Rabu, 17 Juli 2013

KITA ADALAH SEJARAH



Diiringi sorotan kuat cahaya mentari tadi pagi, saya selalu menyempatkan melihat pemandangan desa di tepi telaga yang indah ini. Diwaktu yang sama saya dengan tidak sengaja selalu berfikir tentang pemandangan sapi dimandikan itu. Tidak bisa dibantah semua ini pasti akan menjadi sebuah masa lalu. Dan bagi kalangan tertentu kejadian seperti ini juga-lah yang disebut sebagai sejarah.
          Sedikit blur rasanya ketika aku teruskan uneg-uneg tadi. Pertama, tentang nasib para sejarawan besok. Kalau sejarawan sekarang masih pantas di sebut sebagai ahli riset dimensi lain karena mereka harus melalui proses  heuristik (pencarian), verifikasi (kritik), intrepetasi, dan historiografi dalam menentukan keabsahan sebuah kejadian di masa lampau. Namun kalau para sejarawan besok apa yang perlu di proses, mengetahui semua kejadian saat ini semua sudah jelas dan akan awet sampai kapanpun yang tak lain adalah akibat dari hadirnya kamera video dan lain sebagainya.
          Dalam bagian lain, sejarawan masa depan masih akan eksis tapi dengan kenyataan yang sangat berbeda dengan saat ini. Kalau saat ini mungkin kebanyakan para sejarawan masih kesulitan untuk menentukan bentuk, rupa atau yang berhubungan dengan itu dalam menentukan sebuah riset tertentu karena memang pada saat itu belum ada kamera, jadi penelitian mereka sebatas sisi exteriornya saja. Dan jika kita hubungkan dengan sejarawan masa depan, pastinya mekanisme serta objeknya akan beda. Sejarawan masa depan tidak akan bingung dengan keadaan fisik sebuah objek, namun mereka akan lebih masuk tentang keadaan psikologi, kecenderungan individual, hasrat saat itu, dan lain sebagainya yang pastiny semua itu belum ada di zaman sekarang.
          Seiring dengan berkembanganya zaman, apa yang sekarang tidak terbesit dipikiran orang-orang jenius pun besok akan menjadi proyek besar bagi mereka. mungkin saja di masa depan sudah ada alat pengubah wajah dan bentuk, sehingga mereka akan sibuk dengan meneliti satu persatu manuskrip dan menelitinya apakah perubahan itu ada atau tidak pada saat ini. Dan pastinya kan belum ada.
          Dan seharusnya itulah PR besar buat kita, untuk menemukan sesuatu yang akan di anggap biasa di masa depan, jarang di sadari hadirnya, tapi sangat bermanfaat. Saya yakin pada 3500 SM silam masyarakat di selatan polandia jarang ada yang menyadari betapa pentingnya hadirnya sebuah roda dalam kehidupan mereka, tapi saat ini bisa diliat betapa ruwetnya kehidupan kita jika tanpa roda.
          Pada saat itu mungkin tidak terbesit dalam pikiran mereka kalau mereka bakal menjadi sejarah yang penting bagi kehidupan dunia, tapi nyatanya itulah salah satu sejarah yang luar biasa. Jadi, tidak menutup kemungkinan juga kita sekarang adalah sejarah yang luar biasa untuk masa depan. Minimal sejarah untuk keluarga kita sendiri.

Ruang Gelap Penulis MBS



Menuruti kata hati adalah hal yang baik, apalagi dalam usaha untuk menjadi diri sendiri. Menuruti kata hati jugalah yang merupakan solusi paling tepat, saat kita bingung mencari siapa kita yang sebenarnya. Berusaha menurutinya juga adalah sebuah usaha dari kita untuk menambah satu warna baru buat dunia. Pun dengan ini, saat kita dalam masalah yang pelik, kita bisa mendapat pencerahan. Iya, hanya dengan menuruti kata hati. Menuruti kata hati itu baik.
          Namun, disela-sela saya menekuni siapa diri saya, saya merasa ada sesuatu yang tak genap dalam pribadi saya, saya teringat satu kata: tiada gading yang tak retak. Dan ternyata kata itu pula yang sedang saya rasakan saat ini. Sebaik-baik sistem “menuruti kata hati” masih aja ada kekurangan dalam hal ini. Malahan ini adalah musibah bagi saya jika saya meneruskan prinsip ini.
          Adalah dalam menulis. Sedari dulu mindset saya selalu memaksa saya untuk mengurungkan keinginan kuat saya dalam menulis saat suasana hati tidak mood. dan itu sangatlah tidak membantu. Menulis adalah bahasa hati namun tidak berarti harus selalu menuruti hati. Menulis harus sesuai dengan mood adalah momok yang menjebak saja dan bahkan menjerumuskan. Apalagi, bagi penulis-penulis pemula.
          Dan untuk itu, alangkah lebih baiknya jika kita menjadikan aktifitas menulis adalah sebuah rutinitas nyata, bukan rutinitas yang menggantung pada hati. Seperti halnya sholat magrib, yang setiap senja tiba, kita bersiap-siap untuk menyambutnya. Dalam keadaan apapun itu, dan dengan hasil yang bagaimanapun itu.
          Kedua, selama 7 tahun saya belajar banyak dari pondok yang sangat berjasa ini,  saya belum pernah memahami istilah bencmarking dengan benar. Dalam proses pembelajaran selama itu, saya hanya bisa memahami kalau saya dilarang sekali untuk meniru tipikal tulisan penulis lain. Selain itu, hanyalah doktrin yang memaksa saya menjadi orang lain dalam menulis. Dan inilah yang bagi saya sesuatu yang akan lebih indah jika kita berani untuk sedikit merubahnya.
          Bencmarking atau menjadikan penulis lain sebagai model acuan berbeda dengan meniru. Dan ini sangatlah vital sebagai tongkat penuntun untuk penulis yang masih buta seperti kita. Di dalamnya kita akan belajar menganalisa, meneliti, dan belajar tentang tipikal penulis lain. Sehingga darinya kita akan tahu mana tipikal yang pas buat kita. Kemudian kita mulai belajar dari penulis itu dan akhirnya kita akan menemukan ke-khasan kita dalam menulis. Saya merekomendasikan untuk mencari model acuan penulis yang terhebat, bagimu.
Ketiga adalah krisis tipikal. Semua penulis mempunyai khas masing-masing, termasuk juga penulis yang ada dalam Mambaus Sholihin. Dalam hal ini Mambaus Sholihin memilikinya, sungguh hebat memang. Namun kehebatan itu tertambat. Karena diantara mereka pun tak sedikit yang saling menghujat, saling membenarkan tipikalnya sendiri dengan alasan: penulis hebat itu harus siap dihujat. Sehingga tanpa disadari dari sebuah egosentris itu banyak yang menggantungkan kekhasannya demi sebuah pujian dan menghindari hujatan dari penulis lainnya. Dan mungkin itulah yang menginspirasi saya untuk mengatakan: Mambaus Sholihin krisis tipikal.
          Memahami karakter penulisan penulis lain bukanlah dengan membangun alasan untuk menghujat, akan tetapi menghujat dengan alasan yang membangun.
         

         

TUHAN: Kata Siapa Tidak Butuh Kita



Saya pernah berfikir singkat tentang seputing rokok yang menyala. Ternyata rokok akan tampak begitu keren jika dilihat saat menyela dan ketika sedang dihisap oleh para perokok. Karena dalam keadaan seperti itu sajalah rokok menjadi rokok yang sebenarnya: sesuatu yang menenangkan.  Dan ini benar-benar mengingatkan saya pada sebuah tulisan bijaksana: seekor singa akan tampak begitu tampan saat mengejar mangsanya.
          Singa membutuhkan mangsa untuk menjadi singa yang waw dan keren. Rokok pastinya juga membutuhkan api untuk bisa dinikmati oleh para pecandu hingga akhirnya menjadi rokok yang benar-benar rokok. Jadi, secara sederhana dapat saya simpulkan: bahwa rokok itu tidak ada tanpa adanya api. Karena rokok tanpa api akan kehilangan sisi paling vitalnya, bagaikan rusa yang telah tertikam jantungnya oleh singa, mati, sirna, dan tidak ada.
          Dari pemikiran sederhana itu, saya menjadi berfikir dua kali, ketika ruang pikir itu saya hubungkan dengan keberadaan Tuhan. Bagaimana nasib Tuhan yang biasanya disebut sebagai sang Kholik tanpa hadirnya sang makhluk. Jawaban sementara saya tentang ini adalah sama dengan judul artikel ini: Tuhan masih membutuhkan kita. Karena jika kita mengaca dari paragraf saya di atas, sesuatu tanpa adanya sesuatu lainnya dimana fungsinya adalah wajib, maka tidak adanya adalah juga ketidakdianggapannya. Bagaikan seputing rokok tanpa api, ketiadaannya mungkin lebih tepat dari pada keberadaannya namun tidak berfungsi sebagaimana fungsinya. Begitu pula dengan Tuhan, tanpa adanya ciptaannya, dengan alasan apa, Dia layak disebut sebagai Sang Pencipta, toh makhluknya saja tidak ada.
          Seseorang disebut tampan, disebut pinter, disebut putih karena ada seorang lainnya yang jelek, seorang lainnya yang bodoh, dan seorang lainnya yang hitam. Semuanya ada karena adanya sesuatu lainnya, tak terkecuali Tuhan. Sehingga dari satu alasan ini dan dari satu sisi ini, Tuhan memang masih membutuhkan kita, selaku Makhluknya.15072013