Rabu, 17 Juli 2013

Ruang Gelap Penulis MBS



Menuruti kata hati adalah hal yang baik, apalagi dalam usaha untuk menjadi diri sendiri. Menuruti kata hati jugalah yang merupakan solusi paling tepat, saat kita bingung mencari siapa kita yang sebenarnya. Berusaha menurutinya juga adalah sebuah usaha dari kita untuk menambah satu warna baru buat dunia. Pun dengan ini, saat kita dalam masalah yang pelik, kita bisa mendapat pencerahan. Iya, hanya dengan menuruti kata hati. Menuruti kata hati itu baik.
          Namun, disela-sela saya menekuni siapa diri saya, saya merasa ada sesuatu yang tak genap dalam pribadi saya, saya teringat satu kata: tiada gading yang tak retak. Dan ternyata kata itu pula yang sedang saya rasakan saat ini. Sebaik-baik sistem “menuruti kata hati” masih aja ada kekurangan dalam hal ini. Malahan ini adalah musibah bagi saya jika saya meneruskan prinsip ini.
          Adalah dalam menulis. Sedari dulu mindset saya selalu memaksa saya untuk mengurungkan keinginan kuat saya dalam menulis saat suasana hati tidak mood. dan itu sangatlah tidak membantu. Menulis adalah bahasa hati namun tidak berarti harus selalu menuruti hati. Menulis harus sesuai dengan mood adalah momok yang menjebak saja dan bahkan menjerumuskan. Apalagi, bagi penulis-penulis pemula.
          Dan untuk itu, alangkah lebih baiknya jika kita menjadikan aktifitas menulis adalah sebuah rutinitas nyata, bukan rutinitas yang menggantung pada hati. Seperti halnya sholat magrib, yang setiap senja tiba, kita bersiap-siap untuk menyambutnya. Dalam keadaan apapun itu, dan dengan hasil yang bagaimanapun itu.
          Kedua, selama 7 tahun saya belajar banyak dari pondok yang sangat berjasa ini,  saya belum pernah memahami istilah bencmarking dengan benar. Dalam proses pembelajaran selama itu, saya hanya bisa memahami kalau saya dilarang sekali untuk meniru tipikal tulisan penulis lain. Selain itu, hanyalah doktrin yang memaksa saya menjadi orang lain dalam menulis. Dan inilah yang bagi saya sesuatu yang akan lebih indah jika kita berani untuk sedikit merubahnya.
          Bencmarking atau menjadikan penulis lain sebagai model acuan berbeda dengan meniru. Dan ini sangatlah vital sebagai tongkat penuntun untuk penulis yang masih buta seperti kita. Di dalamnya kita akan belajar menganalisa, meneliti, dan belajar tentang tipikal penulis lain. Sehingga darinya kita akan tahu mana tipikal yang pas buat kita. Kemudian kita mulai belajar dari penulis itu dan akhirnya kita akan menemukan ke-khasan kita dalam menulis. Saya merekomendasikan untuk mencari model acuan penulis yang terhebat, bagimu.
Ketiga adalah krisis tipikal. Semua penulis mempunyai khas masing-masing, termasuk juga penulis yang ada dalam Mambaus Sholihin. Dalam hal ini Mambaus Sholihin memilikinya, sungguh hebat memang. Namun kehebatan itu tertambat. Karena diantara mereka pun tak sedikit yang saling menghujat, saling membenarkan tipikalnya sendiri dengan alasan: penulis hebat itu harus siap dihujat. Sehingga tanpa disadari dari sebuah egosentris itu banyak yang menggantungkan kekhasannya demi sebuah pujian dan menghindari hujatan dari penulis lainnya. Dan mungkin itulah yang menginspirasi saya untuk mengatakan: Mambaus Sholihin krisis tipikal.
          Memahami karakter penulisan penulis lain bukanlah dengan membangun alasan untuk menghujat, akan tetapi menghujat dengan alasan yang membangun.
         

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar