Senin, 02 November 2015

BUSHIDO, Filsafat Perang Jepang

       Istilah ini sering disejajarkan dengan istilah “Samurai”. Jika “Samurai” sering dipahami sebagai pelayan atau pejuang, maka “Bushido” adalah jalan hidup pelayan atau pejuang tersebut. Dengan lain ucapan, istilah ini berada di bagian sistem etika sosial, sedangkan “Samurai” berada di kelas sosialnya. Lebih jauh, dalam hal ini, Jepang memiliki empat kelas sosial, yaitu Shi atau Samurai itu sendiri, No atau petani, Ko atau pengrajin, dan Sho atau pedagang. Oleh karenanya, itu wajar mengapa Samurai dikatagorikan sebagai sistem kelas sosial di Jepang.

     Bushido sebagai sistem etika sosial di Jepang memuat tiga esensi penting. Adalah harmoni sosial, harmoni individu, dan loyalitas total. Pertama, itu adalah pengaruh dari Konfusianisme. Konfusianisme banyak membicarakan tentang harmoni sosial, bagaimana menghargai sesama, komitmen dengan apa yang sudah kita sepakati dengan orang lain, dan sebagainya. Kedua, itu terpengaruh oleh Zen Budhisme. Itu bisa diamati dengan bagaiman Zen begitu memperhatikan aspek kesadaran diri dengan meditasi dan semacamnya. Adapun yang terakhir adalah pengaruh dari Shinto. Di dalam Shinto, banyak dibahas terkait kesetiaan yang dianggap sebagai salah satu wujud atas kehormatan diri seseorang. Selanjutnya, dari hasil mix ini, Bushido memiliki satu ajaran yang diasumsikan sebagai puncak dari Bushido itu sendiri, yaitu ajaran untuk merobek perut sendiri mulai dari bagian kiri sampai ke ujung kanan—atau bunuh diri—dan keberanian ini disebut sebagai “Seppuku”. 

Visi Etis Bushido
      Di sini, Bushido memiliki empat visi etis, yaitu disiplin, setia, harga diri, dan ksatria. Tidak lain, empat visi ini lahir akibat adanya keterpengaruhan dengan tiga pandangan hidup—untuk tidak menyebut agama—di atas. Untuk yang pertama, itu adalah sebutan lain dari kebiasaan untuk selalu on schedule atau berlaku sesuai map yang sebelumnya usai dibuat. Bagi yang memiliki etika ini, maka dia akan wegah jika disuruh melakukan sesuatu yang berada diluar jadwalnya sebab baginya, jika itu dilakukan, maka itu berpotensi merusak jadwal yang usai dibuat olehnya.
    Kedua, setia, adalah etika untuk selalu melaksanakan apa yang diperintah tuannya. Meskipun, secara keyakinan tidak sependapat dengan tuannya, tetap saja, bagi Samurai, itu harus dipatuhi. Dan kiranya di poin inilah kemuliaan seorang Samurai terletak. Selanjutnya, ketiga: sosok Samurai harus memiliki standar tertentu dalam bertindak atau menerima sesuatu. Dengan lain ucapan, dia tidak boleh semena-mena melakukan atau menerima sesuatu tanpa harus dipertimbangkan sesuai standar yang dimilikinya. Ini berguna demi menjaga keseimbangan harga dirinya sebagai Samurai. Adapun yang terakhir, ksatria, itu adalah etika untuk selalu siap bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

Tujuh Prinsip Moral Bushido
a. GI, Integritas
      Mudahnya, ini adalah etika seorang Samurai untuk selalu berusaha menghargai kata-katanya. Jika mereka mengatakan “a” kepada seseorang atau pada dirinya sendiri, maka yang harus dilakukan ya “a”. Bagi sosok Samurai, dalam hal ini, mereka tidak akan pernah berkata apapun tentang sesuatu jika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu melakukan hal tersebut. Dengan lain ucapan, ini adalah etika untuk selalu berupaya komitmen dengan apa yang sudah diucapkannya, baik itu kepada orang lain atau pada diri sendiri.

    b. YU, Keberanian
     Maksud keberanian di sini adalah berani untuk menerima segala kemungkinan hidup. Sebab dalam hal ini, ada semacam pandangan bahwa kita tidak bisa mengontrol kehidupan ini, sehingga sangat mungkin di waktu mendatang hidup kita miskin. Dan kiranya, di titik itulah, seorang Samurai—melalui etika ini—harus berani, berani untuk miskin.

