Minggu, 27 Oktober 2013

Pemimpin, Malaikat, dan Habermas


Masih segar dalam ingatan saya tentang kesimpulan spontan pembina KPMRT Jogjakarta, Bapak Marzuki, tentang konsepsi bahasa kepemimpinan yang dewasa ini semakin dipopulerkan. Tidak jarang ditemukan dalam beberapa seminar, acara organisasi, dan sebagainya, yang menggunakan kata leadership sebagai tema utama ataupun judul seminar. Tidak ada yang salah dalam hal ini, tetapi secara singkat, semua itu seakan terlalu mendewakan pemimpin. Dalam ranah pikiran juga, seakan, dari gejala seperti itu, muncul asumsi bahwa sekarang manusia semuanya ingin sekali menjadi pemimpin. Dan darinya, satu pertanyaan muncul: kalau semua ingin jadi pemimpin, siapa yang akan menjadi rakyat.
Paralel dengan itu, Mbak Hidayah, mahasiswa UGM program pascasarjana, mengajukan apologi atas asumsi Bapak Marzuki di atas. Kesimpulan baru yang Mbak Hidayah paparkan dalam rapat KPMRT kemaren ialah pemimpin di situ merupakan pemimpin yang bukan untuk sebuah formal pemerintahan, namun pemimpin pada diri sendiri. saya pribadi kurang sependapat dengan Mbak yang barusan saya kenal di acara KPMRT kemaren. Bagaimanapun juga, jika kepemimpinan sudah dijadikan suatu tema dalam pentransferan ilmu, pasti sudah terikat dengan formalitas keilmuan dan tendensi politik. Sederhananya, jika memang makna lain dari materi kepemimpinan adalah untuk memimpin diri sendiri, maka tidak seharusnya materi tentang kepemimpinan ini diseminarkan apalagi tertulis sebagai keyword utama. Sehingga dari penempatan kata kepemimpinan serta substansi yang diberi saat seminar, masih dalam kesepakatan awal: Masyarakat sekarang gila kepemimpinan.
Di wilayah lain sesuatu yang terkait dalam paragraf di atas adalah ayat Quran yang menyinggung mengenai penciptaan manusia sebagai kholifah. Sampai malam ini, saya masih memahami kholifah dalam ayat tersebut adalah sebagai pemimpin. Dan mayoritas pasti memahaminya juga sebagai pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri bukan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini semuanya bisa sepakat.
Namun, dalam sejarahnya, ketika Tuhan menerapkan konsep demokrasi kali pertamanya dengan malaikat, mereka malah mengecam kebijakan Tuhan tentang penciptaan Manusia sebagai kholifah. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang sebenarnya dipermasalahkan malaikat itu, penciptaan manusianya atau terangkatnya manusia menjadi pemimpin? Toh meski manusia dijadikan sebagai pemimpin, wilayah yang dipimpin pun tidak sampai menjangkau wilayah malaikat. Kalau juga karena alasan keprihatinan malaikat akan rusaknya dunia, sejak kapan malaikat mempunyai rasa prihatin?. Dengan demikian kurang cocok jika dari penggalan sejarah tentang bentuk protes malaikat tersebut dipahami sebagai salah satu motivasi kepemimpinan. Seakan, itu lebih condong kepada bentuk konsepsi demokrasi Tuhan yang berada dalam wilayah kepemimpinan. Sederhananya, dengan sejarah di atas, bisa jadi, Tuhan menginginkan konsep demokrasi dalam sebuah kepemimpinan.
Masih dalam satu pembahasan, saya teringat pemikiran Habermas, saya menemukan suatu kesamaan tujuan di dalamnya. Itu adalah tentang pengkotakan tujuan: di satu wilayah, manusia menjadi pemimpin umum, di wilayah lain, sebatas pemimpin diri sendiri. Dalam teori kritis paradigma barunya, habermas mengubah konsep komunikasi yang mulanya berbasis pada penaklukan menjadi komunikasi yang berbasis rasio. Sebelum ada revisi dari Habermas, teori kritis yang berada dalam naungan Frankfrut—teori kritis lama—yang masih dimotori oleh Merx Horkheimer dan Theodor Adorno konsep tentang komunikasi manusia itu berbasis pada konsep penaklukan. Kemudian kunci kendali Frankfrut diambil oleh Habermas dan teori intinya diubah menjadi teori kritis paradigma baru.  Di dalamnya Habermas menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi karakter dasar manusia adalah berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama secara rasional. Dampak gerakan konsep ini bukan berkutat kepada dirinya sendiri, tetapi kepada orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian, mengaca dari paragraf ini, manusia memang terlahir untuk menjadi pemimpin umum, semuanya berhak menjadi presiden, dan semuanya berhak untuk tidak menjadi seseorang yang dipimpin. Berbasis pendapat ini dan keluar dari paragraf sebelumnya: takwil ayat tentang kepemimpinan manusia bisa diartikan sebagai kepemimpinan formal.
Pengkotakan Habermas yang lainnya adalah sifat dasar manusia untuk bekerja. Di wilayah ini, manusia lebih mengedepankan egonya. Dan di bagian inilah manusia mempunyai tuntutan untuk memenuhi dirinya sendiri, memikirkan kehidupannya, sendiri, dan bekerja untuk dirinya sendiri. Jika dihubungkan dengan takwil ayat di atas, kata kholifah lebih cocok dipahami sebagai pemimpin yang hanya memimpin dirinya sendiri.
Dan dari pengkotakan Habermas tentang manusia tersebut, kholifah di situ berpotensi majemuk: bisa sebagai pemimpin diri sendiri, pemimpin umum atau pemimpin di situ hanya sebagai tendensi perlunya konsep demokrasi dalam setiap organ kepemimpinan. Semuanya masih abstrak, tergantung masing-masing individu mau dibawa kemanakah makna pemimpin itu. Dan tampaknya, respon Tuhan kepada protes malaikat tersebut secara blur adalah sesuatu yang benar-benar sesuatu. Sesuatu yang pasti menjadi sesuatu jika manusia sudah mengundang hikmah at-tasyri’ di dalamnya.zev271013


Jumat, 25 Oktober 2013

Katakanlah: Kita yang paling benar, jangan katakan: kita yang benar

          Sore tadi, saya tidak tahu, soal-soal mata kuliah Quran Hadist yang sebelumnya saya mengiranya paling sulit di antara lainnya, ternyata malah berada di urutan kedua makul yang paling mudah. Keadaan itu membuat saya lebih memiliki banyak kesempatan untuk mengikuti seminar nasional di conventional hall UIN SUKA. Saya bisa keluar kelas lebih cepat tujuh puluh lima menit dari waktu selesai ujian yang telah ditentukan. Saya bisa mengikuti seminar tepat waktu.
Di tempat seminar saya berfikir sejenak: di antara ratusan manusia yang hadir di sini adalah para bintang-bintang dari daerahnya masing-masing yang diutus khusus untuk mengikuti seminar nasional dalam rangka Pelatihan Kader Lanjut (PKL) pergerakan mahasiswa islam Indonesia. Saya yakin sekali mereka bukan orang-orang biasa dengan kehidupan yang biasa pula. Mereka manusia hebat, namun semuanya masih tidak tahu, siapakah yang terhebat. Satu pertanyaan yang memenuhi pikiranku tadi sore.
Dari pembukaan rangkaian acara PKL ini, tidak banyak yang saya dapat. Ketidaktahuan membuat saya terjebak dengan kesadaran naif saya. Seusai satu jam menikmati kebosanan, saya baru sadar kalau ini bukan seminar yang terekam dalam benak saya. ini pembukaan.
Tetapi dari sambutan salah satu output PMII, saya lupa namanya, ada sesuatu yang baru dan menarik sekali. Adalah tentang keyakinan untuk menjadi yang paling benar. Selayang pikir, kesimpulan seperti ini hanya akan keluar dari mulut-mulut orang yang sombong. Seakan dari ucapan itu, dialah yang paling benar dan semuanya salah.
Namun, jika kita berfikir lebih lama, ucapan tersebut sangatlah cerdas. Justru ketika kita bilang dengan netral—kita itu benar bukan yang paling benar—itu yang keliru. Jika kita memakai konsep benar saja, maka selain kita tidak ada yang benar, semuanya salah. Dan keadaan seperti ini yang harus kita hindari.
Sebaliknya, jika kita berkiblat pada ucapan tadi—kita harus yakin kalau kita yang paling benar—maka masih banyak lagi diluar sana yang benar. Dan di antara semua kebenaran itu, kitalah yang paling benar. Tidak mungkin ada ucapan: kita yang benar di antara yang benar; yang ada malah: kita yang benar di antara yang salah, dan secara tersirat ucapan ini menyimpulkan kalau semua selain kita adalah salah.

Hal di atas tidak berbeda jauh dengan konsep ucapan mengenai agama. Islam bukan agama yang paling benar, akan tetapi cukup dengan agama yang benar. Zev261013

Selasa, 22 Oktober 2013

Muhammad Hatta: Saya Mempunyai Tiga Istri—Indonesia, Buku, dan Istri Saya.


Paska tertangkapnya Akil sebagai koruptor terpopuler tahun ini, sedari kemarin sampai sekarang pembahasan dalam rubrik opini di koran-koran masih saja membahas mengenai korupsi. Banyak sekali pakar-pakar telah menuangkan ide dan gagasan paling hebatnya dalam bersumbangsih untuk membantu Indonesia keluar dari jeratan para koruptor, tetapi masih saja tiada hasil yang memuaskan. Bahkan tak kurang pakar-pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi berkaliber turut menulis di rubrik itu, namun lagi-lagu hanya sebatas tulisan yang terpajang. Sampai sekarang masih blur: apakah gagasan-gagasan hebat itu terbaca oleh yang disindir ataukah hanya sebatas pengisi kekosongan rubrik, saya tidak mengerti juga, ataukah justru penuangan gagasan hebat itu hanya alat untuk mengisi kantong, entahlah. Diketahui, seakan merekalah orang-orang hebat yang setiap saat memeras pikiran untuk Indonesia: sebagai penyumbang gagasan.
Dari paragraf di atas, saya teringat Bung Hatta. Salah satu ucapan beliau yang mungkin tak terlalu terbingkai dengan sejarah—saya mempunyai tiga istri: indonesia, buku, dan istri saya—ternyata bermakna penting dalam hal ini. Ucapan simpel bernada guyon itu mengandung sesuatu yang benar-benar sesuatu. Tidak menutup kemungkinan, dengan menjadikan Indonesia sebagai istri pertama Hatta, Hatta bisa terhindar dari sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan termaksud adalah korupsi, kolusi, dan lain sebagainya yang berbau merugikan negara.
Paralel dengan itu, masih segar dalam ingatan saya kata-kata Anang ningnong ninggung, seorang broadcaster radio ternama di Jogjakarta. Hampir setiap malam saya mendengarkan celoteh Anang. Dan yang paling sering dia ucapkan dalam konteks jalinan hubungan dengan orang lain adalah konsep hati hati. Saya tidak menulis garis penghubung di tengah dua kata hati tersebut karena keduanya memang berbeda. Mudahnya, dalam sebuah hubungan itu melibatkan dua hati: kita dan seseorang yang kita sayang. Sehingga di dalamnya ada dua hati. Jadi kalau kita berhubungan dengan apa dan siapapun, maka kita harus hati-hati.
Begitu juga dengan Hatta, dengan pernyataannya yang menganggap negara sebagai salah satu istri Hatta, secara tidak langsung Hatta sudah terikat dengan konsep hati hati. Di pelbagai wilayah dan keadaan apapun Hatta pasti hati hati. Sehingga ketika konsep itu sudah terpatri jauh dalam lubuknya, korupsi, kolusi, dan lain sebagainya pun sulit untuk terjadi di tubuh salah satu istri tercintanya, Indonesia.
Darinya, alangkah indahnya jika semua lapisan yang terlibat dalam kasus korupsi, baik pelakunya, pengamatnya, penangkapnya, intelejennya, penulis gagasannya, medianya, dan lain sebagainya bisa menanamkan rasa cinta kepada Indonesia. Cinta yang timbul bukan karena Indonesia sebagai ibu pertiwi kita, namun sebagai istri tercinta kita. Zev231013


Senin, 21 Oktober 2013

Tasauf Untuk Mereduksi Kontrasnya Akal (Sebagai Pengimbang Pendewaan Akal)


 
Dalam kacamata sejarah, banyak tulisan yang menyatakan: semenjak dipegangnya kepemimpinan Islam oleh dinasti Abbasiyah, transeliterasi ilmu-ilmu Yunani terjadi secara makro. Banyak pemikir mengemuka di masa ini. Puncak dari semua itu adalah di masa Kholifah Harun Ar-Rosyid. Ilmu-ilmu filsafat, matematika, kedokteran, astronomi, sejarah dan lain sebagainya, berkembang pesat di dalamnya. Buku-buku hasil kesimpulan ataupun terjemahan dari para pemikir-pemikir berserakan menghiasi kota Baghdad  ketika itu.[1]
Akan tetapi, konsekuensi yang tidak bisa dihindari pada saat itu adalah dilupakannya peran hati. Masyarakat ketika itu terlalu terlena dengan akal, sehingga pengakuan akan adanya intervensi dari wilayah transedental tidak diakui.[2] Dan di titik inilah para tokoh tasauf tidak sepakat. Oleh karenanya, tasauf dibentuk sebagai pengimbang pemikiran-pemikiran tersebut.[3] Diharapkan dengan adanya gerakan yang fokus kepada hati ini, pendewaan akal bisa sedikit direduksi.
Jadi, kali pertama muncul, tasauf bukanlah sarana pemecah masalah (problem solver), namun hanya sebagai pengimbang didewakannya akal ketika itu. Dan karena perubahan-perubahan sosial dan lain sebagainya, fungsi utama tasauf bergeser ke beberapa wilayah yang sangat berbeda. Di wilayah inilah tasauf menemukan jati diri baru, yaitu sebagai problem solver.

Akhlak tasauf sebagai obat hati dalam setiap gejala masyarakat
Dalam pendekatan sejarah yang berbeda, fungsi tasauf terbagi menjadi dua: tasauf transedental atau vertikal dan tasauf horisontal. Model tasauf transedental adalah model kali pertamanya tasauf populer di mata dunia. Tasauf model ini sesuai dengan tujuan inti dari lahirnya tasauf, yaitu sebagai pengimbang didewakannya akal. Oleh karena itu, tasauf model pertama hanya berputar-putar di wilayah kemurnian hati kepada Tuhan, tidak sampai pada wilayah sesama makhluk.
Model kedua adalah konsep tasauf yang sudah tekontaminasi dengan disiplin keilmuan lainnya. Tautan yang terjadi karena benturan-benturan dengan disiplin kailmuan lainnya, memaksa tasauf untuk menyapa teman-temannya. Sehingga konsekuensi darinya adalah akulturasi konsep antara kedua disiplin keilmuan.[4] Dan jika sudah terjadi akulturasi, maka bagaimanapun juga pasti ada beberapa bagian murni dari tasauf yang pupus.[5] Fokus tasauf model ini dominan kepada wilayah horisontal.
Akan tetapi meskipun seperti itu, di dalamnya, tasauf bisa lebih bermanfaat dan membantu. Dalam hal ini tasauf dominan kepada konsep good praduga: tentang bagaimana seseorang bisa bersyukur dalam keadaan apapun itu. Titik tekan konsep ini adalah mengenai akhlak manusia kepada yang menciptakan musibah. Dengan konsep ini seseorang diharapkan bisa selalu positif thinking, berfikir internal,[6] menganalisa apapun masalahnya, dan menemukan solusi. Sehingga ketika diterapkan dalam semua aspek, konsep ini bisa membantu. Konkritnya, ketika ada minoritas NU hidup di desa mayoritas MD yang fanatik. Karena fanatisme mayoritas MD, minoritas NU selalu diusik kepercayaannya. Propaganda MD yang fanatik sangat mengganggu NU. Sehingga pada akhirnya, terjadi perang saudara, antara MD dan NU. Menurut pembahasan ini, salah satu penyebab konflik tersebut adalah tidak adanya tasauf di sela-sela kehidupan sosial mereka. Dan inilah fungsi tasauf jika ditautkan dengan sosial masyarakat. Andai minoritas NU dalam contoh di atas telah bisa menerepkan konsep tasauf versi ini, pasti mereka akan bisa menetralkan hati mereka dengan memandang kalau semua gangguan-gangguan itu hanyalah bentuk perhatian dari MD yang terlalu atau minimal itu hanyalah ekspresi dari keinginan mereka untuk menolong  dan mengingatkan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa eksitensi tasauf di masa sekarang masih bisa berfungsi sebagaimana adanya.zev221013





[1] Laksono Eko, 2010, IMPERIUM III, Jakarta Selatan: Hikmah (PT Mizan Publika).
[2] Ibid
[3] FATAWA QARDHAWI, “Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah”, Surabaya: Risalah Gusti.
[4] Ibid.
[5] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.
[6] Pola pikir yang tidak mudah menyalahkan orang lain.

Sabtu, 19 Oktober 2013

Tautan Sufisme dan Moral

1

Tasauf dengan akhlak, jika meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah (Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas, 1996, 4), keduanya bagaikan dua sisi pada koin yang sama. Di antara keduanya memiliki keterikatan yang kuat. Satu pendapat menyimpulkan tasauf yang terikat kepada akhlak,[1] satu lainnya menyimpulkan akhlaklah yang terikat kepada tasauf.[2] Oleh karenanya membaca dua kesimpulan tersebut, antara tasauf dan akhlak memiliki keterkaitan yang bersifat saling melengkapi, bukan mendahului.
Menurut pendapat yang pertama, meskipun keduanya memiliki orientasi yang sama: fokus pada masalah hati dan jiwa, tetap saja ada beberapa bagian yang  berbeda, yaitu tentang objek wilayahnya. Tasauf, objek utamanya fokus kepada wilayah transedental, ketuhanan Yang Maha Esa, dan kesucian hati dan jiwa kepada Tuhan. Di wilayah ini, seakan semua yang ada di dunia sangat tidak berarti. Pengikut-pengikut yang fanatik akannya populer dengan sebutan sufi atau sederhananya adalah orang-orang yang zuhud; dalam arti yang umum. Selanjutnya yang kedua, yaitu akhlak. Di bagian ini objek utama akhlak adalah wilayah horisontal: hubungan dengan manusia. Bagaimana cara berinteraksi yang baik dengan sesama itulah yang menjadi titik tekannya. Dengan demikian, meskipun menurut pendapat yang pertama—keduanya fokus kepada kemurnian jiwa dan hati dalam berinterkasi—akan tetapi titik tekannya masih berbeda. Dan di antara keduanya, akhlaklah yang menjadi tolok ukur kadar ketasaufan seseorang. Seseorang dinilai bersih hati dan jiwanya ketika akhlak mereka sudah baik dengan masyarakat yang berada disekelilingnya. Kunci utamanya jatuh pada bagaimana kita bisa berhubungan dengan sesama secara baik dan apa adanya.
Sedangkan, menurut pendapat yang kedua. Titik keterikatan tasauf dengan akhlak terletak pada wilayah aksiologisnya: hasil nyata. Mudahnya, akhlak adalah konsekuensi logis dari tasauf seseorang. Jika seseorang sudah gagal dalam mensucikan jiwa dan hatinya kepada Tuhan, maka hasil yang ada ialah akhlak al-madzmumah, dan seperti itu juga sebaliknya. Oleh karenanya, akhlak yang statusnya sebagai hasil nyata dari tasauf sangat tergantung kepada eksistensi tasauf dalam diri seseorang.
Masih dalam satu ruang, jika kita tarik permasalahan di atas ke dalam ranah keimanan, maka iman saja tidak cukup. Ilmu dan amal merupakan harga mati yang harus terlibat dalam proses keimanan seseorang. Iman bukan sekedar ucapan atau pernyataan, tetapi juga pemahaman tentang mengapa seseorang harus beriman (epistemologis)[3]. Kemudian ketika keduanya sudah dimiliki, barulah difikirkan tentang amal (aksiologis): apa manfaat dari semua ini. Sehingga ketika ketiga entitas di atas sudah dimiliki, maka utuhlah makna iman tersebut.
Seperti halnya itu, tasauf juga perlu dikaji dengan konsep pengetahuan dan implementasi. Tasauf saja tanpa pelu adanya kajian epistemologis dan aksiologis dapat menimbulkan intepretasi yang tidak utuh. Dan bentuk nyata dari adanya kajian aksiologis ini tak lain adalah adanya akhlak.
Paralel dengan itu, melalui pendekatan sejarah, sebagaimana yang telah tercantum di beberapa kitab klasiknya para ilmuan Timur Tengah pada abad XI Masehi,[4] salah satu pembahasan yang terpenting dalam kajian tasauf adalah akhlak.[5] Dan bermula di masa inilah tasauf mendunia. Di waktu yang sama pula, tasauf berkembang secara masif. Dan sebagai konsekuensinya, tasauf berbenturan dengan disiplin keilmuan lainnya. Merespon itu, bagaimanapun juga jika tasauf masih ingin diakui eksistensinya oleh dunia, maka tasauf harus menyapa disiplin keilmuan yang lain. Oleh karenanya, seiring dengan berkembangnya zaman, konektifitas tasauf tidak hanya kepada akhlak, tetapi sudah kepada banyak disiplin keilmuan lainnya: sosial, ekonomi, politik, dsb.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwasanya tasauf dengan akhlak saling bertaut. Pun, tautan itu tidak berhenti kepada akhlak itu sendiri. Seiring berjalannya waktu tasauf bertaut dengan banyak disiplin keilmuan. Dan kebanyakan, tautan tersebut bukan bersifat saling mendahului, akan tetapi saling melengkapi.




[1] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
[2] FATAWA QARDHAWI, “Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah”, Surabaya: Risalah Gusti.
[3] Ahmad tafsir, 1981,Pengantar Filsafat, Pustaka Martiana.
[4] Christian D. Von Dehsen (1999). Philosophers and Religious Leaders: Volume 2 dari Lives and Legacies.   Greenwood Publishing Group. hlm. 75.
[5] FATAWA QARDHAWI, “Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah”, Surabaya: Risalah Gusti.

Kehidupan Kecil Masyarakat di Masa Muhammad (Konflik Mikro Sunni Syiah)



Hari ini Jogja semakin panas, dan sepertinya bukan hanya masyarakat jogja yang merasakan hawa tidak biasa ini. Kali pertama saya di Jogja, saya satu hari kedinginan tanpa arah. Saya terkapar di kamar teman saya. Panasnya Jogja hari-hari ini sepertinya tidak alami. Mungkin musim pancaroba.
Namun, panasnya Jogja dan panasnya kelas saya tadi, seakan tidak berarti sepenuhnya jika dibanding kehidupan masyarakat di masa Muhammad. Kebetulan mata kuliah Teologi hari ini berbicara tentang kehidupan kecil mereka. selayang pandang, dari uraian Bapak Zuhri, keadaan psiko-sosial yang ada di Arab 14 abad silam tidak berbeda dengan kenyataan sekarang. Masyarakat pada saat itu ternyata sudah terkotak-kotakkan, bukan lintas agama, tetapi dalam satu agama. Islam pra Muhammad, ketika dipegang oleh Abu Bakar ternyata sudah ada dua kelompok yang berseberang dalam pemikirannya. Sehingga darinya konflik berkepanjangan pun pecah.
Dua kelompok tersebut adalah ahlussunah dan syiah. Kelompok pertama di motori oleh Aisyah, Muawiyyah, dan lain sebagainya. Kelompok kedua eksis di dalamnya sosok-sosok yang fanatik terhadap Ali, sekali saya katakan, kelompok yang fanatik kepada Ali, bukan Alinya. Pada awalnya, kedua komunitas ini tidaklah terlalu mengemuka, saya membahasakannya: di era Abu Bakar ini keduanya masih berupa perbedaan gagasan-gagasan, masih embrio.
Sampai pada akhirnya, konflik keduanya memuncak. Dan puncak konflik kedua komunitas tersebut adalah dilengserkannya Ali dari jabatan Kholifah paska terjadinya tahkim antara pihak Muawiyyah dan Ali. Selepas dilengserkannya Ali, masyarakat bawah pecah, ada yang membela Ali dan ada pula yang keluar dari Ali. Sehingga berangkat dari itu, di dalam buku-buku sejarah MI sampai MA, tertulis: syiah muncul paska kinflik di atas.
Paralel dengan itu, jika dihubungkan dengan paragraf di atasnya lagi terjadilah benturan antara kedua sejarah tersebut. Jika yang dianut adalah versi yang kedua, syiah bisa jadi masuk dalam golongan-golongan ahlussunah. Akan tetapi jika mengaca pada versi yang pertama syiah tidak akan bisa masuk dalam golongan ahlussunah.
Dan disinilah poin penting saya menulis ini. Berbasis ini saya bisa sejenak menggenapkan keganjilan saya selama ini tentang syiah: apakah syiah itu ahlussuna atau tidak. Syiah bukan bagian dari ahlussunah.
Masih dalam satu ruang, jika dibahas lebih dalam, salah satu alasan saya menyimpulkan hal itu adalah tentang semua underbow yang ada pada ahlussunah. Menurut sejarah yang dikutip Bapak Zuhri dalam bukunya Pengantar Studi tauhid, bermula dari konflik kecil masyarakat Makkah waktu itu yang menelorkan ahlussunah, muncullah banyak sekali komunitas dan pemikiran. Di wilayah komunitasnya adalah qodariyah, Jabariyah, dan murjiah[1], kemudian di wilayah pemikirannya ada mu’tazilah dan asyariyah. Semuan pemikiran dan komunitas itulah yang disebut sebagai bagian dari ahlussunah. Semuanya berhulu kepada satu kelompok, yaitu ahlussunah.
Dengan demikian, antara syiah dengan ahlussunah sudah tidak bisa dipertemukan. Meski masih dalam satu payung—islam—mereka berjalan di relnya masing-masing. Keduanya mempunyai dasar, alasan, dan pemikiran masing-masing. Tidak ada yang perlu menyalahkan dan disalahkan.zev181013




[1] Dalam referrensi lain murjiah adalah pecahan dari komunitas khawarij. Sedangkan khawarij sendiri adalah komunitas yang mengecam ahlussunah dan syiah. Mereka menganggap keduanya telah berdosa besar karena tidak sesuai dengan Quran: berperang satu sama lain. Sehingga kesimpulan akhir kelompok khawarij adalah halalnya darah ahlussunah dan syiah bagi mereka.

Kamis, 17 Oktober 2013

Muhammad dan Tulisannya


Kemaren, seperti biasa, berangkat dari fatwa-fatwa Bapak Muhdlir, saya berjibaku dengan pikiran saya. Bapak muhdlir dari beberapa hadist yang tidak disebutkan, membantah jika dikatakan Rosul tidak bisa membaca dan menulis. Sangat konyol sekali jika seorang pemimpin sekaliber Muhammad tidak mampu menguasai dua aspek yang sangat vital itu. selayang pikir, sungguh mengada-ada jika disimpulkan bahwa Muhammad tidak bisa membaca ataupun menulis.
Selepas itu, saya googling hadist tentang tulisan-tulisan rosul, tetapi tetap saja keganjilan saya masih tidak tergenapkan. Hadist yang diungkapkan Bapak Muhdlir tidak bisa terkover oleh mesin pencari sekaliber google. Beliau tidak memaparkan refferensi yang cukup jelas tentang alur pemikirannya.
Namun, dalam wilayah lain, saya tidak tahu kenapa, pikiran saya sepakat sekali dengan pendapat beliau. Di samping memang Muhammad adalah seorang yang luar biasa, Muhammad juga satu-satunya manusia yang menjadi objek utama dalam kajian hadist. Meminjam istilahnya Bapak Hart: tidak ada manusia lain yang paling berpengaruh selain Muhammad. Sehingga, sangat wajar jika apapun yang Muhammad lakukan sudah menjadi sesuatu yang sakral, bahkan menjadi sebuah doktrin dalam salah satu agama, islam. Semua penganut Islam, berlomba-lomba melakukan apa yang pernah Muhammad lakukan. Pun, di dalamnya dijumpai nilai-nilai yang lebih, yaitu pahala. Dan sekarang, pertanyaannya:  mengapa kita dianjurkan untuk membaca dan menulis, kalau Muhammad saja tidak pernah melakukannya. Bahkan saking dianjurkannya, membaca Quran itu mendapat pahala. Dalam ranah pikir saya, dalam kasus ini, akan terjadi ketimpangan jika Muhammad masih dipandang tidak bisa membaca dan menulis.
Paralel dengan itu, mengenai peristiwa di gua hiro’, ketika Jibril memaksa Rosul sampai tiga kali untuk membaca, saya memandangnya, itu bukanlah alasan yang tepat jika diartikan bahwa Rosul tidak bisa membaca. Di waktu yang sama, Jibril tidak mungkin membawa spidol dan papan, yang ada jibril hanya mendekte, itu berarti Jawaban Muhammad—ma ana bi qori—bukan berarti Muhammad tidak bisa membaca, tetapi memang tidak ada yang dibaca, toh tulisan pun tidak ada.

Dalam kasus kenegaraan juga. Muhammad dalam sejarahnya adalah seorang presiden yang istimewa, kehidupannya yang sederhana tidak mencerminkan tahtanya sama sekali. Namun bagaimanapun juga Muhammad masih membutuhkan sekretaris pribadi. Dan dalam hal ini, Muhammad memilih Zaid bin Tsabit. Menurut kacamata mayoritas, ini adalah salah satu bukti bahwa nabi itu mandul tulisan dan bacaan. Nabi tidak pernah membaca dan menulis. Akan tetapi jika kembali pada konteks dalam paragraf ini: ketatanegaraan, kesimpulan itu cukup buram. Apakah dengan pengangkatan Kustanto Widiatmoko sebagai sekretaris pribadi Bapak SBY, itu menunjukkan ketidakmampuan SBY untuk menulis. Tentu saja semua sepakat untuk menjawab tidak. SBY menunjuk Bapak Kustanto bukan karena SBY tidak bisa menulis, tetapi untuk mempermudah SBY memimpin negeri ini. Dan saya kira, itu adalah kasus yang sama dengan Muhammad dan Zaid. Muhammad bukan tidak bisa menulis, Muhammad hanya tidak mau menulis. Zev171013

Rabu, 16 Oktober 2013

Nasionalisme Bapak Marzuki


Saya tidak tahu, apakah sebutan saya kepada Bapak Marzuki sebagai seorang Nasionalis ini benar atau tidak. Saya kali pertama kenal sesosok seperhatian beliau ini juga barusan tadi. Saya dikenalkan oleh keluarga baru saya: KPMRT. Komunitas tempat mahasiswa-mahasiswa se-Jogjakarta saling berbagi. Hanya karena alasan sreg dan tidak, saya menyebut Bapak Marzuki ini sebagai seorang Nasionalis Jogja.
Latar belakang motivasi saya menulis tentang beliau malam ini adalah tentang pemikiran unik beliau. Dalam ranah pemikirannya, beliau mengecam para mahasiswa yang hanya belajar dibangku kuliah. Beliau mengibaratkannya seperti memasak. Untuk bisa membuat satu masakan, kita membutuhkan banyak sekali sesuatu untuk dimasak. Bukan hanya garam atau nasi. Dan disini Bapak Marzuki mengibaratkan kuliah adalah tempat kita kulakan garam. Sehingga apakah masakan akan tersaji jika kita hanya mengandalkan garam.
Dan di sinilah fungsi sesuatu-sesuatu lainnya. Dan sesuatu itu dalam dunia kampus biasanya disebut dengan kegiatan ekstrakulikuler. Di sinilah kita bisa kulakan berbagai macam sesuatu untuk dimasak. Dengan demikian, ketika kita sudah bisa kulakan segala keperluan untuk memasak, masakan yang direncanakn akan tersajikan sesuai harapan. Kampus saja tidak cukup untuk menjawab dinamika permasalahan zaman.
Dalam hal yang sama, Bapak Marzuki dengan keyakinannya menyimpulkan bahwa, apapun yang ekstra itu bukan berarti harus dinomorduakan dan yang intra itu diprimerkan. Sangat mungkin sekali kegiatan ekstrakulikuler kampus malah menjadi sesuatu yang sangat primer. Pun tidak tertutup kemungkinan, sesuatu yang selama ini dipandang sebagai intra, sangat urgen, dan primer malah perlu disekunderkan.
Kesimpulan itu berbasis kepada asal mula gudang keilmuan yang tersedia dikampus. Semua disiplin ilmu yang telah ada di kampus manapun itu tidak bisa lepas dari penelitian. Untuk merumuskan satu kesimpulan tentang suatu ilmu, dibutuhkan penelitian. Penelitian pasti mempunyai objek yang diteliti. Objek yang diteliti adalah masyarakat. Masyarakat hidup secara live di lapangan. Jadi, kesimpulannya: ilmu yang ada di kampus manapun itu adalah berasal dari lapangan. Sehingga alangkah beruntungnya kita, jika kita bisa langsung belajar atau kulak dari sumber penelitian: lapangan. Ilmu sumber tersebut tidak akan pernah ada dalam kampus. Itu masuk wilayah lapangan.
Dalam bahasa saya sendiri, antara ilmu kuliah dan ilmu lapangan tidak bisa terpisahkan. Meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah: keduanya seperti normativitas islam dan historisitasnya. Keduanya perlu dipadukan, dan terjawablah persoalan-persoalan yang setiap hari semakin pelik.

Saya sangat tertarik dengan Bapak Marzuki. Pertemuan singkat tadi sore menjelang magrib mengenai rencana apologi kepada para petani Kulonprogo yang akan terampas haknya, menyisakan sesuatu dalam benak saya. Beliau seperti jembatan yang menghubungkan antara peran mahasiswa dengan kebutuhan petani. Aksi mahasiswa diperlukan dalam hal ini. Minimal, dengan turunnya aksi, para petani masih bisa bernafas dengan penuh kepercayaandiri karena masih ada yang mendukung mereka. Mereka semua membutuhkan dukungan, uluran, dan bukan sekedar doa. Bapak Marzuki berperan penting dalam hal ini.zev161013 

Selasa, 15 Oktober 2013

Islam dan Masyarakat (Konstruksi Nyata Islam Historis)


agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu telah terkait erat dengan dunia mereka.
(Gustave E. Von Grunebaum)[1]
Untuk merespon salah satu ungkapan Grunebaum di atas, masih ada beberapa pertanyaan terkait dan terikat: Apakah dengan penerimaan islam berarti mengorbankan semua budaya yang telah lama melekat pada sebuah tatanan masyarakat.[2] Jawaban paling disepakati adalah tidak. Penerimaan islam bukan penghilangan kultural-kultural pra-islam, tetapi sebatas kelanjutan dari kultural yang usai mengakar di suatu wilayah. Islam bukan asimilasi. Islam itu Akulturasi.
Jika islam masih ingin dikata sebagai agama, bagaimanapun juga, Islam harus mengalah. Adat setempat perlu dimenangkan. Tetapi tetap pada tujuan awal, doktrin Islam mengalah bukan tanpa tujuan. Tujuan inti dari pengalahan doktrin dengan budaya setempat adalah untuk menyelaraskan kebutuhan para pemeluk islam maupun calon pemeluk dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia yang berbudaya dan bersosial. Selama pengalahan doktrin Islam akan budaya setempat dipandang lebih banyak mengandung kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, maka tidak ada yang salah dengan pengalahan doktrin Islam.
Namun sebaliknya, jika dipandang dengan manifestasi agama sebagai hasil akulturasi doktrin dan sosial budaya masih saja tidak bisa menemukan apa yang dicita-citakan, akulturasi ini tidak diperlukan. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Gandhi dan Tagore. Sebagai sesosok nasionalis yang hidup ditengah-tengah ajaran Hinduisme dan kultur yang konservatif di India, mereka melakukan pembaruan dengan basis yang bertitik tekan pada keselarasan antara agama mereka dengan kebutuhan hidup yang pasti mengalir dengan peredaran zaman (akhir abad XIX).[3] Alasan yang mereka gunakan adalah keselarasan antara agama dan kebutuhan hidup, bukan agama dan budaya. Dengan demikian, agama tidak hanya perlu luwes dengan budaya masing-masing pemeluknya, seperti yang ada dalam Islam di Indonesia. Keluwesan akan dinamika zaman yang bertepi pada majemuknya kebutuhan pemeluk juga dibutuhkan.
Lebih fokus kepada Islam dan masyarakat Indonesia, dalam sejarah telah kentara bahwa Islam menyebar luas ke semua pelosok Nusantara tidak menggunakan topeng Timur Tengah. Islam menjelma menjadis sesosok yang akrab dengan budaya setempat. Menyadari karena sebenarnya Islam bukan hanya bertugas untuk menjinakkan objek tujuannya, namun juga menjinakkan dirinya sendiri.[4]
Tindakan seperti itu dapat dilihat dari manifestasi agama yang dilakukan oleh walisongo. Walisongo melakukan itu bermula dari benturan-benturan yang terjadi  antara budaya dengan doktrin Islam. benturan tersebut memaksa Islam untuk menggunakan topeng atau simbol-simbol kebudayaan setempat sebagai penyelaras agar dapat ditangkap oleh masyrakat setempat.[5] Konkrtinya adalah Sunan Maulana Makhdum Ibrahim dengan strategi bonangannya di Tuban Jawa Timur. Dengan membaca keadaan masyarakat yang suka sekali dengan alat musik bonang, hanya bertiket wudlu dan membaca syahadat, masyarakat setempat bisa menikmati alunan musik bonangan yang diadakan beliau tanpa biaya sepeserpun. Secara doktriner alat-alat musik semacam itu adalah haram, namun karena Islam dipandang secara historis dan atas nama kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan, potret itupun menjadi bingkai sejarah yang menarik untuk dibahas juga diterapkan.
Di wilayah lain, memang tidak bisa dipungkiri, keadaan seperti di atas, dapat menimbulkan penafsiran yang agak terpisah dengan wahyu yang utuh dan abadi.[6] Tetapi meminjam istilahnya Bapak Taufik Abdullah: Bagaimanapun juga, penghayatan agama harus didekati dengan menanggalkan untuk sementara keyakinan pribadi. Toh, kesimpulan tersebut bukan berarti memang wahyu yang utuh di atas yang salah. Bisa jadi, penafsiran akan itu yang justru tidak sesuai bukan wahyunya.
Dengan demikian, berbasis pada keselarasan antara budaya dan agama yang berujung pada pemenuhan kebutuhan masing-masing pemeluknya, pendekatan Islam Historis diharapkan mampu menjadi salah satu perumusan yang ideal dalam menjawab dinamika zaman.





