Sabtu, 07 Juni 2014

Kyai dan Pemikiran Kyai

          Semua orang terlahir dengan dua sisi, sisi baik dan buruk. Iya, semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Ketika seseorang lebih menonjolkan sisi buruknya, sudah pasti dia akan  kehilangan kepercayaan dari banyak orang. Begitu juga sebaliknya: kalau seorang itu lebih menonjolkan sisi baiknya, maka orang-orang akan semakin percaya kepada dia. Suatu hal yang wajar. Sampai-sampai karena saking wajarnya, banyak yang lupa kalau dibalik kebaikan seorang yang paling baik pun masih ada sisi buruknya dan itupun sudah menempati wilayahnya masing-masing.
          Begitu juga dengan kyai, sesosok kharismatik yang begitu dihargai di segala lapisan masyarakat, lebih-lebih santri. Satu kalimat saja darinya, bisa menggerakkan ribuan santri secara militan. Sebuah kharisma yang luar biasa. Hal itu bisa terjadi tak lain karena dampak dari sisi baiknya yang lebih menonjol dari dirinya dalam hal agama. Sehingga berangkat dari itu, banyak orang merasa nyaman dengannya dan menaruh kepercayaan penuh kepadanya dalam wilyah keagamaan. Saya ulangi lagi: dalam wilayah keagamaan.
          Masyarakat menaruh kepercayaan dengan kyai karena baiknya sisi kagamaannya. Ketika seorang kyai menyuruh masyarakat untuk menunaikan tarawih misalnya, maka tanpa banyak bertanya, tidak masalah kalau perintah itu dilakukan. Sebab memang di situlah kebaikan kyai—yang menjadi alasan utama dia dihargai—terletak, yaitu di bidang agama. Sehingga ketika kyai mengemukakan pendapatnya di bidang selain agama, sangat perlu rasanya untuk merenunginya lebih lanjut: apakah itu sesuai dengan hati dan nyaman di benak atau bagaimana. Bagaimanapun juga kyai masihlah manusia yang masih memiliki keakuan dan kekurangan dalam pribadinya.
          Setidaknya kita harus bisa membedakan kapan seorang kyai menjadi kyai yang lebih paham dalam bidang keagamaan dan kapan seorang kyai menjadi seorang biasa dengan pemikiran yang biasa juga dalam hal selain keagamaan. Ketika kyai menjadi seorang kyai, dia akan mengajarkan semua pengetahuannya tentang agama kepada kita, kemudian kita terdiam dan mendengarkannya karena hebatnya kharismatik kyai di bidang ini. Selanjutnya dengan pemikiran kyai, seorang kyai mengabarkan pemikirannya terkait hal selain agama kepada kita, baik itu melalui sela-sela pengajian agamanya maupun dalam momen lainnya. Dan di titik inilah, kita harus cermat dalam memilih: mana yang harus kita tiru darinya dan mana yang tidak. Kalau kyai mengatakan bahwa dia selalu shalat malam, maka tirulah hal itu, tanpa mengklarifikasi dulu tidak masalah, selama itu jelas masih masuk dalam ranah keagamaan. akan tetapi berbeda lagi, semisal kyai mengatakan kalau dia memilih CAPRES A, lantas kita tanpa merenunginya langsung ikut kyai dan memilih A. Hal itu akan rancau. Sudah cukup rasanya kita ikut-ikutan kyai dalam hal agama dan sudah saatnya untuk memberi kesempatan pada  diri sendiri dalam melangkah, lebih-lebih kepada siapa kita besok akan menggunakan hak suara kita. Kyai jugalah seorang manusia, dalam wilayahnya saja tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan, apalagi di luar wilayahnya.  Dengan demikian, jika kita bisa membedakan kedua hal di atas, maka kerancaun itu tidak akan pernah ada. Memilihlah suka-suka tanpa terikat siapa saja. poenk8614
         
         
          
         

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar