Kamis, 28 November 2013

Kanunisasi Teks dalam Islam


Perbincangan beberapa mata, selepas kuliah Bahasa Arab kemarin, ternyata banyak menyisakan tanya dalam benak saya. Salah satunya adalah mengenai salah satu ayat al-Quran: la yamassuhu illa al-mutohharun. Iya, dari ayat itu, barusan terpikir oleh saya kalau ayat itu tidaklah baik-baik saja. Ayat itu sering sekali menemani kehidan sayasehari-hari. Atau bahkan bukan hanya saya, tetapi semua muslim dunia karena di setiap Mushaf—yang saya tahu—tertulis dikovernya kalimat tersebut. Dan hal itulah yang selama ini membuat saya yakin kalau ayat itu baik-baik saja.
Namun, berangkat dari perbincangan saya dengan guru pemikiran saya, saya jadi tercerahkan. Selain itu, saya juga menghabiskan beberapa jam untuk merenungkan kembali semua yang berada di balik ayat misteri itu.
Adalah ketika ayat itu diasumsikan sebagai salah satu referensi akan kesucian al-Quran. Saya ulangi lagi: sebagai dalil mengenai kesucian Quran yang beranjak darinya semua yang ingin memegangnya harus dalam keadaan suci. Hal itu ada karena tersurat di dalam ayatnya lafadz al-mutahharun yang artinya orang-orang yang bersih dan suci. Dan jika itu dimasukkan dalam kalimat yang ada, maka arti termudahnya adalah: yang boleh menyentuh Quran—jika diasumsikan Quran—hanyalah orang-orang yang suci. Dengan demikian, dalam paragraf ini, itu tidaklah salah, semua masih baik-baik saja dan masih bisa diterima tanpa harus memikirkan unsur eksternal lainnya.
Akan tetapi, jika kita sedikit meluangkan waktu kita untuk merenungkunnya, maka hasilnya pasti berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, yaitu tentang kapan Quran diturunkan dan kapan Quran dibukukan. Hal itu memunculkan tanya: Bagaimana nasib ayat ini selama sekian tahun—mulai masa Abu Bakar sampai akhir pemerintahan Umar—ketika Quran belum dibukukan? Apakah mungkin jika kelompok muslim diharuskan untuk suci dalam memegang Quran, tetapi wujud Quran sendiri belum ada. Dan di titik inilah ayat itu masih perlu banyak penyembuhan asumsi.
Dari beberapa literatur tafsir-tafsir klasik yang pernah saya dengar dari dosen saya kemarin, ayat itu diasumsikan kembali kepada Quran yang berada dalam lauh almahfudz, namun, lagi-lagi pendapat itu masih agak sakit karena tidak bisa diterima oleh kalangan awam kebanyakan. Jika itu dikata adalah wujud Quran yang berada jauh di sana, ada dua keganjilan. Pertama, siapakah yang bisa dan akan menyentuhnya? Kedua, jika yang dimaksud itu adalah Quran yang di sana, bagaimana nasib Quran yang sekarang ada di tangan-tangan kebanyakan muslim dunia? Apakah masih berlaku penerapan keharusan suci ketika menyentuhnya? Entahlah. Satu PR lagi buat saya.
Selain itu, ketika memang ada beberapa pendapat yang menyimpulkan, bahwa seiring terbukukannya Quran, maka rujukan ayat tersebut juga berubah dan beralih kepada Quran yang ada sekarang, masih sajalah ada satu ketidaknyamanan dalam benak saya. Itu adalah tentang: kapan Quran mulai menjadi sakral dan suci seperti sekarang? Apakah ketika kali pertama terbit langsung begini adanya? Dan mengenai jawaban akan itu, saya teringat beberapa buku yang pernah dikutip oleh teman-teman ketika diskusi kemarin. Dari situ, ada sedikit pengetahuan yang saya dapat, yakni mengenai proses kanunisasi Injil. Ternyata, dalam Kristen ada momen waktu Injil disakralkan. Jadi, salah satu kitab yang wajib dipercayai kelompok muslim ini ternyata tidak langsung sakral sebagaimanan sekarang, tetapi ada proses dan bertepi kepada satu waktu ketika salah satu pemuka Kristen—saya lupa namanya—menyakralkan Injil.

Pada akhirnya, mengetahui dalam Injil pun ada proses kanunisasi, apakah dalam Quran ada proses tersebut, toh dari semua paragraf di awal tadi, banyak sekali keganjilan-keganjilan mengenai satu ayat yang diklaim sebagai salah satunya basis disucikannya Quran. Entahlah. Zev291113

Rabu, 27 November 2013

Tujuh Keajaiban Rezeki, Katanya


Di tengah-tengah kejengahan saya kemarin, saya dipertemukan dengan Ippo Santoso. Iya, satu nama yang sangat tidak asing dalam benak saya. Dia adalah penulis buku—Sepiring Inspirasi dari Langit—yang bisa dikata begitu bermanfaat bagi pola pikir saya dulu. Akan tetapi, di sini, saya menemukan sesuatu yang berbeda. Lebih tepatnya, hal itu berbeda dengan spekulasi tentang dia sebelumnya. Apa yang dia sampaikan dalam video seminarnya membuat saya perlu untuk mengaji ulang tentang penilaian saya terhadap bukunya selama ini.
Adalah tentang kesimpulan singkat Ippo dalam tengah-tengah seminarnya. Itu dikatakan bahwa jika seseorang  ingin kaya secara ekstrim, maka yang bersangkutan juga harus berani untuk bersedekah secara ekstrim. Secara tersirat, hal tersebut sangatlah mendewakan materi. Dalam satu wilayah, saya sepakat dengan semua prolog yang disampaikannya. Prolog-prolognya begitu mengalir, provokatif, motivatif, dan inspiratif, namun boleh jadi, Ippo lupa kalau tidak seharusnya yang menjadi tujuan utamanya adalah materi.
Masih dalam ruangan ini, dikatakan juga olehnya: tanpa adanya materi, kita tidak akan bisa total membantu kemajuan umat muslim dunia. Karena yang dunia rindukan sekarang bukanlah semakin meningkatnya jumlah jamaah haji dan semakin meningkatnya jumlah muslim yang bisa sekolah secara mandiri, tidak. Akan tetapi, sesuatu yang dirindukan itu adalah tokoh-tokoh yang bisa menghajikan dan bisa menyekolahkan orang lain. Iya, dalam hal itu, saya seiya-sekata dengan Ippo Santoso.
Namun, alangkah lebih baiknya jika sesuatu yang diprioritaskan itu bukanlah harta atau kekayaan. Menurut saya, dalam hal ini—sedekah—sesuatu yang sebenarnya perlu kita utamakan di dalamnya adalah hasrat untuk berterimakasih. Jadi, kita melakukan hal tersebut bukan semata-mata karena ingin imbalan, tetapi hanya ingin mengekspresikan serta membuktikan kalau kita benar-benar berterimakasih atas semua nikmat yang pastinya semua orang memilikinya. Dan saya kira, keadaan ini lebih bisa mengangkat derajat kita dari sekadar hasrat untuk meraup untung yang sebanyak-banyaknya karena tidak semua orang bisa melakukannya.

Seperti halnya sholat Dhuha. Menurut saya, sholat dhuha itu ada bukan sebagai wahana spiritual untuk melancarkan rezeki seseorang. Namun, itu ada supaya  kita senang untuk berterimaksih atas semua yang sudah kita miliki. Meskipun hasrat untuk kaya itu tidak dilarang, meskipun Tuhan itu juga kaya, dan meskipun kaya itu juga penting, tetapi saya rasa yang lebih penting itu adalah bagaiman caranya agar kita tidak terlihat begitu materialistis dihadapan-Nya. Manusia saja sangat enggan untuk mendekat dengan seorang yang materialistis apalagi Tuhan. Toh walapun kita tidak menggebu meminta kaya dengan sedekah, Tuhan pasti akan membalasnya juga. Zev271113

Selasa, 26 November 2013

Pembacaan Kembali UU Pelarangan Duduk Ngangkang Di Aceh Dengan Pendekatan Ushul Fiqih


             Dari berbagai kajian, baik menurut latar belakang adat-istiadat ataupun hukum ketatanegaraan, respon mengenai pelarangan UU ini hampir semuanya satu suara, yaitu mengecam. Beberapa darinya adalah tokoh-tokoh pemuka agama Indonesia: Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Amidhan, Ketua MUI saat ini.[1] Mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa hal ini tidaklah berdasarkan kepada agama, tetapi lebih bersifat adat-istiadat. Dengan demikian, menurut versi tokoh sekaliber mereka, isu yang mengatakan bahwa salah satu alasan digalakkan UU ini adalah berbasis pada Syariat Islam—karena antara adat aceh dan Syariat islam adalah sama—[2]itu kuranglah tepat. Dan yang tepat, itu disebut sebagai Syariat Aceh atau Islam Aceh bukan Islam secara umum.
Selanjutnya, jika dikaji menggunakan kacamata berdimensi lain—Ushul Fiqih—maka kesimpulan yang bisa diambil pun tidak berbeda jauh: sama-sama tidak setuju dengan penerapan UU tersebut. Selayang pikir saja, menurut sumber hukum dalam Islam—Qur’an, hadits, hasil qiyas, dan hasil ijma’—itu tidak bisa ditemukan secara jelas kalau duduk ngangkang itu benar-benar dilarang. Justru, jika hal tersebut dikaji dengan pendekatan ini, maka hasilnya malah sebaliknya: duduk ngangkang dianjurkan ketika memang dengan itu pengendara sepeda motor lebih bisa nyaman dan aman. Dengan demikian, baik itu dikaji secara tekstualis, analogis ataupun maslahah, hasilnya akan tetap sama: UU ini perlu dihapus.
1.      1. Pendekatan Tekstual.
Dalam konteks ini, sumber yang dapat diambil adalah ayat al-Qur’an yang menjelaskan kalau Islam itu rahmatan lil alamin (21:107). Di dalamnya tersirat bahwa Islam itu fleksibel dan dalam hal tertentu dia lebih mengedepankan kemaslahatan. Ayat ini hadir di dalam surat al-Anbiya’ tempat beberapa cerita tentang penentangan kaum-kaum para nabi sebelum Islam terhadap para nabinya tertulis. Dan hal itu memicu terteranya ayat-ayat himbauan dan peringatan tentang perilaku mereka. Salah satu darinya adalah ayat yang menjelaskan tentang kepastian terjadinya hari kiamat (21:104). Selain itu, secara implisit, beberapa ayat sebelumnya juga menggambarkan bagaimana sebuah agama itu harus dipandang secara fungsional. Dan itu tergambar dengan adanya dua penekanan dalam beragama, yaitu interaksi yang baik dan monoteisme.
Di titik inilah, salah satu alasan mengapa ayat yang diambil adalah ayat mengenai rahmat bagi seluruh manusia. Jika hal itu dipahami lebih dalam, maka kata rahmatan lil alamin itu sangat terkait dengan sebuah hubungan, baik itu hubungan sesama manusia, alam, dan budaya-budaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, karena alasan pertama dihadirkannya UU di atas adalah penegakan Syariat Islam—yang juga selaku adat setempat yang sarat akan sebuah hubungan—maka tidaklah salah jika peristiwa ini dihubungkan dengan ayat tersebut.
Kemudian, berbicara mengenai hukum, tanpa banyak kata pun, hal itu bisa disimpulkan bahwa larangan hukum duduk ngangkang ini tidak sesuai dengan ayat terkait. Karena—dari berbagai kajian yang ada—penerapan UU ini tidak mengundang manfaat sama sekali dan bahkan malah mengundang mala. Dan hal itu sangat kontras dengan pemahaman rahmatan lil alamin tempat keamanan dan kenyamanan lebih dikedepankan. Sehingga dari sudut pandang ini, hasilnya masih sama: UU ini harus dihilangkan.
Masih berkenaan dengan itu, berangkat dari hadits, kesimpulan tentang itu masih satu warna. Adalah tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daraquthni (III/470, no. 4461):

عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari hadist yang juga dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa'nya (II/571, no. 31), dari susunan kebahasaannya saja, itu bisa dipahami: Islam itu tidak menginginkan adanya suatu bahaya dan sesuatu yang membahayakan orang lain. Bahkan dalam riwayatnya Al-Baihaqi (VI/69) hal itu sangat dilarang.[3]
Berhubungan dengan itu, menurut berbagai kajian yang sudah ada sejak awal 2013 silam, UU di atas menuai banyak kecaman, baik dari masyarakat dunia dan bahkan dari masyarakat Aceh dan sekitarnya.[4] Hal tersebut sudah menjadi bukti konkrit kalau UU ini tidak mempunyai banyak manfaat sebagaimana UU lainnya. Meski itu ada, tetapi jika dibandingkan dengan banyaknya resiko yang akan terjadi, maka hasilnya tetaplah sama: masih membahayakan orang lain.
Contoh konkritnya: ketika ibu-ibu pergi berbelanja ke pasar dengan menggunakan sepeda motor. Pemandangan yang pasti terjadi selepas ibu-ibu berbelanja adalah kerumitan mereka membawa pulang barang-barang belanjaannya jika mereka tidak duduk ngangkang dan itu juga sangat rawan kecelakaan karena tidak adanya balance antara kiri dan kanan. Selain itu, ketika ada satu keluarga yang sekedar ingin mengajak anak mereka menikmati pemandangan kota, pasti mereka juga akan bingung menaruh anaknya jika sang ibu tidak boleh duduk ngangkang. Dari dua contoh kecil tersebut, itu bisa mewakili bahwa UU ini dapat membahayakan siapa saja dan tidak sesuai dengan apa yang tertulis dari hadits di atas. Sehingga melalui sumber hukum kedua ini pula, UU larangan duduk ngangkang masih harus dihapus.
2.    2.   Pendekatan Analogis
Sebenarnya, melalui pendekatan inipun hasilnya tidaklah berbeda. UU tersebut masih tidak mencerminkan sebuah kebijaksanaan, baik dalam kebangsaan dan keagamaan. Akan tetapi, hal ini lebih dominan kepada komparasi antara manfaat dan mala yang terkandung dalam UU ini. Minimal, diakui atau tidak, UU ini pasti memiliki nilai putih tertentu. Dan disebabkan oleh itu, agar hukum dari keduanya jelas: mana yang harus dikedepankan, maka ada beberapa kaidah yang digunakan dalam hal ini.
Pertama, وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ: Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.[5] Dari sini, terpikir bahwa terjaganya keselamatan, kenyamanan, dan keamanan masyarakat dalam berkendara—sebagai mala yang umum—itu harus lebih didahulukan daripada terjaganya kesopanan perempuan sebagai mala yang khusus toh idealitas kesopanan itu juga masih abstrak. Dan menurut beberapa pendapat hal ini disejajarkan dengan keharusan seseorang yang menimbun barang dagangnya untuk menjualnya sesuai harga pasar demi para pembeli yang bersifat lebih umum.
Kedua, الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ: Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.[6] Selayang pandang, ketika itu akan dihilangkan dengan hal sebanding saja tidak bisa apalagi jika dihilangkan dengan hal yang melebihinya, pasti tidak mungkin. Seperti halnya dengan usaha Pemerintah Aceh yang ingin menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak senonoh—yang mereka pandang sebagai mala—tersebut dengan UU pelarangan yang sarat akan bahaya-bahaya yang lebih dari hanya sekedar ketidaksopanan seorang wanita dalam berkendara.
Pada akhirnya, semua itu bisa dikata bahwa melalui pendekatan yang banyak mempertimbangkan adanya ketidaknyamanan masyarakat ini, UU mengenai larangan duduk ngangkang lebih banyak mengandung mala dari pada manfaatnya. Selain itu juga, jika itu dilihat dari keadaan politik Aceh saat itu, sangat mungkin sekali, pembuatan UU ini tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan lainnya yang berbeda dengan tujuan inti yang diungkapkan di awal, Syariat Islam.[7]



[1] Sebuah artikel  tanpa penulis, “Perda Yang Menindas Perempuan” dalam Analisa Media, Januari 2013.
[2] Dazni Yuzar, “Implementasi Syariat Islam” dalam Modus Aceh, edisi 7—13 Januari 2013, hlm. 4.
[3] Redaksi matannya مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
[4] Warsidi, Adi, “Larangan Duduk Mengangkang = Taliban Pakistan?” dalam http://www.tempo.co, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain” dalam http://almanhaj.or.id, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[6] Ibid.
[7] Aziz Anwar Fachrudin, “Kritikan Larangan Ngangkang” dalam http://azisaf.wordpress.com,diakses tanggal 27 Nopember 2013.

Senin, 25 November 2013

Muhammad SAW. dan Isa Al-Masih (al-rofiq al-a’la min al-jannah)



Selama ini, sering diketahui bahwa ucapan terakhir Muhammad SAW. sebelum menghembuskan napas akhirnya adalah ummati, ummati, dan ummati (Muhammad Muhibuddin, 2013: 7). Hal tersebut seakan sudah sampai di telinga kebanyakan orang sehingga banyak juga interpretasi mengenai makna lain yang tersirat dari ungkapan simpel itu. Ada yang memandang itu adalah satu potret ideal bagaimana seorang pemimpin itu harus menjadi dan beraksi. Selain itu, ada juga yang menilai—dengan itu—Muhammad adalah satu-satunya manusia yang layak dan pantas menempati tempat pertama di antara 99 manusia lainnya yang paling berpengaruh dalam sejarah versinya Bapak Michael Hart.
Namun, jika ditelaah lebih dalam mengenai kebenaran akan ucapan terakhir Muhammad SAW., maka ada sesuatu yang berbeda. Itu adalah tentang kata itu sendiri. dalam hadistnya Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnya jilid II: 300, tertulis dengan jelas bahwa ucapan terakhir nabi bukanlah ummati, tetapi al-rofiq al-a’la min al-jannah. Dan dalam hal ini, ketika dilihat dengan kacamata lain, akan ada sesuatu yang lain pula.
Adalah tentang pengertian ucapan terakhir nabi tersebut. Keluar dari konteks makna filosofis—sebagaimana versi ummati diinterpretasikan—lafadz al-rofiq al-a’la min al-jannah, menurut Bapak Muhdlir memiliki konsep yang sangat dalam, bahkan melebihi dalam dan banyaknya makna tersirat yang disiratkan banyak pemikir tentang makna ummati dalam versi sebelumnya. Hal tersebut diartikan sebagai satu konsep baru tentang teologi. Dan diyakini, itu memiliki rate yang sama dengan konsep teologi yang sampai saat ini jamak dianut dalam kristen.
Dalam Kristen, dikenal ada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak. Keduanya, meski dipandang sama-sama Tuhan, tetapi ada unsur hierarkinya. Dalam arti, antara anak dan bapak, keduanya memiliki derajat yang berbeda. Anak harus lebih menghormati bapanya, begitu juga dengan bapa harus menghargai anaknya. Keduanya berbeda derajat. Itu semua tentang konsep Teologi yang ada dalam kristen dengan satu nabinya, Isa Al-Masih.
Kemudian, beralih kepada konsep teologi dalam Islam yang berbasis pada ucapan terakhir Muhammad SAW. di atas. Al-rofiq al-a’la min al-jannah sama artinya dengan teman yang luhur dari surga. Dan hal itu menyebabkan ucapan tersebut dipahami sebagai sebuah konsep baru, yaitu Tuhan Teman. Mudahnya, berdasar kepada ucapan terakhir itu, Muhammad SAW. sepertinya layak dijadikan Tuhan kedua setelah Allah.
Sehingga dari kedua konsep ketuhanan di atas, sebenarnya, trinitas—yang selama ini populer dalam kristen—juga ada dalam Islam. Hanya saja, keduanya memiliki titik perbedaan, yaitu dalam hal hierarkinya. Jika dalam Islam, maka hierarkinya itu setara: antara Tuhan Teman—Muhammad SAW.—dan Allah memiliki derajat layaknya sejoli teman. Sedangkan, dalam kristen memiliki hierarki yang tidak setara, yaitu antara anak dan bapa. Dengan demikian, jika berbasis kepada catatan ini, antara Islam dan Kristen tidaklah berbeda perihal konsep ketuhannya: Tuhan Teman dan Tuhan Anak.

Menanggapi itu, dalam hemat saya, kedua konsep itu tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita mengenai wihdatulwujud yang sering digambarkan sebagai alirannya Syaikh Siti Jenar. Dalam wilayah lain, keduanya lebih sesuai jika dipahami sebagai bentuk tasawuf dari Muhammad SAW. dan Isa Al- Masih. Akan tetapi, seandainya keduanya dibandingkan pun, sepertinya Muhammad SAW. lebih sesuati untuk dijadikan Tuhan Teman daripada Isa Al-Masih sebagai Tuhan Anak. Entahlah.Zev211113 

Minggu, 24 November 2013

Satu-Satunya yang Pasti Adalah Ketidakpastian


Saya ulangi satu kali lagi: satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Iya, pasti sudah jamak diketahui bahwa satu ungkapan tersebut adalah salah satu ide Einsten jika dibahasakan dalam B. Indonesia. Insipirasi untuk menulis catatan ada ketika  saya membaca novel 5 CM, entah siapa pengarangnya saya lupa namanya.
Dirasa atau tidak, masih berhubungan dengan ketidakpastian, salah satu keadaan terbaik dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Mengapa? Pertama, karena tanpa keadaan seperti itu, manusia akan sangat sulit untuk berterima kasih dengan apapun yang telah dia miliki. Dalam hal umur misalnya, ketika manusia sudah mengetahui di umur yang keberapa dia meninggal, maka kemungkinan terbesar yang akan dilakukan manusia tersebut adalah berfoya-foya di 80% hidupnya dan baru ketika kurang 2 tahun dia meninggal, dia berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal itu bisa dibayangkan, bagaimana jadinya dunia ini jika semua manusia dalam 80% hidupnya bertindak semaunya tanpa adanya sesuatu yang dia takuti, toh mayoritas penduduk dunia adalah orang-orang yang beragama.[1] Selain itu, contoh lainnya adalah tentang bukti empiris dari orang-orang yang pernah naik kapal laut. Andaikan kapal tersebut berjalan dengan sangat tenang, bisa dipastikan semua penumpang yang berada di dalamnya akan santai dan cenderung tidak berterima kasih akan keadaan nyaman tersebut. Akan tetapi jika kapal itu berjalan berkeok-keok terkena ombak yang cukup besar, maka kemungkinan terbanyaknya para penumpang akan khawatir dan cenderung berharap kepada suatu dzat menurut keyakinannya masing-masing. Orang-orang yang tak percaya akan Tuhan pun pasti akan turut berharap. Dengan demikian, satu hal lagi yang diyakini bisa membuat kepribadian seseorang menjadi baik dan taat adalah ketidakpastian. Bagaimanapun juga keadaan yang selama ini sering dipandang labil memiliki potensi yang luar biasa.
Kedua, yaitu tentang jodoh, bisa dibayangkan jika semua orang sudah mengetahui siapa jodohnya, maka kenyataan yang ada saat ini pasti akan jauh berbeda. Seseorang pasti akan enggan untuk berlomba-lomba menghiasi dirinya sebaik mungkin demi jodohnya, jika dia sudah tahu siapakah jodohnya. Bahkan dia akan cenderung mempermainkan banyak hati dari lawan jenisnya. Disepakati atau tidak, pemandangan yang mulai pupus tentang usaha-usaha tertentu yang dilakukan beberapa manusia untuk menghiasi dirinya demi jodohnya kelak karena keyakinannya adalah suatu pemandangan yang akan sangat dirindukan oleh dunia. Dan hanya dengan satu ketidakpastian ini, boleh jadi budaya tersebut masih akan eksis untuk bertahun-tahun berikutnya.
Ketiga, rezeki. Hal ini tidak berbeda jauh dengan paragraf-paragraf sebelumnya, hanya saja berbeda orientasi. Dalam hal ini, jika rezeki setiap orang sudah pasti dan yang bersangkutan telah mengetahuinya, maka kemungkinan terbaik yang akan terjadi adalah kemalasan manusia untuk bekerja. Bisa dispekulasikan, bagaimana rasanya kehidupan ini kalau tidak ada satu pun orang yang rajin berangkat bekerja di setiap paginya, tiada lagi para sopir trans yang menyetir pagi-pagi, dan tiada lagi toko-toko yang mau buka 24 jam. Dan keadaan seperti itu akan benar-benar terjadi jika ketidakpastian akan rezeki itu tidak ada.
Masih berkenaan dengan itu, di wilayah peribadatan, ternyata kepastian yang selama ini dipandang baku, menurut saya masihlah akan menemui titik ketidakpastian. Adalah tentang 6 rakaatnya sholat ashar. Hal tersebut akan sesuai dengan jumlahnya jika dilakukan sesuai waktu yang dianjurkan oleh ulama ahli fikih, tetapi jika dilakukan selepas 2 jam dari waktu adzan, maka kurang tepat juga jika sholat Ashar dilakukan 6 rakaat. Dan apakah itu masih dinamakan sebuah kepastian? Saya kira tidak.
Dengan demikian, apa yang pernah diidekan Einsten beberapa tahun silam, masih belum bisa dibantah, meski dalam ranah religi-peribadatannya sebuah agama.zev241113