c. JIN, Kemurahan Hati
    Secara prinsip, poin ini banyak berbicara tentang pentingnya memaafkan. Sosok Samurai, selain dituntut untuk loyal dan disiplin, mereka juga harus murah hati atau mudah memaafkan kesalahan orang lain. Melalui etika ini, mereka harus selalu berupaya untuk menyeimbangkan antar Yin dan Yang mereka sehingga nantinya mereka bisa mudah untuk menjadi JIN.

d.  REI, Menghormati
    Jika dirunut, ini adalah salah satu pengaruh dari ajaran Konfusianisme tentang harmoni sosial. Lewat nilai ini, sosok Samurai dibiasakan untuk memahami bagaimana tata cara minum teh yang baik dan nyaman, tata cara berbicara yang tidak menyinggung orang lain, tata cara berdiri yang tidak merendahkan orang lain, dan sebagainya. Di sini, hal sekecil apapun yang melibatkan orang lain begitu diperhitungkan. Sebab dalam benak mereka ada kesimpulan bahwa “menghargai orang lain itu sama halnya dengan menghargai diri sendiri”.

e. MAKOTO-SHIN, Jujur dan Tulus
    Adalah semacam apa adanya dan blak-blakan. Kalau ditanya, misalnya, mengapa makan? Maka jawabannya simpel, yaitu karena lapar. Jadi, apa yang melandasi mereka dalam menjalankan sesuatu, ya itu yang nantinya akan dijawab saat ditanya orang lain.

f. MEIYO, Kehormatan
    Selain menghormati sebagai simbol betapa pentingnya untuk menjaga harmoni sosial, Samurai juga dituntut untuk selalu menjada kehormatannya. Adapun yang dimaksud dengan kehormatan di sini—selain “seppuku” sebagaimana yang disebut di awal—adalah dengan menghargai waktu. Mereka dibiasakan untuk menganggap bahwa jika seseorang menyia-nyiakan waktu, maka orang tersebut usai kehilangan kehormatannya.

g.  CHUGO, Loyal
  Ini tidaklah jauh berbeda dengan salah satu visi etis Bushido yang usai disinggung tadi. Adalah upaya untuk selalu mematuhi perintah tuannya, meskipun dari hati kecilnya tidak sependapat dengan tuannya.

Pengaruh Bushido
   Diterima atau tidak, rupanya etika-etika yang ada dalam Bushido ini sebagai sistem etika sosial Samurai berpengaruh banyak terhadap karakter bangsa Jepang. Beberapa darinya adalah dalam wilayah etika dan ekonomi masyarakat Jepang. Untuk yang pertama, tanpa disadari Bushido usai membentuk masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang berkarakter sebagai berikut:
-     Amae     : selalu berusaha untuk menjaga harmoni sosial.
-     On        : Tidak betah saat memiliki hutang budi dengan orang lain.               Sehinga mereka selalu bersegera untuk membalasnya. Ini                             bisa dilihat dari budaya tukar kado di Jepang.
Gimu     : Totalitas pada negara atau perusahaan tempat dia bekerja.               Meskipun, dia mendapatkan tawaran gaji yang jauh lebih                             besar dari perusahaan lainnya, dia tidak mau dan tetap                               setia dengan perusahaan pertamanya. Inilah yang juga                               merupakan salah satu rahasia Jepang mengapa menjadi                             salah satu negara berkekuatan ekonomi raksasa.
Dan yang terakhir adalah mereka tidak pernah mau untuk berhutang budi. Bagi     mereka lebih baik menolong orang lain dari pada ditolong.

    Selanjutnya yang kedua, itu berhasil membentuk masyarakat Jepang memiliki kepribadian sebagai berikut:

-       Jiritsu Jiei     : Mandiri
-       Shoijiki       : Jujur
-       Kimben       : Rajin
-       Kenyaku       : Hemat
-       Jizen           : Amal saleh
-       Koveki        : Memikirkan kepentingan umum


Dan kiranya, melalui karakter-karakter ini, masyarakat Jepang berhasil dengan luar biasa mendongkrak ekonominya berikut Bangsanya. Semua ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran Bushido, lebih jauh, itu juga selalu terikat dengan ajaran-ajaran Konfusianisme, Shinto, dan Zen Budhisme. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar