENSO (berbentuk bulat polos, apa adanya). Adalah semacam pandangan bahwa segala sesuatu itu kosong. Apapun itu hanyalah persepsi dari manusia sendiri, tidak lebih. Kalau semisalnya kita sudah berusaha mengerjakan tugas dengan tekun, tetapi masih saja mendapatkan nilai C, ya sudahlah, toh baik kita mendapat nilai A, B, atau D, kehidupan kita masih berjalan seperti biasa. Lagi-lagi, itu hanyalah nilai yang tidak lebihnya hanya sesuatu yang sering kita lebihkan lewat persepsi-persepsi, padahal esensinya tidak ada, kosong. Kira-kira demikian. Sehingga melalui pandangan ini, Zen Budhisme mampu untuk mencapai titik bidik utamanya tadi, yaitu kejernihan jiwa.

Karakteristik Zen Budhisme
    Ada empat karakter yang penting untuk kita ketahui sebelum merasuki alam pemikiran Zen Budhisme. Adalah Experiental, Beyond Words, Beyond Logical Thinking, dan Enlightment atau Satori.

a. Experiental
    Karakter pertama Zen Budhisme adalah “laku” atau cukup “dipraktekkan”. Ajaran Zen tidak perlu untuk diceramahkan, tetapi cukup dengan dilakukan. Sebab, baginya, pengalaman itu melebihi segalanya.

b. Beyond Words
    Ini terkait erat dengan karakter pertama. Di sini Zen menyimpulkan bahwa ajaran Zen adalah ajaran yang melampau kata-kata. Sehingga itu sama sekali tidak penting untuk diceramahkan. Itu hanya cukup untuk dibumikan.

c. Beyond Logical Thinking
    Selanjutnya, selepas tidak perlunya kita untuk menceramahkan hal tersebut, Zen Budhisme juga sama sekali tidak menganjurkan kita untuk memikirkannya. Semua tentang dia sudah melampaui akal dan pikiran. Sehingga semua yang kita pikirkan tentang dia adalah sia-sia. Dengan lain ucapan, Zen ingin menekankan bahwa pemikiran hanya akan menghasilkan konsep-konsep dan katagori yang malah menjerat, bukan membebaskan.

d. Enlightment
    Dan yang terakhir adalah pencerahan. Adalah puncak dari Zen Budhisme. Dalam level ini, kita akan terbebas dari pikiran, perasaan, ego, dan lainnya. Dalam Islam, ini sering disebut kasyaf.

Beberapa Ajaran Inti Zen Budhisme
a. Mencari diri dan Meditasi
     Ini berangkat dari kenyataan bahwa seringkali kita kehilangan diri kita sendiri selepas bangun tidur. Ini adalah terkait siapa kita, posisi kita sebagai apa, apa kewajiban kita, apa hak kita, apa tujuan awal kita di sini, dan sebagainya. Tanpa kita sadari, kita sering lupa akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, di sini, Zen Budhisme menganjurkan kita untuk selalu berusaha menyadari pentingnya menemukan siapa kita.
    Lebih lanjut, Zen Budhisme juga merekomendasikan kita untuk memahami potensi dan kekurangan diri. Termasuk di dalamnya adalah kiblat kita. Sebab bagi Zen, apa yang kita lakukan itu pasti terpengaruh dengan seorang tertentu. Dan di titik itu, kita penting untuk mencari tahu mengapa kita mengikuti dia, kenapa harus dia, dan apa manfaatnya bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita. Pendek kata, di sini Zen Budhisme menginginkan kita benar-benar sadar akan diri kita sendiri sehingga nantinya kita tidak begitu saja mengikuti arus yang ada, tetapi memiliki pendirian dan alasan sendiri.   
     Adapun mengenai cara untuk mudah mencapai hal tersebut, bagi Zen, adalah melalui meditasi. Kita begitu dianjurkan untuk meluangkan waktu guna merenung sejenak dengan duduk diam, punggung lurus, buka mata hati, masuk ke dalam diri, lantas meditasi. Tidak lain, ini penting untuk memahami dan menyadari secara perlahan semua tentang kita, tujuan kita hidup, potensi kita, dan sebagainya. Dengan lain bahasa, ini adalah usaha untuk melihat ke dalam diri sendiri.

b. Pengalaman Langsung
   Sebagaimana beberapa karakter dari Zen Budhisme, di sini Zen kembali menekankan bahwa yang lebih penting adalah pengalaman. Sebanyak apapun ilmu kita, tetapi tidak pernah kita lakukan, itu amatlah sia-sia. Bagi Zen, mending sedikit, namun selalu kita bumikan dengan perilaku kita.

c. Laku, Bukan Pemikiran
     Secara prinsip, ini merupakan alasan yang mendasari poin b. Artinya, Zen bisa menyimpulkan bahwa pengalaman langsung itu jauh lebih baik dari pada banyak ilmu sebab bagi Zen “pemikiran” itu mengikat dan “laku” membebaskan. Lebih dalam, kata Zen, “pemikiran” hanya akan melahirkan konsep, sedangkan “laku” membebaskan konsep. Kalau kita sudah mampu mencapai “laku” atau mempraktekkan yang kita ketahui, maka konsep, teori, pemikiran, itu tidak ada gunanya. Itu disebabkan oleh posisi konsep atau teori itu sendiri adalah bertujuan untuk dipraktekkan. Seandainya kita menganggap hal ini baik, ya sudah, kita lakukan saja, tidak perlu untuk didiskusikan terlebih dahulu.

d. Kesadaran Hishiryo atau Perilaku Sederhana
    Adalah berangkat dari pandangan dasar kalau prinsip kehidupan itu sederhana. Adapun yang menjadikan itu rumit yaitu persepsi-persepsi manusia itu sendiri yang sering menciptakan kategori-kategori. Kalau kita tidak bisa membantu teman belajar ya bilang tidak bisa, tidak usah memaksakan untuk bisa hanya demi biar dipandang perhatian, cerdas atau semacamnya.

e. Jalan Tengah
     Selanjutnya, Zen Budhisme juga menghimbau supaya kita tidak terlalu ekstrim dalam melakukan sesuatu. Dengan lain ucapan, kita amat tidak dianjurkan untuk memaksakan diri. Kalau kita hanya bisa menulis dua lembar perhari, ya sudah, itu dicukupkan. Kalau kita mendukung seseorang, ya dukunglah secukupnya. Ini bertujuan agar kita tidak terjebak dalam fanatisme, dalam hal apapun itu.

f. Mushotoku atau Berhenti Mengejar
      Mudahnya, poin ini berbicara tentang profesionalitas dalam tindakan. Artinya, dalam tindakan, kita tidak perlu melakukan sesuatu yang bukan tugas kita. Kita perlu mencukupkan tindakan kita hanya pada apa yang menjadi tugas kita. Seandainya saja kita mahasiswa, maka kita harus memprioritaskan tindakan pada belajar, membaca, dan semacamnya sebagaimana tujuan awal kita sebagai mahasiswa.  Selain itu, dalam setiap tindakan, sebisa mungkin kita menghindari untuk mempertimbangkan “hasil”. Kita cukup meyakinkan diri kalau semuanya pasti ada hasilnya. Realitas memiliki logikanya sendiri sehingga itu tidak penting untuk terlalu kita pikirkan, itu cukup kita lakukan. 

g. Sekarang, Di sini, dan Saat ini
    Dalam Islam, ini sering kita sebut sebagai “qanaah” atau neriman. Artinya, di sini, Zen mengimbau kepada kita untuk selalu menikmati apa yang ada dan kita miliki saat ini, sekarang ini, dan di sini. Bagi Zen, satu-satunya masa yang paling nyata adalah saat ini, sehingga sangat rugi jika kita tidak menikmatinya. Ini bertujuan supaya kita tidak terlalu terobsesi dengan impian dan terjebak dengan masa lalu sebab memang keduanya sama sekali tidak nyata.

h. Wu-Wei, Action in No Action
    Di poin ini, kita bisa belajar bahwa betapa tidak pentingnya intervensi. Bagi Zen, intervensi tidak jauh berbeda dengan ambisius. Dalam menghadapi realitas, kita tidak apa-apa menghanyutkan diri, tetapi dengan catatan kita tidak boleh terhanyut. Sebagaimana kita memilih untuk tidak menyikapi sesuatu, tetapi secara bersamaan itulah sikap kita. Dengan lain ucapan, di sini kita perlu belajar untuk menjadikan “ketidakikutcampuran” kita terhadap masalah orang lain sebagai bentuk sikap kita terhadapnya.

