Selasa, 26 Februari 2013

BUDAYA KOTA



            Tinta yang keluar dari dalam pena-pena pemuda 2015 besok pasti akan berbeda dengan apa yang pemuda 2008 silam goreskan dalam diarinya. Pemuda 2008 lebih bisa menuliskan banyak warna dalam kertas putihnya, dan lebih bisa banyak bercerita tentang kehidupan kecilnya yang berwarna. Namun tidak bagi pemuda 2015 mendatang, mereka akan tampak bingung, mau menulis apa tentang sejarah masa kecilnya, dan mau bercerita apa tentang hal-hal menarik kedaerahannya, mereka tak punya spekulasi tentang apapun yang dimiliki oleh daerahnya. Dan hanya coret-coretan dalam buku gambar, pensil panjang, dan seragam lusuh yang terekam di benak mereka.

            Dalam nafas panjang, jarang yang menyadari bahwa semakin hari anak-anak bangsa ini semakin kehilangan jati diri ke-indonesiaan mereka. Apalagi ditahun 2013 ini, banyak anak-anak bangsa yang kehilangan haknya sebagai anak kecil. Di usia mereka yang masih tergolongkan dini para orang tua merasa tertuntut untuk menyekolahkan mereka, dan tuntutan itu terselubung dalam sebuah kapsul obat yang digembor-gemborkan sangatlah mujarab bagi masa depan anak itu sendiri, katanya. Sehingga terenggutnya hak-hak mereka sebagai anak-anak yang suka bermain bebas pun tak terelakan.
Tidak bisa dibantah memang, dewasa ini tuntutan dunia yang seakan bisa memajukan bangsa malah merusak citra alami bangsa sendiri. Sekolah-sekolah di pelbagai jenjang sekarang menjelma sebagai sesosok pesantreis yang full day. Dari SMA sampai pula pada PAUD pun sekarang bersistemkan fullday school. Dan secara tersirat semua itu bisa mengubah psikologi anak. Masa kanak-kanak yang mestinya adalah masa indah untuk bermain, sekarang dengah teganya dirubah menjadi masa belajar, toh yang walaupun itu dengan embel-embel “bermain sambil belajar”, masih akan berbeda. Dan mungkin kalau sistem fullday school yang sangat menyita waktu mereka bermain ini dibiarkan pasti fase pertumbuhan manusia bisa – bisa berubah, fase kanak-kanak akan terhapus dari daftar, dan manusia masa depan akan kehilangan satu sejarah masa yang luar biasa indahnya.
Menanggapi paragraf diatas, alangkah lebih baiknya jika kata “seakan” itu kita ubah menjadi tidak seakan. Jadi memang benar- benar program ini bagus dan tidak mencolek yang lainnya, dan lebih bisa menghargai hak-hak mereka sebagai anak kecil. Pun juga sebagai upaya susulan kita menghargai budaya-budaya unik bangsa ini yang hampir punah. Siapa lagi, yang mau melestarikan permainan-permainan klasik seperti petak umpet, benteng, congklak, galah asin, layang-layang, dan lain sebagainya Kalau bukan anak-anak bangsa seperti mereka. Toh, permainan seperti itu (budaya klasik) secara tersirat memiliki nilai sosial yang sangat tinggi dari pada hanya bermain di playground disetiap playgroup yang tersedia.
Jadi, pribumisasi modern tampak lebih bisa mengatasi masalah ini, dari pada secara gamblang kita langsung memodrnisasikan pribumi, dengan fullday school buat anak-anak. Padahal sekolah 2 jam sehari buat anak dini pun lebih dari cukup, dan 10 jam lainnya biarkan anak bermain dengan kebebasannya. Sehingga nilai kecintaan mereka pada budaya klasik bangsa ini tak tergantikan dengan budaya kota yang esensinya sungguhlah kosong tak bernyawa. Dan untuk anak bangsa janganlah kalian mau dijadikan mahasiswa playground di tahun 2013 ini./z_v


Tidak ada komentar:

Posting Komentar