Selasa, 17 November 2015

Kahlil Gibran


    Adalah seorang Lebanon yang akibat alasan tertentu dia pindah ke Amerika. Sebelum pindah ke Amerika, namanya adalah Khalil Jubran dan saat sudah di Amerika namanya diganti Kahlil Gibran. Perpindahan tersebut terjadi di umurnya yang ke—10 tahun. Mengenai perjalanan hidupnya, bisa dibilang, kehidupannya cukup tragis. Selain, dia sering berpindah-pindah, di waktu tertentu dia sangat terpukul saat mendapati beberapa keluarganya meninggal dunia, termasuk ibu yang sangat dia sayangi saat dia tengah menuntut ilmu di negara lain.
    Sebagaimana jamak diketahui, Gibran adalah seorang pujangga yang mendunia berkat karya-karyanya yang luar biasa. Akan tetapi, selain itu, rupanya, dia juga adalah seorang pelukis. Beberapa lukisannya mendapatkan banyak apresiasi di masa dia hidup. Lebih jauh, nuansa lukisan Gibran lebih pada model romantis atau model back to nature. Kenyataan bahwa Gibran hidup di masa romantisisma adalah salah satu alasan mengapa model lukisannya demikian. Adapun tentang modus berpikir, Gibran selalu cenderung ke arah cinta. Gibran lahir pada Januari 1883 dan meninggal di umurnya yang ke—48 dengan keadaan masih belum memiliki istri.  

Kepribadian
     Dalam hal kepribadian, Gibran terbilang memiliki kebiasaan yang unik. Gibran adalah seorang yang introvert atau murung, suka merenung, dan suka kesendirian. Bagi dia hanya dengan menciptakan jarak tersendiri dengan masyarakatlah seseorang bisa berpikir jernih. Selain itu, hal tersebut juga berguna agar kita tidak mudah terbawa arus dalam masyarakat yang nantinya melalui itu, kita bisa mudah untuk instropeksi diri. Seseorang yang terlibat aktif dalam satu komunitas, baginya sulit untuk mengetahui apa saja yang salah pada komunitasnya berikut dirinya. Untuk itu, penting kiranya mengambil jarak ini, guna memudahkan hal tersebut.
    Di benak Gibran, hanya ada tiga hal yang paling dia cintai, yaitu ibunya sendiri, Negaranya—Lebanon—dan perempuan-perempuannya. Dari yang pertama, Gibran belajar banyak sekali hal. Dari yang kedua, dia sangat mencintainya sebab keindahannya. Bagi Gibran, Lebanon adalah Parisnya Timur Tengah. Sedangkan yang terakhir, tidak lain adalah lima perempuan yang begitu dia cintai, tetapi kesemuanya gagal.

Sumber Inspirasi Gibran
    Kiranya, ada tujuh sumber inspirasi Gibran, yaitu ibunya sendiri, Salim Dahir, Budaya China, Tagore, Injil dan Yesus, Nietzsche, dan para seniman Boston. Pertama, melalui ibunya, Kamile Rahma, Gibran belajar seni musik, Bahasa Prancis, dan yang terpenting adalah belajar bagaimana hati berbicara. Kedua, dia adalah seorang tokoh sufi penggembara yang begitu diidolakan Gibran dan juga adalah guru Gibran. Ketiga, itu disebabkan tempat tinggal Gibran waktu di Boston berada di suatu kampong yang mayoritas penduduknya berasal dari China. Keempat, dia adalah seorang pujangga besar dari India. Gibra banyak sekali terpengaruh dengan karya-karya Tagore.
     Kelima, ini bisa terjadi sebab misi Gibran dengan Injil ataupun Yesus adalah sama, yaitu kasih sayang atau cinta. Keenam, itu terlihat dari corak puisinya yang begitu eksistensialis. Banyak dari puisinya menyiratkan suatu kemandirian atas tujuan harmoni. Bagi Gibran, jauh lebih baik seseorang itu sendiri dan mandiri daripada bareng-bareng, tetapi banyak peraturan yang nantinya berujung pada pemaksaan. Akan tetapi, meski terpengaruh, model eksistensi antara keduanya berbeda. Model Gibran lebih pada harmoni, sedangkan Nietzsche lebih pada penaklukkan agar tidak diinjak-injak. Baik Gibran atau Nietzsche sama-sama mengidolakan UberMensch atau manusia super. Dan yang terakhir, itu adalah suatu komunitas di Boston yang di dalamnya ada banyak seniman, pujangga, dan semacamnya. Tidak bisa dipungkiri, rupanya ini juga banyak menginspirasi Gibran.

Gagasan Gibran
   Ada beberapa gagasan Gibran yang akan disinggung di sini, yaitu pandangannya tentang hidup, cinta, Tuhan, alam, dan manusia. Dimulai dari hidup. Bagi Gibran, hakikat hidup itu tergantung kepada kita sebagai yang memiliki hidup. Adapun cara prinsip untuk mengatur kehidupan itu sendiri adalah dengan mengusahakan empat hal, yakni cinta, kerja, pengetahuan dan tujuan. Secara hirarkis, kita membutuhkan tujuan dalam menjalani hidup supaya terkontrol dengan seimbang, tetapi untuk merancang suatu tujuan, kita membutuhkan pengetahuan, dan sepertinya pengetahuan akan sia-sia tanpa ada kerja, lebih lanjut kerja pun akan banyak merusak saat tidak dilandasi cinta. Global kata, kita membutuhkan cinta untuk menciptakan suatu tujuan yang brilian yang nantinya dengan itu, kita bisa menyeimbangkan kehidupan kita. Kehidupan adalah cinta.
    Kedua, cinta, itu adalah sesuatu yang cukup dirasakan dan cukup menjadi pasrah. Cukup dirasakan sebab semakin banyak kita berbicara tentang cinta semakin pula kita tidak pas dalam memahaminya. Seorang yang sudah merasakan cinta, dia tidak akan banyak bicara karena memang itu rumit untuk dibicarakan. Sedangkan itu cukup menjadi pasrah sebab kalau kita masih banyak komplain dan bahkan menuntut, itu namanya bukan cinta. Kira-kira demikian. Ketiga, itu adalah sesuatu yang tidak menyatu dengan kita, tetapi berada di sekitar kita. Dan Dia tidak pernah bertentangan dengan segala macam bentuk cinta lainnya. Tuhan adalah cinta itu sendiri. Keempat, alam, tidak lain adalah sesuatu yang seharusnya dengannya kita penting untuk kembali kepada alam atau back to nature, bertindak senatural mungkin, dan tidak membuat sekat atau katagori-katagori sendiri yang hanya akan menyebarkan virus kebencian.
     Dan yang terakhir adalah manusia. Bagi Gibran, manusia di dunia ini ada tiga model. Pertama: mereka yang mengutuk dunia, kedua: mereka yang memberkati dunia, dan ketiga adalah mereka yang merenungi dunia. Kepada yang pertama, marilah mencintai mereka karena penderitaannya. Kepada yang kedua, marilah mencintai mereka karena kedermawanannya dan kepada yang ketiga, cintailah mereka karena kebajikannya.


Menjauhlah dari kebijaksanaan yang tidak berbumbu tangisan, filsafat tanpa tawa,

dan kebesaran tanpa anak-anak

Senin, 02 November 2015

BUSHIDO, Filsafat Perang Jepang

       Istilah ini sering disejajarkan dengan istilah “Samurai”. Jika “Samurai” sering dipahami sebagai pelayan atau pejuang, maka “Bushido” adalah jalan hidup pelayan atau pejuang tersebut. Dengan lain ucapan, istilah ini berada di bagian sistem etika sosial, sedangkan “Samurai” berada di kelas sosialnya. Lebih jauh, dalam hal ini, Jepang memiliki empat kelas sosial, yaitu Shi atau Samurai itu sendiri, No atau petani, Ko atau pengrajin, dan Sho atau pedagang. Oleh karenanya, itu wajar mengapa Samurai dikatagorikan sebagai sistem kelas sosial di Jepang.

     Bushido sebagai sistem etika sosial di Jepang memuat tiga esensi penting. Adalah harmoni sosial, harmoni individu, dan loyalitas total. Pertama, itu adalah pengaruh dari Konfusianisme. Konfusianisme banyak membicarakan tentang harmoni sosial, bagaimana menghargai sesama, komitmen dengan apa yang sudah kita sepakati dengan orang lain, dan sebagainya. Kedua, itu terpengaruh oleh Zen Budhisme. Itu bisa diamati dengan bagaiman Zen begitu memperhatikan aspek kesadaran diri dengan meditasi dan semacamnya. Adapun yang terakhir adalah pengaruh dari Shinto. Di dalam Shinto, banyak dibahas terkait kesetiaan yang dianggap sebagai salah satu wujud atas kehormatan diri seseorang. Selanjutnya, dari hasil mix ini, Bushido memiliki satu ajaran yang diasumsikan sebagai puncak dari Bushido itu sendiri, yaitu ajaran untuk merobek perut sendiri mulai dari bagian kiri sampai ke ujung kanan—atau bunuh diri—dan keberanian ini disebut sebagai “Seppuku”. 

Visi Etis Bushido
      Di sini, Bushido memiliki empat visi etis, yaitu disiplin, setia, harga diri, dan ksatria. Tidak lain, empat visi ini lahir akibat adanya keterpengaruhan dengan tiga pandangan hidup—untuk tidak menyebut agama—di atas. Untuk yang pertama, itu adalah sebutan lain dari kebiasaan untuk selalu on schedule atau berlaku sesuai map yang sebelumnya usai dibuat. Bagi yang memiliki etika ini, maka dia akan wegah jika disuruh melakukan sesuatu yang berada diluar jadwalnya sebab baginya, jika itu dilakukan, maka itu berpotensi merusak jadwal yang usai dibuat olehnya.
    Kedua, setia, adalah etika untuk selalu melaksanakan apa yang diperintah tuannya. Meskipun, secara keyakinan tidak sependapat dengan tuannya, tetap saja, bagi Samurai, itu harus dipatuhi. Dan kiranya di poin inilah kemuliaan seorang Samurai terletak. Selanjutnya, ketiga: sosok Samurai harus memiliki standar tertentu dalam bertindak atau menerima sesuatu. Dengan lain ucapan, dia tidak boleh semena-mena melakukan atau menerima sesuatu tanpa harus dipertimbangkan sesuai standar yang dimilikinya. Ini berguna demi menjaga keseimbangan harga dirinya sebagai Samurai. Adapun yang terakhir, ksatria, itu adalah etika untuk selalu siap bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

Tujuh Prinsip Moral Bushido
a. GI, Integritas
      Mudahnya, ini adalah etika seorang Samurai untuk selalu berusaha menghargai kata-katanya. Jika mereka mengatakan “a” kepada seseorang atau pada dirinya sendiri, maka yang harus dilakukan ya “a”. Bagi sosok Samurai, dalam hal ini, mereka tidak akan pernah berkata apapun tentang sesuatu jika mereka menyadari bahwa mereka tidak mampu melakukan hal tersebut. Dengan lain ucapan, ini adalah etika untuk selalu berupaya komitmen dengan apa yang sudah diucapkannya, baik itu kepada orang lain atau pada diri sendiri.

    b. YU, Keberanian
     Maksud keberanian di sini adalah berani untuk menerima segala kemungkinan hidup. Sebab dalam hal ini, ada semacam pandangan bahwa kita tidak bisa mengontrol kehidupan ini, sehingga sangat mungkin di waktu mendatang hidup kita miskin. Dan kiranya, di titik itulah, seorang Samurai—melalui etika ini—harus berani, berani untuk miskin.

c. JIN, Kemurahan Hati
    Secara prinsip, poin ini banyak berbicara tentang pentingnya memaafkan. Sosok Samurai, selain dituntut untuk loyal dan disiplin, mereka juga harus murah hati atau mudah memaafkan kesalahan orang lain. Melalui etika ini, mereka harus selalu berupaya untuk menyeimbangkan antar Yin dan Yang mereka sehingga nantinya mereka bisa mudah untuk menjadi JIN.