[1] Ippo,”Tujuh Keajaiban Rezeki” dalam seminarnya, 2012.

Sabtu, 23 November 2013

Mengapa Saya Seperti Ini Sekarang, Mengapa Saya di Sini Sekarang, dan Mengapa Saya Tidak Mengerti Sekarang (Kegelisahan Saya dan Kegelisahan Karl Marx)

Ketiga pertanyaan di atas spontan muncul dalam benak saya selepas sholat dluha. Dan hal itu bukan untuk kali pertamanya ini. Sering, hal-hal seperti itu menyelimuti hati dan perasaan saya. Selain ketiga hal di atas masih banyak perincian sesuatu lain yang sampai saat ini masih menggantung dalam benak. Beberapa darinya adalah tentang keadaan saya sekarang: mengapa saya dilahirkan dari kedua orang tua yang sekarang saya miliki? Mengapa tidak dilahirkan dari orang tua lain? Mengapa saya dilahirkan di Tuban dengan lingkungannya yang bersosial tinggi—daripada daerah Surabaya dan sekitarnya—dan mengapa pula sekarang saya terlempar di sini, di Jogjakarta? Entahlah.

Masih mengenai tanda tanya itu, saya berfikir: saya juga tidak pernah menginginkan semua itu, saya tidak mempunyai rencana ataupun sebagainya. Lantas, siapakah yang menginginkan dan merencanakan sesuatu ini? Dan jawaban yang paling tepat tentang itu—untuk sekarang—hanyalah tertuju kepada suatu dzat yang dalam agama saya saat ini, itu disebut sebagai Allah. Iya, Allah, Tuhannya Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen, dan Nasrani.

Sebelum saya mencatat lebih lanjut, saya masih ingin mempertanyakan beberapa hal terkait. Itu adalah mengenai tujuan dari semua keinginan yang bukan milik saya di atas. Jika memang benar itu adalah keinginan dari-Nya, maka tiadanya tujuan akan hal itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Semuanya pasti memiliki tujuan. Dan tujuan itulah yang membuat saya untuk berfikir kali keduanya.
Tujuan tersebut sangatlah abstrak, seabstrak hari-hari yang akan kita jalani besok setelah kematian. Dan dari ini, jika kita menggunakan salah satu metodologi dalam ushul fiqh—Qiyas—maka keduanya ber-core sama, yaitu ketiadaannya adalah ketidakmungkinan. Keabstrakan hari-hari setelah kematian sejajar dengan abstraknya tujuan Tuhan tentang persoalan-persoalan tersebut. Persoalan-persoalan tadi memiliki tujuan dan itu ada. Sehingga adanya hari-hari paska kematian itu bukanlah ketidakmungkinan, tetapi kepastian.

di wilayah lain, hal ini telah memberikan saya satu alasan lagi: mengapa saya harus tidak sepakat dengan pemikiran Marx tentang hari setelah kematian. Bagaimanapun juga, hari-hari itu layak untuk kita pikirkan demi kita sendiri dan itu bukanlah sebuah kesia-siaan ataupun ilusi belaka sebagaimana yang Mark tulis. Seperti halnya, kita perlu menghapus kegelisahan-kegelisahan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi dengan selalu memandang optimis dan positif tentang apapun tujuan yang akan tertulis untuk kita. Sehingga dengan memikirkan itu, semuanya menjadi jelas alasannya: mengapa kita lahir dari orangtua kita yang sekarang? Mengapa kita harus lahir di suatu daerah yang kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukannya? Dan mengapa kita seperti ini sekarang?


Pada akhirnya, sebuah hipotesis bisa ditulis bahwa pemimpinnya para pemimpin hidup bukan tanpa satu pemimpin tertinggi. Pemimpinnya para pemimpin dunia juga membutuhkan satu pemimpin yang mampu untuk menjawab semua persoalan-persoalan dalam hidupnya, termasuk beberapa persoalan di paragraf pertama tadi. Dengan demikian, saya mengatakan: baik dengan atau tanpa suatu institusi keagamaan, satu pemimpin tertinggi itu—Tuhan—pasti ada. zev241113

Jumat, 22 November 2013

Canberra dan Jakarta


Baru beberapa menit ini, secara tidak sengaja, saya mendengar perbincangan yang cukup seru dan terkesan saling mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing di salah satu saluran televisi populer. Di dalamnya tersiarkan, antara narasumber dari FPI, moderator—yang sekaligus pembawa beritanya—dan satu lagi seorang pengamat politik, entah siapa, saya lupa namanya. Permasalahan yang dibahas di dalamnya adalah tentang retaknya hubungan diplomatis antara Australia dengan Indonesia. Dan dari perbincangan singkat itu, terlihat, pembawa berita sedikit tidak sepakat dengan solusi yang dikoar-koarkan dari pihak FPI yang tadi dikatakan adalah sebagai perwakilan dari rakyat Indonesia. Dalam hal ini, FPI hanya memberi satu solusi, yaitu pemutusan hubungan dengan Australia dalam hal apapun. Dan jika besok ada kebijakan-kebijakan diplomatis dari pihak Australia, perlu diklarifikasi dengan cermat mengenai tulus-tidaknya kebijakan itu. Indonesia harus tegas dalam hal ini.
Menyikapi masalah itu, saya lebih suka akan reaksi geram pembawa berita kepada narasumber dari FPI barusan. Tindakan itu setidaknya menyiratkan ketidaksepakatannya dengan solusi dari FPI yang terlalu normatif. Alangkah lebih baiknya, jika dalam masalah ini mereka bisa menanggapinya dengan spekulasi yang berbeda tentang Australia.
Dalam pengamatan saya, dari berbagai pakar yang banyak berbicara di media-media masa, mereka memandang permasalahan ini dengan hati yang menyimpan rasa dendam kepada Australia sehingga pemikiran yang dihasilkan pun bernuansa geram. Dan hal itu menyebabkan lahirnya solusi-solusi yang geram pula. Bagi saya, sesuatu yang geram itu bukanlah solusi, tetapi justru masalah baru.
Upaya pertama yang lebih baiknya diberi penekanan adalah mengenai bentuk konkrit kerugian negara dari kejadian ini. Jika bentuk kerugian negara hanya sebatas hilangnya harga diri, sepertinya kurang tepat jika kita membalas mereka dengan tindakan fisik seperti pemberhentian hubungan diplomatis secara total. Kemudian, jika bentuk kerugiannya berupa nominal, perlu kiranya kita bandingkan dengan kerugian nasional akibat ulah kreatif para tikus bangsa, dan jika ternyata tidak lebih banyak darinya, maka kurang bijaksana juga kalau penutupan jembatan pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya harus dilanjutkan. Dengan demikian, perlu adanya sesuatu yang lebih dingin untuk menghadapi permasalahan yang jarang terjadi ini.
Itu adalah tentang keberanian kita untuk memandang bentuk permasalahan ini dengan kedua mata. Dalam hal ini permasalahannya adalah penyadapan. Penyadapan bukanlah serangan fisik yang langsung melukai semua rakyat. Akan tetapi itu bersifat sangat rahasia dan bahkan tidak terlihat, abstrak. Selain itu, korbannya pun hanyalah beberapa oknum yang dipandang sangat berpengaruh di Nusantara ini. Sehingga, darinya, seolah Indonesia ini hanyalah milik beberapa orang, dan ketika beberapa orang tadi sedikit saja dilukai, semua rakyat harus mengatakan bahwa yang dilukai adalah negara, tetapi nyatanya tidak.
Jadi, alangkah lebih bijaksananya, jika untuk menghadapi masalah yang terpantik dari sesuatu yang abstrak ini, kita juga menggunakan sesuatu yang abstrak pula. Bagaimana caranya? Dalam pandangan saya, kita tidak perlu memutus hubungan apapun dengan mereka. kita mengalir saja, seolah tidak ada masalah yang serius. Akan tetapi bukan berarti kita diam saja, kita perlu menengok kepada taktik ngambek ala pemuda-pemudi tanah air dewasa ini. Ketika semua dipandang baik-baik saja, kita mulai menjalankan taktik tersebut dengan memilih cuek terhadap apapun yang mereka suarakan, baik itu masalah politik, permintaan bantuan, ekspor, impor, militer, dan sebagainya. Konkritnya, ketika dari pihak sana meminta ekspor apapun yang mereka sangat membutuhkannya atau tentang bantuan militer, Indonesia hanya perlu menumpuk surat diplomasi tersebut tanpa perlu membukannya, begitu juga lainnya. Sehingga, dengan tanpa dipandang kaku, kita sudah perlahan bisa membalas aksi abstrak mereka.

Pada akhirnya, dengan tindakan bawah tanah itu, boleh jadi hubungan diplomasi kedua negara akan tampak dan dipandang baik-baik saja, tidak ada masalah. Akan tetapi, dibalik itu, kita bisa memberi mereka sebuah kekecewaan yang lebih dalam dari apa yang sekarang presiden rasakan. Dalam tanda kutip, semua itu harus dibarengi dengan profesionalitas yang konsisten dari segenap masyarakat.

Kamis, 21 November 2013

Apa itu Nabi, Apa itu Rasul, dan Kapan itu Hadist


Selama ini, jauh dari kesadaran, saya memandang adanya suatu kerancauan dalam pemahaman beberapa istilah yang sangat familiar di kalangan orang-orang beragama. Adalah tentang Nabi dan Rasul. Sejauh ini, kedua istilah tersebut—banyak dipahami—memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu tentang diwajibkannya menyampaikan dan sebaliknya. Jika Nabi, maka tidak ada kewajiban apapun untuk menyampaikan wahyu yang didapat. Sedangkan Rasul: memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada kaumnya. Keduanya berbeda dalam hal yang sangat fundamental, dilarang tidaknya sebuah dakwah.
Saya teringat salah satu ayat dalam Quran (2:61) yang menceritakan bagaimana teganya kaum Israel membunuh nabi-nabinya sendiri. Darinya, bukan mengenai kejamnya kaum Israel yang akan ditekankan dalam paragraf ini, tetapi tentang alasan mengapa nabi-nabi ketika itu banyak dibantai oleh kaumnya sendiri. Jika direnungkan lebih dalam, hal itu tidak akan terjadi ketika para nabi hanya diam dan tidak menyampaikan wahyunya seperti pengertian di awal tadi. Akan tetapi karena mereka menyampaikan wahyu dan mendakwahkannya kepada kaum Israel, maka terjadilah pembunuhan itu. Dan boleh jadi, hal itu disebabkan adanya ketidakcocokan pemikiran antara nabi-nabi dan kaum Israel atau ketidaksukaan kaum Israel terhadap cara menyampaikan wahyu itu.
Pada akhirnya, dari kenyataan di atas, pengertian mengenai nabi dan rasul yang selama ini banyak dipahami, kuranglah tepat. Karena ternyata nabi pun juga menyampaikan apa yang dia peroleh dari Tuhannya—wahyu—sehingga mereka terbunuh dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan demikian antara nabi dan rasul adalah dua istilah yang sama-sama mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu dan berdakwah tentang monoteisme kepada kaumnya.
Namun, dari pengertian yang baru tersebut bukan berarti keduanya tidak mempunyai perbedaan. Keduanya memiliki itu, yaitu mengenai sesuatu yang disampaikannya. Jika Rasul, maka sesuatu yang disampaikan adalah ajaran yang baru dan yang berbeda dengan ajaran rasul sebelumnya. Dengan demikian, ketika disebut rasul itu berjumlah ratusan ribu, maka ajaran-ajaran Tuhan juga berjumlah sedemikian banyaknya. Ajaran monoteisme lebih berjumlah ratusan ribu.
Kemudian nabi, sesuatu yang disampaikan nabi bukanlah ajaran baru seperti halnya rasul, tetapi ajaran yang sebelumnya pernah disampaikan oleh rasul yang hidup sebelumnya. Mudahnya, itu bisa dipahami bahwa nabi hanyalah sebagai penerus bukan penggagas. Dan di sinilah titik perbedaan keduanya itu tertambat. Rasul yang bertugas sebagai penggagas dan penyampai berbeda dengan nabi yang hanya bertugas sebagai penerus sekaligus penyampai untuk kali keduanya.
Masih terkait dengan itu adalah tentang hadist. Beberapa pertanyaan muncul dari semua pendapat di atas: sejak kapan apapun tentang Muhammad—perkataan, perilaku, dan ketetapan—itu disebut sebagai hadist dan sunnah? Apakah ketika berumur 40 tahun? Atukah ketika masih 25 Tahun? Kemudian, kapan juga Muhammad berperan sebagai nabi dan meneruskan dakwah rasul sebelumnya? Dan apakah peran Muhammad sebagai nabi dan rasul itu dimulai bersamaan? Jawabannya pasti sangat majemuk. Entahlah.
Namun, dari semua tanda tanya itu, ada beberapa kesimpulan baru yang saya dapat. Pertama, hal itu membuktikan bahwa Islam sangatlah luar biasa karena Islam bisa merubah kebudayaan yang buta moral hanya dalam waktu 22 tahun: islam baru ada paska diturunkannya wahyu di umur Muhammad yang ke—40. Kedua, itu membuktikan bahwa di antara Muhammad menjadi rasul dan manusia biasa, lebih lama Muhammad menjadi manusia biasa. Selama 40 Tahun lamanya, Muhammad harus bersabar dengan ketidaktahunnya tentang apapun dan hanya dengan akhlak yang luar biasa hebatnya Muhammad bisa menjalani semua itu dengan istimewa. Sehingga, darinya juga bisa tersimpulkan bahwa keputusan Muhammad untuk hanya menikahi Khodijah adalah murni dari hatinya. Dan itu berbeda dengan keputusan Muhammad untuk poligami—paska 40 tahun—yang sudah terkontaminasi dengan wahyu. Hadist terkover setelah Muhammad berumur 40 tahun.zev201113


Rabu, 20 November 2013

Babi, Sapi, dan Pelanggan Nonmuslim


Alhamdulillah, Hari ini, saya ditraktir Jiyah, teman kampus saya, untuk makan di Ayam Penyet Surabaya cabang Jogjakarta. Dia minggu kemaren ulang tahun dan baru hari ini acara tahunan itu dirayakan. Di waktu yang sama, hal itu mempertemukan saya dengan orang-orang kelas atas yang sedang asyik menikmati menu yang telah disajikan. Dan hipotesis sementara saya, orang-orang—dalam pengamatan saya—yang kebanyakan sipit itu bukanlah muslim. Dan lagi lagi hal tersebut membuat saya diam sejenak: mengapa mereka tidak memilih restoran yang menyediakan babi saja ya? Bukannya banyak digemborkan daging babi lebih nikmat dan lezat? Entahlah, boleh jadi mereka sedang krisis keuangan dan memilih yang lebih murah.
Akan tetapi bukanlah masalah harga yang saya tekankan dalam catatan saya kali ini, namun mengenai daging babi yang menjadi salah satu makanan khas mereka. Daging babi menurut kepercayaan saya sebelum ini adalah suatu penyakit. Dalam arti, daging babi diharamkan secara jelas dengan alasan kandungan yang ada di dalamnya, yaitu adalah cacing pita. Dan dari cacing pita inilah, daging babi berpotensi mengandung banyak sekali penyakit yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia. Selain itu, itu diharamkan juga karena pola hidupnya yang sangat menjijikkan: hidup dilumpur dan makan kotorannya sendiri. Dan karena alasan itu pulalah mengapa babi diharamkan dalam Islam. Hal itu juga yang menurut keyakinan saya sebelum ini adalah illat hukum dari hukum haramnya memakan babi.
Kemudian jika saya hubungkan dengan paragraf yang pertama, maka ada sesuatu yang bagi saya sangat mengherankan. Itu adalah tentang orang-orang non-muslim yang sering mengkonsumsi daging babi. Pertanyaannya: mengapa mereka masih sehat seperti itu dan bahkan lebih bugar dari kebanyakan muslim yang sering berpuasa? Dan boleh jadi, gara-gara memikirkan jawaban ini saya tidak bisa menikmati sajian ayam penyet di depan saya tadi.  Dan sampai malam ini, kesimpulan yang saya dapat dari hal itu adalah kurang tepatnya illat hukum yang dijatuhkan kepada babi, karena, jika babi dikata seperti di paragraf kedua tadi, pasti umur mereka tidak akan lama. Akan tetapi kenyataannya berbeda: mereka baik-baik saja. Selain itu, seiring dengan semakin tingginya bangunan-bangunan perkotaan, sekarang banyak dijumpai peternakan-peternakan babi tempat babi dirawat layaknya kucing peliharaan. Di dalamnya mereka tidak lagi hidup dilumpur yang kotor dan makan kotorannya sendiri, namun hidup dengan kehidupan layaknya peternakan: lumpur yang sudah tersterilkan, makanan khusus babi, dan sebagainya. Dengan demikian, berdasar paragraf ini, alasan diharamkannya babi dengan alasan pola hidupnya yang seperti itu dirasa kuranglah tepat. Hipotesis itu menimbulkan satu pertanyaan susulan: lantas, apa yang dijadikan illat hukum diharamkannya babi kalau bukan hal itu?
Untuk itu, masih segar dalam ingatan saya tentang wejangan Bapak Muhdlir kemaren tentang illat hukumnya sapi yang diharamkan di agama Hindu. Di waktu itu juga, beliau menyangkutkan kata babi di dalamnya. Itu dijelaskan bahwa sebagaimana diharamkannya sapi bagi warga Hindu, diharamkannya babi itu sudah ada semenjak masanya Nabi Musa dengan warga Yahudinya. Dan menurut pendapat yang dijelaskan, alasan utama diharamkannya babi ketika itu adalah karena seringnya dewa-dewa yang menjelma menjadi babi atau merasuki raga seekor babi. Sehingga, bagaimanapun juga, sebab konsepsi Tuhan ketika itu adalah berwujud dewa, maka suatu hal yang bodoh jika mereka memakan daging Tuhannya sendiri. Meski itu hanyalah jelmaan. Akan tetapi entahlah.

Dan akhirnya, meski saya tidak bisa memberi kesimpulan, itu bisa dipandang bahwa kajian ulang mengenai illat hukum diharamkannya babi masih sangatlah penting. Di samping itu sebagai pengetahuan baru, itu juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyikapi permasalahan beberapa tahun silam tentang fatwa haram MUI kepada produk Ajinomoto yang diklaim ada kandungan minyak babinya. Tidak menutup kemungkinan, hal serupa pasti ditemukan besok. Zev181113   

Selasa, 19 November 2013

Farabi, Avicena: bayangan dan bendanya itu tidak bisa dibedakan (Kajian Teori Emanasi)[1]


Jika benda bergerak ke kanan, maka bayangnya pun bergerak ke kanan. Hal itu juga membuat sebuah kereta bisa berjalan karena adanya rel. Seandainya kereta api tidak mempunyai rel, maka adanya itu tidak mungkin karena sama dengan ketiadaannya. Begitu juga dengan bayangan, bayangan tanpa sumber bayangan itu juga ketidakmungkinan. Dengan demikian di antara keduanya itu satu. Satu dalam suatu masa dan entitas yang sama.
Dan masih satu inti dengan itu, begitu juga dengan Tuhan. Menurut al-Farabi dan Avicena dengan teori emanasinya—teori pemancaran—Adanya Tuhan itu tidak lepas dari zaman dan dzat. Teori tersebut bercabang ganda: satu, mengenai kekodiman Tuhan yang hanya pada dzatnya saja dan dua, mengenai dzat dan zaman. Dan di dalam kedua pendapat tersebut menurut saya memiliki core yang sama tempat alam ini dipandang qodim, sama halnya dengan Tuhan.
Lebih detailnya, pendapat pertama dijelaskan bahwa kodimnya Tuhan itu hanya pada dzatnya saja, sedangkan zamannya tidak. Hal tersebut disebabkan adanya sebuah keharusan kebersamaan antara Tuhan dan zamannya. Tuhan ada tanpa adanya sebuah masa adalah ketidakmungkinan—seperti bayangan dan bendanya tadi—sehingga bagaimanapun juga dzat Tuhan yang kodim pasti bersamaan dengan zamannya. Kemudian jika keduanya bersama,itu menimbulkan kemungkinan ganda: pertama, keduanya sama-sama hadist atau baru dan kedua, keduanya qodim. Dan karena dzat Tuhan tidaklah mungkin baru, maka kesimpulan yang paling tepat adalah kesimpulan yang pertama, yaitu antara Tuhan zamannya—alam ini—adalah sesuatu yang sama-sama qodim.
Berlanjut kepada pendapat yang kedua, yaitu Tuhan itu kodim secara dzat dan zaman. Hal itu menimbulkan suatu kesimpulan bahwa Tuhan itu lebih dulu dari alam ini dari segi zamannya. Ini berarti bahwa sebelum ada zaman, telah ada suatu zaman lain—zaman al-adam—dan hal ini adalah ketidakmungkinan. Bagaimapun juga sebelum ada zaman untuk alam ini sudahlah ada suatu zaman untuk Tuhan, dan apapun nama zaman itu masihlah juga dinamakan sebuah waktu atau zaman. Dengan demikian, kesimpulan untuk paragraf ini tidaklah jauh dengan kesimpulan pargarf sebelumnya: Tuhan qodim dengan zamannya yang kodim. Alam ini Kodim.
Masih dalam ruangan ini, Ghozali memberikan suatu corak lain yang bergerak berlawanan dengan pemikiran di atas. Itu adalah tentang pembedaan antara zaman untuk alam ini dan zaman untuk Tuhan. Zaman untuk Tuhan itu satu dengan Tuhan itu sendiri—sama dengan kalam Tuhan yang satu dengan-Nya—sehingga hal itu dirasa kurang tepat jika dipandang adanya kesamaan antara zaman untuk alam ini dna zaman untuk Tuhan.
Dan sekarang, untuk hari ini, saya memikirkan, alangkah lebih baiknya jika pendapat yang mengatakan: bagaimanapun juga Tuhan pasti terikat dengan zaman, itu dihilangkan. Sehingga—mengutip bahasanya Pak Muhdlir—semua ini rampung. Tuhan itu tidak mempunyai waktu dan tempat, keadaannya karena ke-Tuhanannya itu sendiri bukan karena perluanya zaman yang menaungi ataupun tempat. Dalam wilayah lain, jika Tuhan dipandang masih bersama zaman, maka pandangan yang harus diambil juga adalah bahwa Tuhan bersama tempat. Dan hal itu adalah mustahil. Dengan demikian Tuhan dengan zaman juga mustahil.zev171113



[1] Abuddin Nata, 1993, ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN TASAWUF, Jakarta Utara: RajaGrafindo Persada, hlm. 97.

Kamis, 14 November 2013

Pemahaman Islam Normatif dan Historis


Sebenarnya antara Normatif dan Historis adalah dua pendekatan yang berbeda tapi saling terkait dan terikat. Pendekatan Normatif banyak digunakan oleh kaum-kaum teks, yaitu yang lebih mengutamakan teks dari pada konteksnya, misalnya adalah pesantren salaf yang sampai saat ini masih eksis di Indonesia. Selain itu ada kelompok-kelompok pembaru yang lebih berpihak kepada konteks dan condong langsung terhadap Quran dan Sunnah, yang tak lain adalah Bapak Quraish Shihab, Buya HAMKA, Muhammad Abduh dan lainnya. Sehingga karena perbedaan dan keterkaitannya ini, itu sering disebut sebagai Islam Normatif dan Historis. Keduanya bukan aliran ataupun komunitas, tetapi manhaj, metodologi atau pendekatan.
          Lebih detailnya, normatif berasal dari kata norma yang berarti nilai, aturan atau ketentuan yang mengikat. Dan dalam Islam, hal itu dimanifestasikan dengan Quran dan Hadist. Quran dan hadist mengandung nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa berubah sampai kapanpun. Keduanya memiliki teks atau bentuk tulisan, dan kepada kedua teks inilah pendekatan normatif berdasar. Jadi, apapun yang terjadi, semua hukum yang diatur dalam Islam tidak boleh keluar dari teks. Jika teks berbunyi A, maka hukum yang ada pun harus A. Meski di wilayah lain ada hukum B yang berinti sama dengan teks A. Itulah pendekatan normatif.
Selanjutnya adalah Historis. Historis berasal dari kata histori yang berarti sejarah. Dan jika yang dibahas sejarah, maka tidak bisa tidak apapun yang berhubungan dengan sejarah harus juga dibahas. Itu adalah tentang keadaan sosialnya, ekonominya, politiknya, psikologinya, kulturalnya, antropologinya, dan lainnya. Semua itu dari waktu ke waktu dan tempat satu ke tempat lainnya pasti berbeda. Keadaan sosial-politik ketika masa Rosul di Makkah ketika itu pasti berbeda dengan yang ada di Indonesia hari ini. Dengan demikian, berbasis kepada keadaan yang sangat dinamis tersebut, di dalam pendekatan Historis, ditarik suatu kesimpulan hukum yang lebih fleksibel, merakyat, dan tidak semuanya harus berbasisi kepada teks. Toh, tidak semua permasalahan manusia bisa terjawab hanya dengan teks. Pendekatan ini lebih mengedepankan keadaan masyarakat setempat yang dinamis dari pada teks. Seakan, dalam hal ini, Islam harus mengalah dengan keadaan masyarakat yang notabenya adalah sebagai tempat Islam dipraktekkan.

Dan akhirnya, benang merah yang bisa ditarik adalah titik fokus dari keduanya. Islam Normatif lebih fokus kepada tekstualnya: basis dari segala hukum harus tertulis dengan jelas dalam Quran dan Hadist. Sedangkan Islam Historis titik fokusnya kepada kebutuhan masyarakat. Dan dalam hal ini, metode yang digunakan bisa berupa qiyas (analogi) ataupun maslahah yang condong terhadap kebutuhan masyarakat.zev151113 

Rabu, 13 November 2013

Tasyua dan Asyuro (Apakah Hadist Terkait Bisa Dijadikan Sebagai Dasar Hukum)



Sedari tadi malam, ada sesuatu yang terasa lucu dalam benak saya sampai sore ini. Adalah tentang pertanyaan spontan Iwan Nasrullah, teman sekontrak saya yang juga jebolan Mambaus Sholihin. Pertanyaan itu simpel, tetapi sangat menggelikan, yaitu: apa puasa tasyua itu? apa manfaatnya? Dan karena saya pun tidak tahu secara bahasa atau istilah pengertian serta manfaat dari tasyua dan asyuro, maka spontan juga saya menjawab: tidak ada manfaatnya kok. Dan ternyata, jawaban saya tadi benar-benar direspon. Iwan tidak ikut berpuasa hari ini, entah karena tidak minat atau yang lainnya.

Masih dalam ruang lingkup pertama, di luar dugaan saya, di kelas, Bapak Muhdlir juga memicu kami untuk berfikir sejenak mengenai puasa yang hari ini saya lakukan. Sebelumnya, hal tersebut membuat saya ragu: karena takut tidak minat untuk berpuasa lagi dengan mendengar pemikiran-pemikiran beliau. Namun, ternyata beliau memberi ruangan yang berbeda untuk kali ini. Hal itu dimanifestasikan dengan lebih memihaknya beliau kepada pemikiran saya dan teman-teman dari pada pemikirannya. Beliau sekedar memberi wacana mengenai hadist yang berhubungan dengan asal mula dianjurkannya dua puasa ini.

Wacana itu terkait dengan hadist yang menyiratkan mengapa dua puasa ini dianjurkan. Ternyata, jauh dari bacaan saya, melalui hadist ini dijelaskan bahwa sebab adanya puasa asyuro ini adalah tindakan ikut-ikutannya Rosul terhadap budaya masyarakat setempat yang ketika itu sedang berpuasa di hari yang sama. Jadi, puasa asyuro ada karena adanya puasa yang terlebih dahulu dibudayakan oleh masyarakat ketika itu. Dan mereka tak lain adalah orang-orang yahudi. Puasa yang sekarang dilakukan oleh banyak orang ini berdasar kepada kebiasaan orang yahudi. Meskipun alasan awal orang Yahudi ini juga kepada puasanya Nabi Musa paska kemenangannya atas Firaun, tetap saja masih terasa tidak nyaman karena terkesan meniru salah satu budaya Yahudi.

Maka dari itu, dalam cerita yang tertulis karena disadari adanya ketidaknyamanan—disebabkan adanya kesamaan antara dua komunitas yang berbeda keyakinan—maka dengan penuh kebijaksanaan, Rosul menambah jumlah puasanya, yang awalnya hanya tanggal sepuluh Muharrom menjadi sepuluh dan sembilan Muharrom. Dengan demikian lahirlah puasa Tasyua. Puasa Tasyua ada hanya sebagai pembeda supaya Islam memang mempunyai sesuatu yang sendiri dan tidak meniru. Dan boleh jadi, inilah ekspresi serta bukti kalau ternyata kadar ikutnya Rosul terhadap budaya Yahudi lebih banyak dari pada terhadap puasanya Nabi Musa. Seandainya ketika itu diyakini bahwa frame yang diikuti adalah Nabi Musa, maka ketiadaan puasa sebelumnya dipandang lebih sesuai.

Sehingga dari semua itu, muncul pertanyaan—yang tadi juga beliau tanyakan kepada saya dan teman-teman—tentang pantas tidaknya dua puasa ini dijatuhi hukum, mengetahui sumber hukumnya—yang dari hadist tadi—seperti itu adanya. Dan jika dipikir sebentar, maka tidak ada alasan yang kuat mengapa hanya dengan kejadian tersebut, dua puasa ini dianjurkan atau bahkan sangat dianjurkan (dilihat dari manfaat-manfaat yang terulis).