10 Step of Zen
    Sebagaimana ajaran yang sering ada dalam setiap aliran sufi, Zen Budhisme memiliki sepuluh tahapan seseorang dalam melakukan ajarannya. Adalah sebagai berikut:

No
Step
Refleksi
1
Mencari sapi yang hilang
Kali pertamanya, penting untuk kita menyadari “kesalahan” kita. Sadari kesalahanmu. Dalam Islam sering disebut “taubat”.
2
Menemukan jejak sapi
Selepas menyadari, kita perlu instropeksi diri atau muhasabah.
3
Melihat ekor sapi
Semacam pencerahan sesaat. Sebagai akibat dari instropeksi. Titik pijak untuk menemukan pencerahan sesungguhnya.
4
Menjinakkan sapi
Sudah berhasil menaklukkan nafsu diri. Ini biasanya bisa dicapai melalui latihan batin.
5
Terjinakkannya sapi
Dalam Sufi Islam, ini disebut sudah kasyaf. Seseorang berhasil menguasai nafsu dengan total
6
Pulang ke rumah/menaiki sapi
Seseorang sudah bisa mengatur nafsu atau pikiran, bukan malah diatur
7
Menikmati ketenangan
Tinggal menikmati hasil
8
Keheningan
Sudah moksa. Tidak ada yang indah dan penting dalam kehidupan ini. Yang penting hanya Yang Maha Kuasa
9
Kembali ke sumber
Selepas puncak, rupanya terbesit keresahan yang berlandaskan kemanusiaan. Resah terhadap orang-orang lainnya yang belum sadar
10
Mengunjungi pasar dunia
Dan akhirnya, segera setelah meresahkan orang-orang lainnya, dia memutuskan untuk kembali ke dunia untuk membagi kesadaran kepada orang-orang. (dan terkira, inilah yang diputuskan Muhammad SAW untuk kembali ke dunia setelah mencapai titik sumber saat Isra’ Mi’raj. Dia kembali lagi sebab resah dengan masyarakatnya yang banyak belum sadar)


Selasa, 22 September 2015

Membuktikan Tuhan Tidak Ada, Bisakah?


            Sebelum masuk pembahasan, saya akan memulainya dengan pertanyaan ini: apakah Tuhan itu ada? Kita tidak bisa memungkiri, itu memang pertanyaan yang amat klasik. Sejak ribuan tahun sebelum masehi, ketika Ibrahim meragukan keyakinannya atas kepercayaan orang-orang di sekitarnya tentang tuhan-tuhan yang mereka buat sendiri, pertanyaan tersebut sudahlah menjadi pembahasan yang sensitif sekaligus menarik. Selain itu, meskipun toh itu dipermak sedemikian rupa dan kembali dibawa-bawa di masa kini dengan wajah yang berbeda, tetap saja pembahasan tentang tuhan adalah pembahasan yang sangat spekulatif, melangit, titik tuju yang gelap, sulit diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan sebagainya. Namun, dalam wilayah keilmuan, itu bukan berarti tidak perlu. Dalam ranah pengetahuan, tidak ada yang salah dengan pembahasan ketuhanan. Mari kita lihat.
            Untuk mengetahui lebih tentang tuhan, di sini ada dua argument yang besar. Adalah argumen apriori dan argumen aposteriori. Pertama, itu hanya memiliki satu poin, yaitu alasan ontologis. Sedangkan kedua, itu memiliki beberapa, yaitu alasan kosmologis, teleologis, taruhan, moral, dan pengalaman keagamaan atau religion experience.

Argumen apriori (alasan ontologis)
          Argumen ini dinyana adalah berawal dari Anselmus (1033—1109). Bagi Anselmus, “tuhan” adalah istilah untuk menyebut suatu wujud PALING agung yang bisa dipahami manusia. Sedangkan sesuatu hanya bisa dikatakan PALING agung ketika dia bukan saja eksis dalam pikiran, tetapi juga eksis dalam kenyataan. Untuk itu, disebabkan konsepnya tersebut, tuhan adalah sesuatu yang memang nyata dan bukan hanya dalam pikiran. Sebab tuhan adalah PALING, tuhan itu ada.
            Mengenai ini, Imanuel Kant mengungkapkan keberatannya pada alasan Anselmus. Meskipun demikian, kata Kant, tetap saja itu adalah apriori. Artinya, walaupun Anselmus bicara bahwa disebabkan oleh sifat PALINGnya, tuhan adalah nyata, itu masih saja tidak bisa dibuktikan secara konkrit atas adanya tuhan itu sendiri. Itu hanyalah retorika Anselmus, kata Kant.

Argumen aposteriori
          Selain argumen apriori yang hanya mendasarkan pemikirannya pada permainan akal semata, dalam hal ini, ada juga argumen aposteriori. Adalah argumen yang ditarik berdasarkan pengalaman atau berangkaat dari pengalaman terlebih dahulu baru dilogikakan. Adapun alasan-alasan dalam bagian ini antara lain:
a.      Alasan kosmologis
Terkait pembuktin adanya tuhan, poin ini memiliki dua alasan cabang. Adalah apa yang disebut dengan first cause dan kontingensi. Untuk yang pertama, itu adalah alasan yang kali pertama diungkapkan Aristoteles dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas. Hal tersebut berangkat dari premis “sesuatu yang ada pasti ada yang menyebabkannya ada”. Selanjutnya, sebagai akibat dari premis tersebut, muncul premis baru, yaitu tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadi sebab atas dirinya sendiri. Kopi tidak mungkin bisa ada karena kopi itu sendiri, kiranya demikian. Selepas kedua premis di atas, ada lagi satu premis yang melengkapi: “tidak mungkin ada rangkaian sebab akibat yang tanpa akhir”. Dan akhirnya, dari ketiga premis tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam rentetan sebab akibat yang terjadi pada alam semesta ini pasti ada sesuatu yang disebut sebagai fisrt cause yang menjadi penyebab atas semua ini dan itu sendiri tidak disebabkan. Jadi, first cause itulah yang diklaim sebagai tuhan, tuhan itu ada.
Merespon itu, jika hal tersebut kita amati lebih dalam, maka ada beberapa kerancauan dalam logika yang dipakai. Pertama: terdapat kontradiksi dalam premisnya, yaitu antara premis kedua dan keempat. Premis kedua mengatakan bahwa tidak ada satupun sebab yang tidak berasal dari luar, namun dalam premis keempat dijelaskan kalau rupanya sesuatu itu ada, yaitu yang diklaim sebagai first cause, kira-kira itu. Kedua: jika memang komposisi premisnya demikian, maka secara bersamaan, itu sama sekali tidak memungkiri adanya sebab yang lebih dari satu. Itu berarti, terdapat lebih dari satu tuhan. Ketiga: Masih dengan kompisi tersebut, secara tidak langsung, itu telah menjadikan tuhan tidak memiliki otoritas apa-apa untuk ikut campur urusan manusia, sebab dia hanyalah penyebab pertama, sedangkan manusia adalah akibat darinya yang sangat jauh ke depan.
            Adapun untuk yang kedua, kontingensi, adalah bagian yang berbicara tentang keniscayaan akan sesuatu. Dengan lain ucapan, secara prinsip, wujud dari segala sesuatu itu hanya ada dua: kalau tidak wujud “mungkin” ya wujud “pasti”. Selanjutnya, jika memang wujud “mungkin” itu ada, tidak bisa tidak, juga ada wujud “pasti” sebab kepadanya wujud “mungkin” bergantung. Dan saat wujud “pasti” itu niscaya adanya sebagai akibat dari adanya wujud “mungkin”, maka itulah tuhan. Tuhan itu ada.
            Namun, jika hal itu kembali ditinjau, masih saja ada cacat dalam logika berpikirnya. Adalah tiadanya keniscayaan atas adanya tuhan yang satu. Artinya, sesuatu yang “pasti” itu berpotensi mengarah kepada sesuatu selain tuhan. Sebab sesuatu yang sering dipakai sebagai tempat bergantung bukan hanya tuhan. Malahan, dewasa ini, kiyai-kiyai atau tokoh-tokoh tertentu lebih sering dijadikan tempat bergantung yang lebih nyaman dari pada tuhan itu sendiri. Itulah ketidakefektifannya.
b.      Alasan teleologis
Alasan ini memiliki fungsi seperti qiyas. Artinya, alasan teleologis ini berani menyimpulkan sesuatu yang tidak nampak dengan sesuatu yang nampak. Konkritnya, melalui ini, kita bisa menyimpulkan kalau tuhan itu ada sebab adanya alam semesta ini. Andai kursi ini ada sebagai hasil pikiran kreatif manusia, maka alam semesta yang jauh lebih kompleks dan indah ini jugalah ada sebagai hasil kreatifitas dari suatu perancang yang melebihi segalanya, yaitu tuhan. Oleh karenanya, bersamaan dengan keindahan serta kompleksitas alam semesta ini, tidak mungkin kalau tidak ada tuhan sebagai perancangnya.
Merespon alasan ini, David Hume amat keberatan. Suatu hal yang begitu prematur, kata Hume, saat disimpulkan bahwa alam semesta ini begitu indah. Melalui logika sederhana saja, kita tidak mungkin bisa menyimpulkan alam semesta yang maha luas ini hanya dengan pengetahuan kita terhadap bumi yang amat kecil ini. Pun, di dalam bumi, tidak semua sepakat bahwa bumi ini indah. Itu tidak lebihnya adalah hasil kesimpulan yang sama sekali subjektif. Selain itu, dari sudut pandang lain, analogi yang dipakai dalam alasan di atas itu gagal. Sebab dalam proses penyimpulannya, mereka tidak memiliki alam semesta tandingan. Itu berarti, di dalam proses penyimpulan untuk menentukan ini indah atau tidak, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah komparasi. Sebagai ilustrasinya, si A ini tidak mungkin kita klaim cakep ketika tidak ada si B yang jelek. Begitu juga dengan ini, kita sama sekali tidak boleh mengklaim alam semesta ini indah kalau tidak ada alam semesta tandingan yang mungkin saja jelek. Dan kalaupun itu tetap saja dipaksakan, maka itu tidak lebihnya adalah omong kosong.
c.      Alasan Taruhan
Ini adalah argumen yang sering dipakai Pascal dalam berbicara mengenai ada tidaknya tuhan. Dengan begitu simpel, Pascal menggambarkan demikian:

Tuhan ada
Tuhan tidak ada
Beriman
Kebahagiaan abadi, tetapi sedikit susah di dunia
Sedikit rugi
Tidak beriman
Kesusahan abadi
Sedikit beruntung




d.      Alasan Moral
Selepas mengkritik argumen Anselmus, rupanya Kant usai menyiapkan argumennya sendiri terkait adanya tuhan—untuk tidak mengatakan FUNGSI adanya tuhan. Bagi Kant, tuhan itu harus ada atau ya memang ada, demi terjadinya moral. Artinya, moralitas manusia itu hanya bisa terbentuk dan terjaga ketika ada tuhan. Kenyataan bahwa dengan adanya tuhan yang akan diyakini sebagai pengontrol keabadiaan dan pembalas segala perilaku buruk manusia merupakan salah satu alasan mengapa adanya tuhan ini dikaitkan dengan terjaganya moral. Melalui adanya tuhan, manusia akan wegah untuk berbuat amoralitas sebab mereka takut kelak semua perilakunya tersebut akan dibalas oleh tuhan. Oleh karenanya, berbasis itu, tuhan itu ada.
Akan tetapi, karena itu juga adalah hasil pemikiran manusia, dalam hal ini konsep Kant tersebut sulit diterima. Sebab apa-apa yang dibicarakan Kant tentang tuhan itu bukanlah argumen untuk membuktikan ada tidaknya tuhan. Namun, itu hanyalah argumen untuk menjaga moralitas yang dibungkus oleh Kant sedemikian rupa. Atau bisa juga, kita menyebutnya sebagai argumen tentang perlunya tuhan itu ada.
e.      Alasan religion experience
Sepertinya, alasan ini lebih simpel dari alasannya Pascal. Alasan ini hanya berdasarkan pada pernyataan bahwa tuhan itu sama sekali tidak perlu untuk dibuktikan. Tuhan hanya perlu untuk dirasakan. Sesuatu yang bisa dibuktikan itu belum tentu ada dan nyata dan sesuatu yang hanya bisa dirasakan itu belum tentu juga tidak ada dan tidak nyata. Kira-kira itu.
Sebagi kelanjutannya, alasan di atas rupanya juga tidak lepas dari kritik. Adalah menyangkut posisi pengalaman keagamaan yang sangat subjektif. Akibatnya, ketika hal tersebut kita jadikan alasan, itu sama halnya kita tidak memiliki alasan. Sebab alasan yang didasarkan pada sesuatu yang sangat subjektif itu tidak bisa diverifikasi dan kalau tidak bisa diverifikasi, entahlah bagaimana kita menyebut itu.

Kiranya, itulah model-model argumen yang berbicara banyak tentang adanya tuhan. Setiap dari mereka mengemukakan argumentasinya masing-masing untuk membuktikan bahwa tuhan itu ada. Akan tetapi, di waktu yang sama, di sela-sela mereka, ada pula pihak-pihak yang tidak sependapat, mengkritiknya, dan kemudian menciptakan konsep baru. Model sedemikian ini akan selalu berlanjut dan selalu begitu. Dan yang pasti: mereka tengah dan usai membuktikan adanya tuhan, bukan membuktikan ketiadaan tuhan. Selamanya, kita tidak bisa membuktikan kalau tuhan itu tidak ada sebab apapun yang tidak ada, itu ya tidak usah dicari bukti ketiadaannya, toh memang itu tidak ada. Haha, entahlah.