[1] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.
[2] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
[3] Salah satu artikel W.F. Wertheim (penulis Indonesia soceity in transition) yang telah diterjemah: gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
[4] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.

[5] Ibid.
[6] Ibid.

Kamis, 10 Oktober 2013

Antara Pluralitas Keagamaan, Islam Historis, dan Islam Normatif


Salah satu sebab terkonsepnya pendekatan historis-kritis adalah pluralnya agama dalam suatu daerah. Ketika dikatakan sebuah daerah hanya memiliki agama tunggal, islam misalnya, sedikit kemungkinan akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar di dalamnya. Kebudayaan daerah setempat dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat sudah menjumpai titik temu. Sehingga konflik perbedaan tidak terlalu banyak. Tetapi sebaliknya, jika dalam sebuah daerah dijumpai lebih dari satu agama, toleransi menjadi harga mati. Dan disinilah Islam Historis menjadi pahlawan tersendiri bagi masyarakat yang terlibat langsung dengan pluralitas keagamaan suatu wilayah.
Dalam satu bagan, toleransi muncul karena adanya alasan yang tepat mengenai: kenapa saya harus peduli dan menghargai. Dan jalan yang paling mudah untuk mendapatkan alasan itu adalah melalui kepercayaannya masing-masing.[1] Jika suatu agama diinterpretasikan untuk menggagalkan suatu ritual keagamaan lainnya dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agamanya, maka jelas sudah, toleransi tidak akan pernah ada. Tetapi sebaliknya, semua lapisan masyarakat akan berjalan bersama-sama ketika masing-masing dari kepercayaanya diintrepretasikan untuk turut berbaur dengan ritual keagamaan mereka. dengan catatan: hanya sebagai ekspresi penghargaan kepada si empunya ritual keagamaan, tanpa turut membaurkan kepercayaan masing-masing.
Berbicara tentang pluralitas agama, pengalaman pluralitas agama di setiap wilayah berbeda-beda. Semisal Amerika, pengalaman pluralitasnya tidak sama dengan yang ada di Indonesia. Di samping agama mayoritasnya berbeda, basis akannya pun berbeda. Amerika menghayatinya dengan keasadaran budaya yang sekular. Sehingga, pengalaman pluralitas agama yang dialami setiap warganya pasti tidak sama. Sedangkan Indonesia menghayatinya dengan kesadaran budaya yang religius. Di titik inilah Islam historis kritis sangat diperlukan: untuk menyikapi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat setempat.  
Di lain keadaan, dominasi agama tertentu di wilayah yang memiliki pluralitas agama, mempunyai pengaruh yang besar dalam pendekatan Islam Historis. Di Timur Tengah tempat agama hindhu dan budhanya relatif tidak berkembang, ekspresi Islam Historis pasti berbeda dengan ekspresi Islam Historis di India, Thailand, dsb. Islam di Thailad dan India berada di garis minor. Sehingga dengan perbedaan itu, Islam historisnya muslim Timur Tengah dan Thailand tidak sama. Islam historis boleh tidak sejalan, namun berada dalam satu normatif masihlah menjadi sebuah keperluan dan kesatuan.
Dan diantara semua wilayah tadi, Indonesia dirasa yang paling sesuai dengan pendekatan Islam Historis. Masyarakat Indonesia meski belum dilandasi dengan studi agama yang akademik kritis sudah mencerminkan kerukunan antar umat beragama yang istimewa. Dan tidak bisa dipungkiri, potret inilah yang berhasil menarik peminat peneliti-peneliti luar untuk menjadikan Indonesia sebagai objek penelitian.[2] Dengan demikian, sungguh tidak melebihkan jika dikata: pendekatan Islam Historis akan sangat sesuai untuk dipraktikan di Indonesia. Antara sosial, budaya, dan agama bisa berjalan beriringan di bumi nusantara ini sebagai wujud integrasi atas pluralitas agama, normatifitas, dan historisitas.





[1] Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West. Princeton University Press. ISBN 0691092702.
[2] Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatifitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Rabu, 09 Oktober 2013

Bangjo, Tiyang Jogja, dan Teks

          Sedari kemaren, di setiap pagi saya, rambu-rambu lalu lintas selalu menjadi tetenger untuk kembali. Rute olahraga pagi, dari kontrak ke rambu-rambu, sudah lebih dari cukup untuk sekedar melemaskan tubuh dan menghangatkan tubuh di pagi Jogjakarta yang sejuk. Lampu lalu lintas itu bermakna penting bagi saya.
          Di lain pagi, tidak sengaja dalam ranah pikir saya terbesit tanya: bangjo ini kala siang sangat disegani dan dibuat sakral oleh kebanyakan pemakai jalan, tetapi kenapa pada dini harinya malah hanya menjadi pajangan tak berarti. Saya kurang tahu, dalam ranah hukum lalu lintas Indonesia, apakah ini termasuk pelanggaran atau tidak. Yang pasti, jika dalam keadaan lampu merah menyala, tetapi pemakai jalan masih berjalan, itu adalah pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada konsekuensi. Kenyataannya, mereka, semua pemakain jalan di dini hari, tidak mendapatkan hukuman apapun. Ini adalah kota yang bagi saya bermasyarakat luhur, etika sangat diistimewakan di sini, akan tetapi tetap saja, hukuman bagi pelanggaran lalu lintas di setiap pagi Jogja tidak ada tindakan tegas.
Dalam hal ini tidak ada yang perlu disalahkan atau menyalahkan. Karena memang tidak ada yang salah. Tujuan pertama didirikannya lalin adalah meminimalis kemacetan, kecelakaan, dan keribetan dalam berkendara. Di dini hari, pemakai jalan  bisa dikata sangat minim, sehingga tanpa adanya lalu lintas pun kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kemacetan sangatlah sedikit bahkan tidak ada. Main core dari adanya lalin tak bukan adalah untuk menghindari kemacetan dan kecelakaan. Dengan demikian, ketika inti dari sebuah tujuan sudah tercapai, cukup sudah, hukum lalin hanya sekedar hukum, untuk mematuhinya pun saru jika diwajibkan. Tidak ada masalah ketika tidak ada hukuman dari polisi untuk yang bersangkutan.
          Ini tidak berbeda jauh dengan hukum islam. Berangkat dari analogi di atas, akan lebih indah jika Islam dijalankan seperti itu. Penekanan yang baik seharusnya pada inti tujuan ajarannya bukan metode atau peraturan-peraturannya yang selalu mengikat. Sehingga, ketika kita sembahyang, yang perlu kita prioritaskan adalah bagaimana kita bisa tenang dan nyaman di dalamnya, tidak pada pakaian apa yang layak kita pakai. Begitu juga memelihara anjing. Ketika dalam memelihara anjing kita bisa menjaga dari jilatan dan gigitannya, tidaklah masalah. Alasan pertama tidak dianjurkannya memelihara anjing adalah agar kita bersih dari sumber najis itu. Dan jika kita sudah bisa menjaga dari semua alasan itu, apa yang perlu dipermasalahkan. Saya kira itu.
Hal tersebut sama dengan konsep Islam Historis. Hanya dengan pendekatan inilah islam bisa benar-benar rahmatan lil alamin. Meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah, eks rektor UIN SUKA: Islam hanyalah sebatas ajaran abad enam masehi yang hanya untuk kehidupan saat itu jika tidak dibarengi dengan pendekatan secara historis. Menilai islam tidak harus kaku dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang klasik. Pembaruan peraturan perlu diadakan dengan tetap pada koridor teks islam: Quran dan Sunnah.
Dalam wilayah lain, di penghujung hari ini, perhatian saya tersita dengan salah satu perempatan jalan menuju mato. Perempatan itu tidak berambu. Tetapi pemakai jalan sore tadi sangat ramai, melebihi kapasitas keramaian yang biasanya terlihat pada bangjo lainnya di Jogjakarta. Melihat fenomena ini, hipotesis saya menyimpulkan—rambu-rambu lalu lintas, terpakai atau tidak, masihlah sangat perlu—dan inilah potret nyatanya. Semua pemakai jalan terbingungkan akan keadaan itu. Kemacetan luar biasa pecah di sepanjang jalan mataram. Tidak akan ada titik temu selama belum ada intervensi dari beberapa oknum yang mau mengaturnya. Hukum islam, peraturan-peraturannya, dan sebagainya, bagaimanapun juga masih sangat diperlukan. Pendekatan normatif, sepertinya harga mati dalam hal ini.

Di lain bidang, fenomena tadi sore, bisa jadi adalah salah satu titik lemah sebuah kebaikan. Kebaikan di sini adalah tata santun. Tidak selamanya kesantunan yang istimewa bermanfaat. Salah satu sebab tidak teratasinya kemacetan itu adalah terlalu santunnya masyarakat Jogja. Kesantunan itu tidak ditempatkan pada tempatnya. Konsekuensinya, mereka hanya berjejal mengantri penuh santun dan sabar, tidak ada yang mendahului satu sama lainnya. Sehingga dalam keadaan seperti itu, semua kendaraan akan berhenti total jika tidak ada kendaraan yang mau mendahului dari salah satu arahnya. Santun itu baik, tetapi lebih santun jika kita bisa baik dalam menempatkan kesantunan kita. Islam Arab itu baik bahkan sangat baik di wilayah Arab dan sekitarnya. Namun, di Indonesia, islam Arab tak lebihnya hanyalah konsep terorisme yang radikal.zev.091013

Selasa, 08 Oktober 2013

Fankihu ma toba lakum min an nisa'




Hari ini saya seperti dalam hutan belantara tanpa kompas di tangan. Pelatihan minggu lalu membawaku pada kondisi ini. Satu hari absen saja, seakan kelas ini sudah jauh meninggalkan saya. Saya tidak kebagian kelompok, tidak bisa berbagi, dan tidak bisa mengimbangi. Tersadar, persaingan dunia ini smakin dipertinggi. Meski saya berlari, tetap saja ada perbedaan.

Hampir semua kelompok, serempak menyuarakan kalau hukum poligami masih diperbolehkan. Meskipun redaksi awal mereka tegas menolak poligami tetap saja di epilognya masih ada sedikit udara segar untuk poligami. Poligami akhir-akhirnya juga tidak ditolak. Semua kelompok satu suara.

Hipotesis teman-teman mengganjilkan benak saya. Salah satu alasan teman-teman tentang pendapatnya adalah katagori adil di ayat 3 an-nisa' yang kontradiksi dg ayat 129 an-nisa'. Dan darinya, diambil kesimpulan singkat bahwa katagori adil dalam hal ini hanya sebatas adil secara materi: giliran, belanja, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Berbasis itu, disuarakan, poligami masih mendapat lampu hijau untuk dilakukan.

Bagi saya, kesimpulan itu adalah jawaban atas makna adil di ayat 3 dan 129, yang sudah lama sekali masalah itu dibahas. Ditinjau dari kedua ayat itu, implementasi adil tidak akan pernah ada. Hukum diperbolehkannya poligami sama dengan dilarangnya. Bisa jadi, ayat ini ada, hanya sebagai apologi atas sejarah Muhammad yg beristrikan 11. Hanya bisa diimplementasikan di masa itu saja dan dalam keadan sosial politik seperti itu.

Dan mengenai katagori adil, semuanya sudah jelas, semua manusia tidak bisa adil dalam hal ini. Syarat mutlak diperbolehkannya poligami adalah adil. Adil dalam konteks ini tidak ada. Dengan demikian, poligami tidak ada.

Di samping mengatasnamakan gender dan kemaslahatan, di tempat lain Nando Pelusi, seorang psikolog klinis, menyimpulkan: manusia itu cenderung menciptakan asuransi cinta, agar saat yg dimiliki tidak available, dia masih mempunyai cadangan.

Sederhananya, hati itu cenderung untuk membandinkan. Hati tidak bisa adil, pun meski seseorang itu sudah menikah, hati masih tetap akan mencari orang lain. Ini sesuai dengan ayat 129 an-nisa', walaupun manusia ingin selalu adil dalam hal rasa, tetap saja tidak bisa.

Beranjak darinya, berbasis historisitas di atas, poligami tetap terlarang. Dalam keadaan apapun itu.zev.081013