d.  REI, Menghormati
    Jika dirunut, ini adalah salah satu pengaruh dari ajaran Konfusianisme tentang harmoni sosial. Lewat nilai ini, sosok Samurai dibiasakan untuk memahami bagaimana tata cara minum teh yang baik dan nyaman, tata cara berbicara yang tidak menyinggung orang lain, tata cara berdiri yang tidak merendahkan orang lain, dan sebagainya. Di sini, hal sekecil apapun yang melibatkan orang lain begitu diperhitungkan. Sebab dalam benak mereka ada kesimpulan bahwa “menghargai orang lain itu sama halnya dengan menghargai diri sendiri”.

e. MAKOTO-SHIN, Jujur dan Tulus
    Adalah semacam apa adanya dan blak-blakan. Kalau ditanya, misalnya, mengapa makan? Maka jawabannya simpel, yaitu karena lapar. Jadi, apa yang melandasi mereka dalam menjalankan sesuatu, ya itu yang nantinya akan dijawab saat ditanya orang lain.

f. MEIYO, Kehormatan
    Selain menghormati sebagai simbol betapa pentingnya untuk menjaga harmoni sosial, Samurai juga dituntut untuk selalu menjada kehormatannya. Adapun yang dimaksud dengan kehormatan di sini—selain “seppuku” sebagaimana yang disebut di awal—adalah dengan menghargai waktu. Mereka dibiasakan untuk menganggap bahwa jika seseorang menyia-nyiakan waktu, maka orang tersebut usai kehilangan kehormatannya.

g.  CHUGO, Loyal
  Ini tidaklah jauh berbeda dengan salah satu visi etis Bushido yang usai disinggung tadi. Adalah upaya untuk selalu mematuhi perintah tuannya, meskipun dari hati kecilnya tidak sependapat dengan tuannya.

Pengaruh Bushido
   Diterima atau tidak, rupanya etika-etika yang ada dalam Bushido ini sebagai sistem etika sosial Samurai berpengaruh banyak terhadap karakter bangsa Jepang. Beberapa darinya adalah dalam wilayah etika dan ekonomi masyarakat Jepang. Untuk yang pertama, tanpa disadari Bushido usai membentuk masyarakat Jepang sebagai masyarakat yang berkarakter sebagai berikut:
-     Amae     : selalu berusaha untuk menjaga harmoni sosial.
-     On        : Tidak betah saat memiliki hutang budi dengan orang lain.               Sehinga mereka selalu bersegera untuk membalasnya. Ini                             bisa dilihat dari budaya tukar kado di Jepang.
Gimu     : Totalitas pada negara atau perusahaan tempat dia bekerja.               Meskipun, dia mendapatkan tawaran gaji yang jauh lebih                             besar dari perusahaan lainnya, dia tidak mau dan tetap                               setia dengan perusahaan pertamanya. Inilah yang juga                               merupakan salah satu rahasia Jepang mengapa menjadi                             salah satu negara berkekuatan ekonomi raksasa.
Dan yang terakhir adalah mereka tidak pernah mau untuk berhutang budi. Bagi     mereka lebih baik menolong orang lain dari pada ditolong.

    Selanjutnya yang kedua, itu berhasil membentuk masyarakat Jepang memiliki kepribadian sebagai berikut:

-       Jiritsu Jiei     : Mandiri
-       Shoijiki       : Jujur
-       Kimben       : Rajin
-       Kenyaku       : Hemat
-       Jizen           : Amal saleh
-       Koveki        : Memikirkan kepentingan umum


Dan kiranya, melalui karakter-karakter ini, masyarakat Jepang berhasil dengan luar biasa mendongkrak ekonominya berikut Bangsanya. Semua ini tidak terlepas dari ajaran-ajaran Bushido, lebih jauh, itu juga selalu terikat dengan ajaran-ajaran Konfusianisme, Shinto, dan Zen Budhisme.