Masih mengenai ini, saya teringat sesuatu. Adalah tentang hadist, saya barusan tahu kalau hadist tidak semuanya mempunyai nilai-nilai hukum. Dan mungkin ini salah satunya. Kemudian, ketika sebuah hadist sudah banyak dinyana tidak mempunyai nilai-nilai sebagai dasar hukum, apakah masih perlu untuk dikerjakan? Saya tadi menjawab masih. Namun, tidak tahu untuk lainnya. Semua tergantung takwil dari pribadi teman-teman. Toh, ada beberapa ayat Quran pun yang sekarang jauh dari nilai hukum dan kenyataan yang ada untuk hari ini. Itu adalah tentang teori kedataran bumi yang tersirat dari cerita Dzulkurnain dalam Quran, entahlah.zev131113

Selasa, 12 November 2013

Islam dan Pacaran


Satu kalimat simpel yang sampai sekarang masih saya ingat dari Bapak Muhdlir: saya memperbolehkan pacaran, tetapi saya mencegah maksiat. Jika dipikir sedikit objektif, hal itu bukan hanya mungkin tapi sangat mungkin. Pacaran tidak diperbolehkan karena ditakutkan yang bersangkutan tidak bisa menahan diri dan lepas kendali, maksiat. Akan tetapi jika seseorang bisa menahan diri dari maksiat atau berhubungan badan, maka pacaran bukanlah larangan. Dengan demikian, berbasis alasan itu saya sepakat dengan pendapat beliau.
Namun, satu hal yang saya kurang sependapat, bukan karena pemikiran beliau, namun pembahasaan beliau. Adalah tentang basis beliau yang mengutip ayat-ayat Yusuf dalam surat Yusuf. Beliau dengan sangat yakin menyimpulkan—entah secara bebas atau terbatas—bahwa pacaran pranikah itu diperbolehkan dalam Islam dengan mengutip ayat yang menjelaskan tentang betapa menggebunya Zulaikho maupun Yusuf dengan cintanya masing-masing. Zulaikho mencintai Yusuf, Yusuf pun mencintai Zulaikho. Keduanya saling mencintai. Dan jika ada sebuah cinta yang telah menyangkutkan dua hati, pasti sebelumnya mereka sudah mengalami momen-momen tertentu—beliau menyebutnya proses—dan di titik inilah, saya memandangnya beliau mulai yakin kalau mereka pasti berpacaran. Yusuf mencintai wanita yang sudah bersuami dengan tanpa satupun teguran didapat dan sayangnya, Zulaikho juga mencintainya.
Selain itu, di ayat sebelumnya (12:23) yang tertulis—dan Zulaikho menutup pintu-pintu—jika dipahami lebih dalam, potongan ayat tersebut ada bukan tanpa alasan. Konteks menutup pintu itu bergaul akrab dengan konteks ajakan. Jadi, secara tersirat ayat tersebut menggambarkan sebuah proses ajakan terlebih dulu sebelum puncak momen terjadi. Dan ternyata kenyataannya, Yusuf menerima ajakan tersebut—boleh jadi inilah salah satu bukti kalau mereka telah berproses lama dalam memupuk cintanya—dan zulaikho menutup semua pintunya. Dengan demikian, jika memang di antara mereka belum pernah ada momen-momen yang mengawali, boleh jadi potongan ayat tersebut tidak akan pernah ada.
Dari semua paragraf di atas, satu hal yang bagi saya kurang tepat. Namun untuk kali kesekiannya saya masih buta: apakah yang tidak tepat ungkapan Bapak Muhdlir atau teman-teman sekelas saya? entahlah, yang pasti, dalam pandangan saya, sebenarnya yang lebih cocok itu adalah Mencintai secara menggebu itu tidak dilarang dalam Islam. Seseorang bisa mencintai dengan sangat karena salah satu alasannya adalah adanya respon positif dari seseorang yang dicintainya. Begitu juga dengan Yusuf, Yusuf dikata menggebu karena dia mengetahui kalau Zulaikho juga mencintainya. Dan mengenai redaksi kata yang dipakai Bapak Muhdlir, saya kira itu juga sudah tepat. Pacaran dalam KBBI tidak mengandung satupun arti yang bergaul dengan maksiat. Dengan demikian, Hipotesis saya: titik perbedaan pandangan Bapak Muhdlir dengan teman-teman saya adalah hanya berkutat pada bagaimana mereka memandang arti sebuah pacaran. Pacaran dalam Islam diperbolehkan kok, not as taaruf but as something else.zev121113


Kontrakan, Muharrom, dan Islam (Konsekuensi Ekspresi dari Konsep Islam Bapak Abdurrohman Wahid)


Ada tiga pertanyaan yang membuat saya menulis catatan ini, yaitu: apa guna kita menggembor-gemborkan untuk bersama-sama memanjatkan doa awal dan akhir tahun baru Hijiriyah, kalau untuk mencuci piring sehabis makan saja tidak mau, untuk membersihkan kamar mandi seminggu sekali saja tidak mau, bahkan untuk sekedar mem buang abu dan bekas rokok di asbak saja tidak mau. Apakah Islam agama harapan saja? Ataukah sebatas agama ritual? Sebenarnya pemahamanku akan islam yang salah atau mereka? Atau justru Islamlah yang jahat? Waktu saya tersita 16 jam untuk merenungkan efek dari semua tanda Tanya itu.
Dalam satu hal, Islam itu memang sangat subjektif: tergantung pikiran masing-masing pemeluknya. Saya mengutip pendapatnya Bapak Afdawaiza mengenai salah satu alasan golongan Tradisional dalam ranah Ushul Fiqh yang membantah teori rasionya orang-orang Rasionalis. Bantahan itu cukup menggetarkan kaum Rasionalis yang sebelumnya memandang bahwa akal itu sangat objektif. Dan dalam hal ini saya mengamini pendapat kelompok yang pertama; akal manusia tidak mungkin  bisa objektif. Karena entitas yang memiliki akal bukan hanya seorang, tetapi banyak orang. Sehingga dari pluralnya pemilik akal tidak cocok jika semuanya bisa searah dan runtut. Pasti di antara mereka ada perbedaan. Dan di titik inilah kaum tradisionalis unggul 1—0 daripada kaum Rasionalis.
Jika saya sambungkan dengan paragraf pertama, meskipun Islam tergantung dari siapa pemeluknya, maka setidaknya mereka tidak lupa dengan konsekuensi dari subjektifitas islam mereka. Dan tadi sore ketika teman-teman mengajak rada memaksa saya untuk doa bersama awal dan akhir tahun; saya berfikir sejenak: apakah dengan sekedar doa bersama suasana rumah yang berantakan ini akan bersih dengan sendirinya. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan susulan satu-persatu menggerebek pikiran saya (seperti di paragraph pertama). Hal itu tidak akan terjadi, andai mereka bertanggung jawab dengan Islam yang telah mereka pilih sendiri, dalam arti, di samping mereka hanya berharap mereka bertindak, mereka tidak enggan untuk membersihkan rumah, kamar mandi, membuang abu dan bekas rokok di tempatnya, dan sekedar mencuci piring selepas makan karena hanya dengan itulah Islam mereka bisa menjadi Islam yang bermanfaat untuk orang lain: rohmatan lil alamin. Sekali lagi saya katakan: setiap kita memilih islam kita sendiri, di dalamnya ada konsekuensi logis tempat kita bisa melihat islam yang paling benar di antara Islam saya, Islam dia, Islam mereka, Islam kita, dan Islam kamu. Saya menyebut ini sebagai konsekuensi ekspresi.

Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan: dalam kehidupan kecil saya dengan teman-teman yang seagama saja, keegoisan dalam beragama sangat berpotensi memicu adanya konflik. Seakan Islam sangat jahat karena telah memaksa seseorang untuk taat kepadanya dan melupakan wilayah lainnya tempat seorang tadi bisa membuat nyaman orang-orang di sekitarnya. Padahal Islam bukanlah demikian. Ketika saya berbicara tentang Islam saya, Islam kamu, Islam dia, Islam kita dan Islam mereka, maka itu bukan saatnya untuk membahas seberapa dalam kita berbuat baik kepada Tuhan, namun seberapa banyak kita berbuat baik kepada sesama. Dan saya berharap melalui zona kecil ini, miniatur Islam yang menebar senyum bisa membumi di antara saya, dia, dan mereka. Zev051113